Oleh: Hidayat
PAIN KUA Kec. Kasui
Islam mendorong individu-individu masyarakat untuk berbuat
baik kepada dirinya sendiri dan berbuat baik kepada sesama. Perbuatan baik ini
dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk pada kehidupan bermasyarakat yang
tentu memiliki keragaman bahasa, suku, keyakinan, warna kulit, kultur, selera
kesenian, bahkan preferensi politik. Islam mendorong kohesivitas sosial.
Kerekatan sosial menciptakan ketahanan lingkungan dan situasi kondusif dalam
aktivitas ekonomi dan aktivitas sosial lainnya. Islam sendiri tidak melarang
umat Islam untuk berinteraksi dengan masyarakat yang beragam latar belakang,
termasuk warga negara yang berbeda keyakinan.
Pentingnya Menjaga Kerukunan Beragama. Allah dalam kitab
suci Al-Qur’an sendiri memerintahkan umatnya untuk berbuat baik dan bersikap
adil terhadap orang yang tidak agresif dan tidak ofensif serta tidak mendorong
eksodus, pengusiran, diskriminasi, pengucilan terhadap seseorang atau kelompok sosial
tertentu.
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ
الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ
دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya, “Allah
tidak melarang kalian berbuat baik dan bersikap adil terhadap orang-orang yang
tidak memerangi kalian dalam urusan agama dan tidak mengusir kalian dari
kampung halaman. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil.”
(Surat Al-Mumtahanah ayat 8).
Toleransi dalam Masyarakat Indonesia Kita dapat mempelajari
jejak umat Islam pada masa awal berinteraksi dan
bermasyarakat secara rukun dan baik. Kita dapat melihat bagaimana kerukunan
terjalin dengan baik dalam interaksi sosial atau muamalah umat Islam dan
non-Muslim. Kita mengetahui bahwa Rasulullah saw dalam perjalanan hijrahnya ke Madinah pernah menyewa
jasa Abdullah bin Uraiqith yang saat itu adalah seorang musyrik sebagai
penunjuk jalan. Rasulullah saw juga sempat meminjam kapak sekelompok Yahudi untuk
kepentingan perang. Toleransi Antaragama Rasulullah saw bahkan pernah
mengizinkan Shafwan bin Umayyah untuk bergabung dalam barisan pasukan umat
Islam pada perang Hunain. Sedangkan kita semua maklum bahwa Shafwan bin Umayyah
tetap berpegang pada keyakinan musyriknya hingga akhir hayat. Yang jelas, Islam
mendorong kerukunan dengan berbagai bentuknya dalam kehidupan bermasyarakat.
Demikian halnya dengan interaksi muslim dan nonmuslim, Islam mengajarkan agar
umat beragama untuk saling menghargai keyakinan orang lain. Islam menjamin hak
umat beragama dalam menjalankan nilai-nilai agama sesuai dengan ajaran yang
diyakininya sebagaimana traktat yang sangat terkenal dalam sirah nabawiyah,
Piagam Madinah. Demikian juga dengan kandungan Surat Al-Kafirun yang menegaskan
perbedaan keyakinan umat Islam dan non-Muslim. Surat Al-Kafirun mengajarkan
umat Islam dan non-Muslim untuk saling menghargai ajaran agama lain serta tidak
menyinggung masalah agama orang lain. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kerukunan
dalam bermasyarakat.
Dalam hal ini
konsep Pluralisme Gusdur Jika kita mencari tulisan atau buku karyanya yang
membahas tentang pluralisme secara sistematis mungkin kita tidak akan pernah
menemukannya. Hal ini karena tulisan-tulisan Gus Dur memang lebih banyak
berupaartikel atau esai dalam kolom opini media massa atau book chapter.
Kalaupunada sebuah buku tentang Gus Dur, biasanya itu berupa kumpulan atau
bunga rampai tulisan-tulisannya di berbagai media. Dari tulisan-tulisan itulah
kemudian para pengagumnya mengambil intisari pemikiran Gus Dur menjadi berpuluh-puluh
buku dan tulisan.
Menarik apa
yang dikatakan oleh Frans Magnis Suseno bahwa Gus Dur adalah seorang yang
menghayati agama Islam secara sangat terbuka. Ia sosokpribadi yang bebas dari
segala kepicikan, primordialistik, dan sektarian. Ia jelasseratus persen
seorang yang beragama Islam tetapi keislamannya begitu mantap sehingga ia
merasa tidak terancam oleh pluralitas. (Frans Magnis Suseno; 2000; 65).
