Jumat, 28 Januari 2022

Mencari (satu) Alif

 


Oleh : Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan

    Tulisan ini mencoba untuk mencari “sisi lain” dari pemaknaan yang ada dalam konteks pembacaan ayat suci Al Qur’an. Mungkin agak bias untuk skala tertentu. Namun akan tetap dapat dimaknai dari perspektif yang berbeda. Saya harus jujur di awal.
    Bukan bermaksud untuk membuka perdebatan, melainkan mencari perspektif yang berbeda. Perspektif dalam skala terbatas dan khusus (baca: Penyuluh Agama Way Kanan). Tentu, dengan pemaknaan yang luas. Disinilah pentingnya pembatasan itu.
      Pertama, standar yang ada cukup jelas. Standar itu adalah keimanan terhadap Kalamullah. Jika standar ini memudar bahkan hilang, maka konsekwensi keberimananya akan tercabut. Bukankah mengimani empat kitab suci (Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an) adalah rukun iman?
         Standar ini mengisyaratkan ketegasan bagi kita (baca: umat muslim) untuk mengimani Al-Qur’an. Salah satu bentuk dari pola mengimani adalah kemampuan untuk membaca. Dalam konteks ini adalah membaca secara harfiah. Bisa juga bermakna membaca tanpa mengetahui makna dari bacaan tersebut.
       Sederhananya adalah umat muslim harus bisa membaca Al-Qur’an. Membaca kitab suci. Membaca kitabullah. Mungkin, proses ini bisa berhenti sampai taraf mampu bagi sebagian orang. Bisa juga bukan sekedar mampu membaca, namun mampu mengartikan bagi sebagian lainnya.
    Persoalannya adalah, apakah seluruh umat islam sudah mampu membaca Al-Qur’an? Untuk menjawab ini tentu dibutuhkan data yang benar-benar valid. Data yang akan memberikan gambaran tentang persoalan diatas. Data yang akan menguak fakta dalam kehidupan masyarakat muslim.
   Anggap saja,-maaf- masih ada yang belum mampu membaca Al-Qur’an. Siapakah yang bertanggungjawab terhadap fenomena itu? Tentu, bukan hanya tugas pemerintah, tokoh agama saja, tetapi tugas kita bersama. Tugas dari umat islam untuk memberikan pengajaran dalam membaca Al-Qur’an.
      Kedua, optimalisasi peran. Saya yakin dan percaya bahwa kita mempunyai peran dalam kehidupan ini. Sesungguhnya peran tersebut akan dirasakan oleh individu lain, jika optimalisasi peran dapat kita maksimalkan. Inilah kewajiban kita untuk berperan dalam kehidupan.
    Dalam konteks ini, peran para penyuluh agama mutlak diperlukan. Peran tersebut dapat melalui kelompok-kelompok pengajian, TPQ atau belajar mandiri. Dengan demikian optimalisasi peran penyuluh agama dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
    Inilah peran yang bisa di maksimalkan oleh penyuluh. Melaksanakan tugas dan fungsi bimbingan dan penyuluhan. Tugas yang mulia dan sekaligus “masuk” dalam jaminan Rasulullah SAW, yakni sebaik-baiknya manusia. Sebuah jaminan yang penyuluh agama rindukan.
    Dalam konteks tulisan ini, saya sengaja memberikan dorongan moral sebagai landasan etis untuk memberikan sebuah keyakinan. Bentuk keyakinan tersebut adalah “gelar” sebaik-baiknya manusia. Saya mempunyai keyakinan bahwa kita memiliki impian tersebut.
     Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkanya”. (H.R. Bukhori).
    Sudah seyogyanya para penyuluh agama mengambil peran tersebut. membimbing masyarakat agar mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Dengan peran tersebut maka program pemerintah dalam memberantas buta aksara Al-Qur’an dapat terwujud dengan baik.
     Ketiga, mengikuti proses yang berlangsung. Poin ini cukup penting untuk saya tekankan. Sebuah proses adalah keniscayaan dalam hidup untuk menentukan sebuah keberhasilan. Bagi saya, tiada kesuksesan tanpa adanya sebuah proses. Tidak mungkin memiliki pengetahuan tanpa membaca dan menulis.
      Dalam pemikiran saya, proses untuk “menemukan” alif (baca: huruf hijaiyah) memerlukan proses. Baik proses awal pengenalan, proses fungsi dan proses pemaknaan. Maka, mengabaikan sebuah proses berarti mengabaikan keberhasilan itu sendiri.
       Proses awal pengenalan merupakan fase awal untuk mengetahui. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa proses pengenalan ini terjadi saat usia balita. Pada fase ini, proses pengenalan huruf-huruf hijaiyah berlangsung. Tentu, hal ini berlaku khusus dalam tradisi keluarga muslim.
     Selanjutnya adalah proses fungsi. Ini merupakan tahab kedua yang harus dilalui. Sebab proses ini adalah kelanjutan dari proses sebelumnya. Dalam fase ini, pemahaman akan fungsi dipelajari dengan baik. Sehingga huruf alif (dalam konsepsi) tidak hanya berdiri sendiri, namun mempunyai fungsi lainya.
     Fase terakhir adalah proses pemaknaan. Dalam pemaknaan luas, alif  bukan hanya berdiri sendiri, namun juga bermakna penyatuan persepsi untuk diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Fase ini adalah fase paripurna dalam kehidupan dunia.
    Menurut saya, inilah mengapa fase ketiga merupakan fase paripurna. pada fase ini kita berkewajiban secara moral untuk menjalankan perintah agama melalui pesan yang tersirat ataupun yang tersurat. Demikian juga pada fase ini kita mampu memaknai eksistensi kita sebagai khalifah di semesta ini.
      Mari, kita (kembali) membaca Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh ayat ke 30.  Allah SWT berfirman:
    "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. 2:30).
   Akhirnya, proses pencarian alif  akan menemukan makna sebenarnya dalam kausalitas kehidupan manusia. Sebab kehidupan manusia dipenuhi misteri yang manusia juga tidak mengetahui kapan berakhirnya misteri itu sendiri.
  Semoga, proses pencarian alif  masih ada dalam mengisi kehidupan. Sebab pemaknaan akan hal tersebut masih akan terus berproses. Biarkan proses itu mengikuti alur semesta yang telah ditentukan. Tugas kita hanyalah mengisi kehidupan ini dengan nilai dan norma agama.
 
    Way Kanan, 28 Januari 2022

8 komentar: