Oleh : Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan
Tulisan ini
mencoba untuk mencari “sisi lain” dari pemaknaan yang ada dalam konteks
pembacaan ayat suci Al Qur’an. Mungkin agak bias untuk skala tertentu. Namun
akan tetap dapat dimaknai dari perspektif yang berbeda. Saya harus jujur di awal.
Bukan bermaksud untuk membuka
perdebatan, melainkan mencari perspektif yang berbeda. Perspektif dalam skala
terbatas dan khusus (baca: Penyuluh Agama Way Kanan). Tentu, dengan pemaknaan
yang luas. Disinilah pentingnya pembatasan itu.
Pertama, standar yang ada
cukup jelas. Standar itu adalah keimanan terhadap Kalamullah. Jika
standar ini memudar bahkan hilang, maka konsekwensi keberimananya akan
tercabut. Bukankah mengimani empat kitab suci (Taurat, Zabur, Injil dan
Al-Qur’an) adalah rukun iman?
Standar ini mengisyaratkan ketegasan
bagi kita (baca: umat muslim) untuk mengimani Al-Qur’an. Salah satu bentuk dari
pola mengimani adalah kemampuan untuk membaca. Dalam konteks ini adalah membaca
secara harfiah. Bisa juga bermakna membaca tanpa mengetahui makna dari
bacaan tersebut.
Sederhananya adalah umat muslim
harus bisa membaca Al-Qur’an. Membaca kitab suci. Membaca kitabullah.
Mungkin, proses ini bisa berhenti sampai taraf mampu bagi sebagian orang. Bisa
juga bukan sekedar mampu membaca, namun mampu mengartikan bagi sebagian
lainnya.
Persoalannya adalah, apakah seluruh
umat islam sudah mampu membaca Al-Qur’an? Untuk menjawab ini tentu dibutuhkan
data yang benar-benar valid. Data yang akan memberikan gambaran tentang
persoalan diatas. Data yang akan menguak fakta dalam kehidupan masyarakat
muslim.
Anggap saja,-maaf- masih ada yang
belum mampu membaca Al-Qur’an. Siapakah yang bertanggungjawab terhadap fenomena
itu? Tentu, bukan hanya tugas pemerintah, tokoh agama saja, tetapi tugas kita
bersama. Tugas dari umat islam untuk memberikan pengajaran dalam membaca
Al-Qur’an.
Kedua, optimalisasi peran.
Saya yakin dan percaya bahwa kita mempunyai peran dalam kehidupan ini. Sesungguhnya
peran tersebut akan dirasakan oleh individu lain, jika optimalisasi peran dapat
kita maksimalkan. Inilah kewajiban kita untuk berperan dalam kehidupan.
Dalam konteks ini, peran para
penyuluh agama mutlak diperlukan. Peran tersebut dapat melalui
kelompok-kelompok pengajian, TPQ atau belajar mandiri. Dengan demikian optimalisasi
peran penyuluh agama dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Inilah peran yang bisa di
maksimalkan oleh penyuluh. Melaksanakan tugas dan fungsi bimbingan dan
penyuluhan. Tugas yang mulia dan sekaligus “masuk” dalam jaminan Rasulullah
SAW, yakni sebaik-baiknya manusia. Sebuah jaminan yang penyuluh agama rindukan.
Dalam konteks tulisan ini, saya
sengaja memberikan dorongan moral sebagai landasan etis untuk memberikan sebuah
keyakinan. Bentuk keyakinan tersebut adalah “gelar” sebaik-baiknya manusia. Saya
mempunyai keyakinan bahwa kita memiliki impian tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya
kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkanya”. (H.R.
Bukhori).
Sudah seyogyanya para penyuluh agama
mengambil peran tersebut. membimbing masyarakat agar mampu membaca Al-Qur’an
dengan baik dan benar. Dengan peran tersebut maka program pemerintah dalam
memberantas buta aksara Al-Qur’an dapat terwujud dengan baik.
Ketiga, mengikuti proses yang
berlangsung. Poin ini cukup penting untuk saya tekankan. Sebuah proses adalah
keniscayaan dalam hidup untuk menentukan sebuah keberhasilan. Bagi saya, tiada
kesuksesan tanpa adanya sebuah proses. Tidak mungkin memiliki pengetahuan tanpa
membaca dan menulis.
Dalam pemikiran saya, proses untuk
“menemukan” alif (baca: huruf hijaiyah) memerlukan proses. Baik proses awal
pengenalan, proses fungsi dan proses pemaknaan. Maka, mengabaikan sebuah proses
berarti mengabaikan keberhasilan itu sendiri.
Proses awal pengenalan merupakan
fase awal untuk mengetahui. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa proses
pengenalan ini terjadi saat usia balita. Pada fase ini, proses pengenalan
huruf-huruf hijaiyah berlangsung. Tentu, hal ini berlaku khusus dalam tradisi
keluarga muslim.
Selanjutnya adalah proses fungsi.
Ini merupakan tahab kedua yang harus dilalui. Sebab proses ini adalah
kelanjutan dari proses sebelumnya. Dalam fase ini, pemahaman akan fungsi
dipelajari dengan baik. Sehingga huruf alif (dalam konsepsi) tidak hanya
berdiri sendiri, namun mempunyai fungsi lainya.
Fase terakhir adalah proses
pemaknaan. Dalam pemaknaan luas, alif bukan hanya berdiri sendiri, namun juga
bermakna penyatuan persepsi untuk diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Fase ini
adalah fase paripurna dalam kehidupan dunia.
Menurut saya, inilah mengapa fase
ketiga merupakan fase paripurna. pada fase ini kita berkewajiban secara moral
untuk menjalankan perintah agama melalui pesan yang tersirat ataupun yang
tersurat. Demikian juga pada fase ini kita mampu memaknai eksistensi kita
sebagai khalifah di semesta ini.
Mari, kita (kembali) membaca Al-Qur’an
Surat Al-Baqoroh ayat ke 30. Allah SWT
berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata,
“Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di
sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia
berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. 2:30).
Akhirnya, proses pencarian alif akan menemukan makna sebenarnya dalam
kausalitas kehidupan manusia. Sebab kehidupan manusia dipenuhi misteri yang manusia
juga tidak mengetahui kapan berakhirnya misteri itu sendiri.
Semoga, proses pencarian alif masih ada dalam mengisi kehidupan. Sebab pemaknaan
akan hal tersebut masih akan terus berproses. Biarkan proses itu mengikuti alur
semesta yang telah ditentukan. Tugas kita hanyalah mengisi kehidupan ini dengan
nilai dan norma agama.
Way Kanan, 28
Januari 2022
Lanjutkan... Mantap...
BalasHapussiap, Bos
Hapuswah...jadi juga akhirnya
BalasHapussiap
HapusJooosss
BalasHapusjos...ditunggu karyanya, ya
HapusMantabb ....saluut...💪💪💪
BalasHapussiap....berkarya dan berkarya...he.he
Hapus