Komitmen Gus
Dur terhadap pluralisme bisa kita lihat tidak hanya dari pemikiran pemikirannya,
tetapi dari sepak terjangnya dalam menjalin hubungan dengan pemeluk dan tokoh
agama lain. Tak cukup sampai di situ, Gus Durjuga sangat gigih memperjuangkan
kesetaraan dan kebebasan bagi agama minoritas seperti Kong Hucu, Karena sikapnya ini GusDur sering dituding
sebagai liberal, bahkan kafir. ketikaumat konghucu merasa didiskriminasi dalam
menjalankan agama, maka olehGus Dur, Kong Hu Cu dijadikan sebagai salah satu
agama resmi di Indonesia. Hal ini bukan berarti Gus Dur sepakat dengan keyakinan
atauberpihak dengan orang China, itu
urusan lain, tetapi ia sangat menghormatihak asasi orang lain, dalam hal ini
adalah keyakinan. Ia juga ingin menunjukkan cara memahami dan menghayati agama
secara dewasa, arif, dan bijaksana.
Kegigihan Gus
Dur dalam memperjuangkan hak-hak minoritas, hingga mendapatkan sebutan sebagai
bapak pluralisme, bahkan bapak umat Tionghoa, menunjukkan
bahwa pluralisme yang diusung oleh Gus Dur tidak sekedar wacana, tetapi juga
dibuktikan dalam tataran praktis baik ketika menjadiketua PBNU maupun ketika
menjadi presiden. Barangkali inilah yang membedakan Gus Dur dengan para pejuang
pluralisme lain, yaitu keberaniannyadalam menyuarakan aspirasi kaum minoritas
meskipun harus melawan arusbahkan melawan penguasa sekalipun. Tidak jarang ia
disebut sebagai pengkhianat Islam, sekuler, liberal, bahkan dikafir-kafirkan.
Dalam sebuah
kesempatan, Gus Dur pernah mengatakan dengan tegas kepada Benny Susetyo bahwa
pluralisme itu harga mati. Artinya, untuk membangun Indonesia yang memiliki
keragaman suku dan budaya, pluralisme mutlakdiperlukan dan tidak bisa ditawar.
Pluralisme merupakan cara pandang yang paling baik untuk bersikap dan bertindak
di tengah-tengah masyarakat yang majemuk guna membangun masa depan Indonesia
yang lebih baik. (Rumadi: 2010; 16).
Dalam salah
satu tulisannya, Gus Dur pernah mengatakan:
“Saya membaca,
menguasai, menerapkan al-Qur’an, Hadits, dan kitab-kitabkuning tidak
dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memaknai yangmanapun asal benar dan
cocok dengan hati nurani. Saya tidak memperdulikanapakah kutipan Injil, Baghawa
Gita, kalau benar kita terima. Dalam masalahbangsa, al-Qur’an kita pakai secara
fungsional, bukannya untuk diyakinisecaa teologis. Keyakinan teologis dipakai
dalam persoalan mendasar. Tetapi,aplikasi adalah soal penafsiran. Berbicara
penafsiran berarti bukan lagimasalah teologis, melainkan sudah menjadi masalah
pemikiran”.(Abdurrahman Wahid: 2010; 202).
Dari pernyataan
tersebut, bisa diartikan bahwa pluralisme yang diajarkan dan dipraktekkan oleh
Gus Dur tidak sekedar menghormati dan menghargaikeyakinan atau prinsip orang
lain, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang benar
dari agama lain atau gagasan-gagasan yang benardari orang lain yang berbeda
keyakinan. Ini berarti Gus Dur meyakini bahwa semua agama memiliki nilai-nilai
kebenaran universal yang sejajar denganajaran Islam. Bahwa agama lain juga
membawa misi-misi universal yang samadengan Islam. Th. Sumartana, seorang
penganut Katolik menilai bahwa Gus Dur melihat perbedaan agama agama cenderung
merupakan perbedaan yangberada dalam tataran kemanusiaan dan tetap yakin bahwa
sesungguhnya yangmenjadi hakim untuk mengatakan seorang masuk surga atau neraka
adalahTuhan. (Th. Sumartana: 2000; 108).
