Rabu, 02 Februari 2022

Menghidupkan Kembali Sebuah Budaya

 

Oleh: Siti Lailatul Mujayanah
PAIN KUA Kec. Bumi Agung

Mengawali tulisan ini, terdapat sebuah pertanyaan sederhana. Mengapa begitu penting untuk membudayakan membaca Al-Qur'an?
Sebelum lebih lanjut, mungkin lebih baik kita mengetahui pengertian budaya. Budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pikiran, akal budi atau istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia, sehingga dapat menunjuk pada pola pikir, perilaku serta karya fisik sekelompok manusia.
Menurut Koentjaraningrat (2000: 181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.
Dalam konteks tulisan yang sederhana ini, budaya merupakn sebuah tradisi. Kebiasaan yang melekat dalam kehidupan masyarakat muslim. Tradisi tersebut adalah budaya membaca Al-Qur’an. Inilah maksud sederhana dari tulisan ini.
Membaca Al-Qur’an adalah tradisi yang baik. Tradisi yang sangat dianjurkan agama. Sebab, Al-Qur’an merupakan kitabullah. Kitab suci yang merupakan sumber utama dan pertama dalam ajaran Islam. Kitab suci yang didalamnya terdapat petunjuk bagi kehidupan umat manusia.
Membaca ayat suci Al-Qur'an dapat menghidupkan hati dan jiwa manusia. Sebagai mukjizat yang agung, membaca Al-Qur’an merupakan salah satu bentuk ibadah. Dengan membaca, maka ketenangan hati akan manusia dapatkan. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28.
Setiap mukmin yakin, bahwa membaca Al-Qur'an termasuk amal yang sangat  mulia. Dengan membaca Al-Qur’an akan dapat pahala yang berlipat ganda. Hal ini dikarenakan apa yang di baca adalah kitab suci. Kitab suci yang didalamnya mengandung banyak hikmah.
Ahli tafsir Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan, Al-Qur'an sanggup menghidup kan hati dan jiwa manusia, dengannya segala urusan dunia akan menjadi lebih mudah. Termasuk urusan tentang akhirat, akan menjadi lancar dan kokoh. Sebab Al-Qur'an mengandung berkah kebaikan yang banyak dan ilmu yang bermanfaat.
Namun tidak semua manusia mendapatkan hidayah kenyamanan dalam membaca Al-Qur'an. Maka bersyukurlah bagi mereka yang di beri hidayah. Salah satu bentuk rasa syukur yang bisa dilakukan adalah mempertahankan tradisi membaca Al-Qur’an. Tradisi yang harus dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan.
Proses yang berkesinambungan tersebut akan menjadi cerminan keperibadian manusia. Pola perilaku tersebut akan menentukan tingkat kebaikan atau sebaliknya. Pola perilaku ini juga akan menjadikan hati memiliki kecenderungan. Kecenderungan berbuat baik atau malah justru perbuatan tidak terpuji.
Jika hati manusia lebih cenderung dalam kejahatan, maka hati tersebut sedang sakit. Dalam konteks psikologis, hati yang sakit harus segera diobati. Islam mengajarkan bagaimana agar hati manusia tidak sakit (berkarat). Hal ini bisa kita dapati dalam sebuah hadist Rasulullah SAW.
Dari Ibnu Umar ia berkata" Rasulullah SAW bersabda " Hati ini berkarat seperti berkarat nya besi jika terkena air, lalu beliau di tanya, apa pembersihnya? Sabda beliau "banyak mengingat mati dan membaca Al-Qur'an”.(HR.Al- Baihaqi).

 Al-Qur'an; pendidikan sebagai sarana

            Peran pendidikan menjadi sangat penting dan strategis. Pendidikan mempunyai tujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Pendidikan juga memberikan ragam cara dan metode. Dalam hal ini tentu pendidikan yang berbasis pada Al-Qur’an.
Hal ini dapat di pahami, dengan pendidikan seseorang akan memiliki bekal pengetahuan yang cukup. Pengetahuan yang dimiliki tersebut secara tidak langsung akan menjamin kehidupan manusia itu sendiri. Bahkan dengan pengetahuan yang ada, derajat manusia akan diangkat oleh Allah SWT.
Dalam konteks ini, Allah SWT berfirman, “Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”. (Q.S: 58;11).
 Sejalan dengan hal itu, Al-Qur'an menegaskan tentang pentingnya ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu pengetahuan akan mampu memberikan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Manusia membutuhkan ilmu pengtahuan. Demikian juga kaum muslimin membutuhkan pengetahuan untuk mensyiarkan dakwah islam kepada masyarakat.
Maka, proses pendidikan harus dilaksanakan sejak dini. Proses perkembangan anak-anak harus dididik dengan ragam pendidikan. Proses ini dapat dimulai dari keluarga. Sebab keluarga merupakan wahana pendidikan terpenting dalam kehidupan manusia.
  Dari Ali RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "didiklah anak-anak kalian dengan tiga macam perkara yaitu mencintai Nabi kalian dan keluarganya serta membaca Al-Qur'an, karena sesungguhnya orang yang menjunjung tinggi Al-Qur'an akan berada di bawah lindungan Allah, diwaktu tidak ada lindungan selain lindungannya bersama para Nabi dan kekasihnya ". (HR.Ad- Dailami).
Secara spesifik, proses pendidikan membaca Al-Qur’an juga dimulai dari keluarga. Faktor kedua orang tua akan sangat memengaruhi keberhasilan tersebut. Peran dan tanggungjawab orang tua mutlak diperlukan. Dari sinilah pola pendidikan dasar akan berlangsung secara bertahab.
Pengenalan terhadap huruf-huruf Al-Qur’an wajib dilakukan terhadap anak. Pengenalan ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan tentang bagaimana membaca Al-Qur’an kepada anak. Inilah tugas awal orang tua untuk mengenalkan huruf-huruf hijaiyah kepada anak.
Kita tentu memahami dan menyadari bersama bahwa belajar membaca Al-Qur’an berbeda dengan belajar membaca buku. Pemahaman ini juga harus diberikan kepada anak. Tujuanya sangat jelas, memberikan pengajaran membaca bukan hanya sekedar membaca. Namun ada makna, etika dan nilai ketika membaca Al-Qur’an.
Untuk menanamkan nilai kecintaan membaca Al-Qur’an dapat dilakukan dengan beragam cara. Melalui proses pengajaran secara langsung kepada anak atau melalui lembaga-lembaga pendidikan yang bercorak islam. Semisal TPQ, Pondok Pesantren dan lain sebagainya.
Proses untuk memaksimalkan tradisi membaca Al-Qur’an tidaklah mudah. Beragam tantangan senantiasa hadir. Baik tantangan bersifat eksternal ataupun yang bersifat internal. Meskipun begitu, proses tersebut tidak boleh berhenti. Proses tersebut harus tetap dijaga dalam kehidupan sehari-hari.
Tantangan sesungguhnya umat muslim, termasuk para penyuluh agama Islam dekade ini ialah bagaimana menciptakan tradisi membaca Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tradisi tersebut maka membaca Al-Qur’an akan menjadi budaya yang baik. Budaya yang akan memberikan ketenangan bersama.
Semoga  para penyuluh agama Islam  dapat   terus  bersinergi dalam   pengentasan buta aksara  Al-Qur'an , sehingga dapat terciptanya masyarakat yang ahli ilmu, ahli Al-Qur'an, membumikan Al-Quran, membudayakan membaca Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga.
 
Bumi Agung, 27 Januari 2022.

3 komentar: