Selasa, 08 Februari 2022

Merajut Kebhinekaan Beragama Dalam Konsep Pluralisme Gus Dur

 


Oleh: Hidayat

PAIN KUA Kec. Kasui

     Islam mendorong individu-individu masyarakat untuk berbuat baik kepada dirinya sendiri dan berbuat baik kepada sesama. Perbuatan baik ini dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk pada kehidupan bermasyarakat yang tentu memiliki keragaman bahasa, suku, keyakinan, warna kulit, kultur, selera kesenian, bahkan preferensi politik. Islam mendorong kohesivitas sosial. Kerekatan sosial menciptakan ketahanan lingkungan dan situasi kondusif dalam aktivitas ekonomi dan aktivitas sosial lainnya. Islam sendiri tidak melarang umat Islam untuk berinteraksi dengan masyarakat yang beragam latar belakang, termasuk warga negara yang berbeda keyakinan.
Pentingnya Menjaga Kerukunan Beragama. Allah dalam kitab suci Al-Qur’an sendiri memerintahkan umatnya untuk berbuat baik dan bersikap adil terhadap orang yang tidak agresif dan tidak ofensif serta tidak mendorong eksodus, pengusiran, diskriminasi, pengucilan terhadap seseorang atau kelompok sosial tertentu.
 

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ  

 
 Artinya, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan bersikap adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam urusan agama dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil.” (Surat Al-Mumtahanah ayat 8).  

 Toleransi dalam Masyarakat Indonesia Kita dapat mempelajari jejak umat Islam pada masa awal berinteraksi dan bermasyarakat secara rukun dan baik. Kita dapat melihat bagaimana kerukunan terjalin dengan baik dalam interaksi sosial atau muamalah umat Islam dan non-Muslim. Kita mengetahui bahwa Rasulullah saw dalam perjalanan hijrahnya ke Madinah pernah menyewa jasa Abdullah bin Uraiqith yang saat itu adalah seorang musyrik sebagai penunjuk jalan. Rasulullah saw juga sempat meminjam kapak sekelompok Yahudi untuk kepentingan perang. Toleransi Antaragama Rasulullah saw bahkan pernah mengizinkan Shafwan bin Umayyah untuk bergabung dalam barisan pasukan umat Islam pada perang Hunain. Sedangkan kita semua maklum bahwa Shafwan bin Umayyah tetap berpegang pada keyakinan musyriknya hingga akhir hayat. Yang jelas, Islam mendorong kerukunan dengan berbagai bentuknya dalam kehidupan bermasyarakat. Demikian halnya dengan interaksi muslim dan nonmuslim, Islam mengajarkan agar umat beragama untuk saling menghargai keyakinan orang lain. Islam menjamin hak umat beragama dalam menjalankan nilai-nilai agama sesuai dengan ajaran yang diyakininya sebagaimana traktat yang sangat terkenal dalam sirah nabawiyah, Piagam Madinah. Demikian juga dengan kandungan Surat Al-Kafirun yang menegaskan perbedaan keyakinan umat Islam dan non-Muslim. Surat Al-Kafirun mengajarkan umat Islam dan non-Muslim untuk saling menghargai ajaran agama lain serta tidak menyinggung masalah agama orang lain. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerukunan dalam bermasyarakat.

Dalam hal ini konsep Pluralisme Gusdur Jika kita mencari tulisan atau buku karyanya yang membahas tentang pluralisme secara sistematis mungkin kita tidak akan pernah menemukannya. Hal ini karena tulisan-tulisan Gus Dur memang lebih banyak berupaartikel atau esai dalam kolom opini media massa atau book chapter. Kalaupunada sebuah buku tentang Gus Dur, biasanya itu berupa kumpulan atau bunga rampai tulisan-tulisannya di berbagai media. Dari tulisan-tulisan itulah kemudian para pengagumnya mengambil intisari pemikiran Gus Dur menjadi berpuluh-puluh buku dan tulisan.
Menarik apa yang dikatakan oleh Frans Magnis Suseno bahwa Gus Dur adalah seorang yang menghayati agama Islam secara sangat terbuka. Ia sosokpribadi yang bebas dari segala kepicikan, primordialistik, dan sektarian. Ia jelasseratus persen seorang yang beragama Islam tetapi keislamannya begitu mantap sehingga ia merasa tidak terancam oleh pluralitas. (Frans Magnis Suseno; 2000; 65).
Komitmen Gus Dur terhadap pluralisme bisa kita lihat tidak hanya dari pemikiran pemikirannya, tetapi dari sepak terjangnya dalam menjalin hubungan dengan pemeluk dan tokoh agama lain. Tak cukup sampai di situ, Gus Durjuga sangat gigih memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan bagi agama minoritas seperti Kong Hucu,  Karena sikapnya ini GusDur sering dituding sebagai liberal, bahkan kafir. ketikaumat konghucu merasa didiskriminasi dalam menjalankan agama, maka olehGus Dur, Kong Hu Cu dijadikan sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Hal ini bukan berarti Gus Dur sepakat dengan keyakinan  atauberpihak dengan orang China, itu urusan lain, tetapi ia sangat menghormatihak asasi orang lain, dalam hal ini adalah keyakinan. Ia juga ingin menunjukkan cara memahami dan menghayati agama secara dewasa, arif, dan bijaksana.
Kegigihan Gus Dur dalam memperjuangkan hak-hak minoritas, hingga mendapatkan sebutan sebagai bapak pluralisme, bahkan bapak umat Tionghoa, menunjukkan bahwa pluralisme yang diusung oleh Gus Dur tidak sekedar wacana, tetapi juga dibuktikan dalam tataran praktis baik ketika menjadiketua PBNU maupun ketika menjadi presiden. Barangkali inilah yang membedakan Gus Dur dengan para pejuang pluralisme lain, yaitu keberaniannyadalam menyuarakan aspirasi kaum minoritas meskipun harus melawan arusbahkan melawan penguasa sekalipun. Tidak jarang ia disebut sebagai pengkhianat Islam, sekuler, liberal, bahkan dikafir-kafirkan.
Dalam sebuah kesempatan, Gus Dur pernah mengatakan dengan tegas kepada Benny Susetyo bahwa pluralisme itu harga mati. Artinya, untuk membangun Indonesia yang memiliki keragaman suku dan budaya, pluralisme mutlakdiperlukan dan tidak bisa ditawar. Pluralisme merupakan cara pandang yang paling baik untuk bersikap dan bertindak di tengah-tengah masyarakat yang majemuk guna membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. (Rumadi: 2010; 16).
Dalam salah satu tulisannya, Gus Dur pernah mengatakan:

“Saya membaca, menguasai, menerapkan al-Qur’an, Hadits, dan kitab-kitabkuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memaknai yangmanapun asal benar dan cocok dengan hati nurani. Saya tidak memperdulikanapakah kutipan Injil, Baghawa Gita, kalau benar kita terima. Dalam masalahbangsa, al-Qur’an kita pakai secara fungsional, bukannya untuk diyakinisecaa teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi,aplikasi adalah soal penafsiran. Berbicara penafsiran berarti bukan lagimasalah teologis, melainkan sudah menjadi masalah pemikiran”.(Abdurrahman Wahid: 2010; 202).