Ajaran
pluralisme semacam ini mungkin agak berbeda dengan pemikiranpara pejuang
pluralisme yang lain. Ketika mereka masih melihat kemajemukan sebagai sebuah
realita kehidupan, maka Gus Dur memahami pluralismesebagai sebuah keharusan.
Bagi Gus Dur, kemajemukan adalah takdir sekaligus rahmat yang telah digariskan
oleh Allah swt. Menolak kemajemukan samahalnya mengingkari takdir Tuhan. Menurut
Rumadi, Gus Dur cenderung memandang kamajemukan menurut perspektif ethic of
dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity melihat kemajemukan
sebagai anugerah atau pemberianTuhan sedangkan ethic of interest memandangnya
sebatas pilihan. (Rumadi: 2010; 70).
Dalam kacamata
Gus Dur, kunci tegaknya pluralisme di tengah masyarakat tidak hanya terletak
pada pola hidup berdampingan secara damai, karenahal itu masih cukup rentan
terhadap munculnya kesalahpahaman antar kelompok yang sewaktu-waktu bisa
memunculkan disintegrasi. Akan tetapi diperlukan juga adanya penghargaan yang
tinggi terhadap pluralisme itu sendiri, yakniadanya kesadaran untuk saling
mengenal dan berdialog satu sama lain secaratulus sehingga ada aktifitas saling
memberi dan menerima antara satu kelompok dan kelompok lain. (Musda Asmara:
2017; 74).
Namun demikian,
jangan disalah pahami bahwa pluralisme
yang diajarkan Gus Dur sama dengan sinkretisme atau mencampuradukkan agama. Jangan
pula disalahpahami bahwa pluralisme Gus Dur sama dengan singularisme atau
menyamakan semua agama. Pluralisme Gus Dur justru menghargaiotentitas dan
distingsi masing-masing agama. Mereka tidak perlu menjadi,meniru, atau
menyamakan agama mereka dengan agama lain. Tetapi dengancukup melaksanakan
ajaran agama masing-masing dengan tetap menjunjungtinggi nilai-nilai universal
dan esensial demi mewujudkan keseahteraan masyarakat. Dengan kata lain, Gus Dur
tidak menuntut untuk menyamakan semuaagama, tetapi kesetaraan pemeluk agama
dalam memperoleh hak-hak merekasecara adil.
Hal ini pernah
ditegaskan oleh Gus Dur bahwa adanya berbagai keyakinan tidak perlu
dipersamakan secara total, karena masing-masing memilikikepercayaan atau aqidah
yang dianggap benar. Demikian pula kedudukan penafsiran-penafsiran aqidah itu.
Kerjasama antara sistem keyakinan itu sangatdibutuhkan dalam menangani
kehidupan masyarakat, karena masing-masingmemiliki keharusan menciptakan
kesejahteraan lahir (keadilan dan kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walaupun
bentuknya berbeda-beda. Di sinilah, nanti terbentuknya persamaan antar agama,
bukannya dalam ajaran atau aqidah yang dianut namun hanya pada tingkat capaian
materi. (Abdurrahman Wahid: 2006; 234).
Dalam konteks
ke-Indonesia-an, pluralisme itu sendiri telah menjadi kesepakatan luhur (modus
vevendi) untuk hidup bersatu berdampingan dalamkebhinekaan yang terwujud dalam
bentuk Pancasila. Kesepakatan luhur inimenuntut semua masyarakat bangsa ini
untuk saling toleran dan menghargai memeluk agama lain tanpa melihat sisi
mayoritas maupun minoritas, karenapersoalan keyakinan merupakan hak paling
asasi. Dalam hal ini, Gus Dur mengingatkan bahwa Islam sebagai agama mayoritas
harus bermanfaat bagiorang lain, ramah, damai, dan tidak menakutkan bagi
pemeluk agama lain.Maka, yang harus diperjuangkan dari Islam adalah nilai-nilai
universal yanginklusif dan pasti diterima oleh setiap orang, bukannya
formalisasi atau simbolisasi Islam yang meninggalkan kesan meremehkan agama
lain. Sebaliknya,yang harus ditekankan adalah nilai-nilai dasar Islam yang
universal seperti keadilan, kesetaraan, membela kaum lemah, dan sebagainya.
Kasui, 31 Januari 2022
mantap...mantap
BalasHapusHow amazing 👍
BalasHapusSosok Guru Bangsa menjadi teladan Bersama
BalasHapus👍👍👍
BalasHapus