 
Dari pernyataan tersebut, bisa diartikan bahwa pluralisme yang diajarkan dan dipraktekkan oleh Gus Dur tidak sekedar menghormati dan menghargaikeyakinan atau prinsip orang lain, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang benar dari agama lain atau gagasan-gagasan yang benardari orang lain yang berbeda keyakinan. Ini berarti Gus Dur meyakini bahwa semua agama memiliki nilai-nilai kebenaran universal yang sejajar denganajaran Islam. Bahwa agama lain juga membawa misi-misi universal yang samadengan Islam. Th. Sumartana, seorang penganut Katolik menilai bahwa Gus Dur melihat perbedaan agama agama cenderung merupakan perbedaan yangberada dalam tataran kemanusiaan dan tetap yakin bahwa sesungguhnya yangmenjadi hakim untuk mengatakan seorang masuk surga atau neraka adalahTuhan. (Th. Sumartana: 2000; 108).
Ajaran pluralisme semacam ini mungkin agak berbeda dengan pemikiranpara pejuang pluralisme yang lain. Ketika mereka masih melihat kemajemukan sebagai sebuah realita kehidupan, maka Gus Dur memahami pluralismesebagai sebuah keharusan. Bagi Gus Dur, kemajemukan adalah takdir sekaligus rahmat yang telah digariskan oleh Allah swt. Menolak kemajemukan samahalnya mengingkari takdir Tuhan. Menurut Rumadi, Gus Dur cenderung memandang kamajemukan menurut perspektif ethic of dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity melihat kemajemukan sebagai anugerah atau pemberianTuhan sedangkan ethic of interest memandangnya sebatas pilihan. (Rumadi: 2010; 70).
Dalam kacamata Gus Dur, kunci tegaknya pluralisme di tengah masyarakat tidak hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara damai, karenahal itu masih cukup rentan terhadap munculnya kesalahpahaman antar kelompok yang sewaktu-waktu bisa memunculkan disintegrasi. Akan tetapi diperlukan juga adanya penghargaan yang tinggi terhadap pluralisme itu sendiri, yakniadanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog satu sama lain secaratulus sehingga ada aktifitas saling memberi dan menerima antara satu kelompok dan kelompok lain. (Musda Asmara: 2017; 74).
Namun demikian,  jangan disalah pahami bahwa pluralisme yang diajarkan Gus Dur sama dengan sinkretisme atau mencampuradukkan agama. Jangan pula disalahpahami bahwa pluralisme Gus Dur sama dengan singularisme atau menyamakan semua agama. Pluralisme Gus Dur justru menghargaiotentitas dan distingsi masing-masing agama. Mereka tidak perlu menjadi,meniru, atau menyamakan agama mereka dengan agama lain. Tetapi dengancukup melaksanakan ajaran agama masing-masing dengan tetap menjunjungtinggi nilai-nilai universal dan esensial demi mewujudkan keseahteraan masyarakat. Dengan kata lain, Gus Dur tidak menuntut untuk menyamakan semuaagama, tetapi kesetaraan pemeluk agama dalam memperoleh hak-hak merekasecara adil.
Hal ini pernah ditegaskan oleh Gus Dur bahwa adanya berbagai keyakinan tidak perlu dipersamakan secara total, karena masing-masing memilikikepercayaan atau aqidah yang dianggap benar. Demikian pula kedudukan penafsiran-penafsiran aqidah itu. Kerjasama antara sistem keyakinan itu sangatdibutuhkan dalam menangani kehidupan masyarakat, karena masing-masingmemiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya berbeda-beda. Di sinilah, nanti terbentuknya persamaan antar agama, bukannya dalam ajaran atau aqidah yang dianut namun hanya pada tingkat capaian materi. (Abdurrahman Wahid: 2006; 234).
Dalam konteks ke-Indonesia-an, pluralisme itu sendiri telah menjadi kesepakatan luhur (modus vevendi) untuk hidup bersatu berdampingan dalamkebhinekaan yang terwujud dalam bentuk Pancasila. Kesepakatan luhur inimenuntut semua masyarakat bangsa ini untuk saling toleran dan menghargai memeluk agama lain tanpa melihat sisi mayoritas maupun minoritas, karenapersoalan keyakinan merupakan hak paling asasi. Dalam hal ini, Gus Dur mengingatkan bahwa Islam sebagai agama mayoritas harus bermanfaat bagiorang lain, ramah, damai, dan tidak menakutkan bagi pemeluk agama lain.Maka, yang harus diperjuangkan dari Islam adalah nilai-nilai universal yanginklusif dan pasti diterima oleh setiap orang, bukannya formalisasi atau simbolisasi Islam yang meninggalkan kesan meremehkan agama lain. Sebaliknya,yang harus ditekankan adalah nilai-nilai dasar Islam yang universal seperti keadilan, kesetaraan, membela kaum lemah, dan sebagainya.

 

Kasui, 31 Januari 2022

 

4 komentar: