Rabu, 29 Juli 2020

KLEPON DAN NYANYIAN ABSURD

Oleh : Munawar, S.Fil.I., MA, PAIF Kab. Way Kanan.

   Ah, Klepon, jajanan pasar yang naik level. Terlebih lagi makan kue tersebut dengan diselingi minum kopi hitam. Apalagi ada iringan nyanyian milik Agus Kotak, “ bojomu semangatku”. Semakin absurd otak ini mengkhayal kesana kemari.
  Klepon, mendadak jadi topik hangat untuk dibicarakan. Baik yang pro dan kontra. Tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Apakah klepon hanya sebagai jajanan pasar, klepon sebagai pancingan publik, atau klepon sebagai sebuah istilah nyanyian absurd.
   Berawal dari postingan poster –barangkali- iklan, “Kue klepon tidak Islami”. Kemudian terdapat himbauan yang-mungkin biasa Iklan.red)- untuk mengajak khalayak. “ Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan Islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami”.
   Jika dari sudut pandang klepon sebagai jajanan pasar, tidak bisa kira ragukan nikmatnya rasa makanan itu. Makanan yang khas dan merakyat. Hampir semua kalangan menyukainya. Proses pembuatanya pun mudah.
   Namun, seandainya –jika boleh berandai-, klepon dilihat dari sudut pandang pancingan publik, maka harus hati-hati. Lihat saja reaksi yang ditimbulkanya pun beraneka ragam. Artinya sudut pandang ini pun hanya sebagai sudut pandang penulis. Memang absurd dan menggelikan.
   Akan tetapi, jika postingan tersebut di-framing untuk memancing reaksi publik, bukan menjadi absurd lagi. Postingan tersebut tentu akan dianggap sebagai postingan yang meresahkan. Terlebih lagi pada era digital saat ini. Tentu menjadi mudah bagi masyarakat untuk beraksi.
   Publik pun akan merespon dengan caranya masing-masing. Reaksi yang diambil tentunya dengan kapasitas masing-masing. Bahkan ada yang bereaksi biasa saja, dianggap angin lalu. Yang pasti, publik selalu bereaksi tatkala sebuah postingan muncul di media massa.
   Ini akan menjadi serius jika menggunakan “simbol” sebagai pisau bedahnya. Simbol dari sebuah fakta yang sangat erat kaitanya dengan istilah-istilah kehidupan kita sehari-hari. Bahkan adakalnya justru menafsirkan makna lain dari simbol tersebut.
   Baik, kita ambil simbol klepon dan toko syariah. Klepon adalah makanan lokal, khas daerah Indonesia. Klepon biasa banyak terdapat di pasar-pasar tradisional. Sementara toko merupakan tempat belanja yang –kalau disebut toko-, memiliki bangunan mapan. Terlebih lagi dengan munculnya label syariah.
   Adakah hubungan dengan kondisi sekarang? Sangat naif jika kemudian analisis ini dijadikan dasar dari reaksi masyarakat. menjadi naif pula, jika ditafsirkan sebagai sebuah perlawanan. Maka, nyanyian absurditas penulis menjadi tidak bermakna. Ya namanya absurd.
   Bagi “informan”, analisis dengan pendekatan simbol itu perlu dan sangat penting untuk dilakukan. Simbol memiliki peran penting bagi sebuah tatanan kehidupan masyarakat. dengan simbol pula manusia mampu mendalami beragam pengetahuan yang sangat membantu keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
   Disisi lain, simbol akan menjadi bagian yang tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia. Simbol akan senantiasa ada. Dan dengan simbol itu juga sebuah peradaban akan berlangsung. Simbol-pun akan menentukan peradaban mana yang akan tetap bertahan atau tergerus zaman.
   Simbol klepon dalam nyanyian absurd adalah masyarakat pribumi. Masyarakat Indonesia. Masyarkat yang terkenal dengan sikap sopan santunya, senantiasa menjunjung tingi nilai etika. Masyarakat yang terdiri dari beragam suku bangsa, suku bahasa dan beragam kebudayaan. Masyarakat yang mengakui semboyan Bhineka Tunggal Ika.
   Disudut lain, muncul simbol toko syariah. Kata yang identik “milik” kaum muslimin. Kata yang seyogyanya tidak bermasalah bagi masyarakat Indonesia, terlebih lagi umat Islam. Kata yang dapat menjadi spirit tersendiri untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran yang diyakininya.
   Tapi, isu-isu yang berkembang, berita-berita yang tersebar cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, ketika isu agama muncul, maka dengan segera banyak yang mersponya. Bahkan respon tersebut tidak hanya di media massa, akan tetapi dengan melakukan demo dan lain sebagainya.
   Isu radikalisme, wahabi,  khilafah, jihad HTI dan lainya, merupakan label yang dialamatkan kepada umat Islam saja. Dan sudah barang tentu menimbulkan reaksi dari umat Islam itu sendiri. Alhasil, apapun yang digunakan dengan “istilah” arab, seakan ditujukan kepada umat Islam.   
   Hal ini menunjukkan bahwa, simbol dalam makna ini mempunyai dampak yang tidak boleh dianggap sepele. Simbol toko syariah mempunyai makna tersendiri. Dan dalam konteks tulisan ini pun, simbol tersebut dapat dikategorikan dalam “umpan” untuk melihat reaksi masyarakat.
   Akan lebih rumit lagi jika simbol klepon dan toko syariah digunakan untuk merusak tatanan masyarakat. Dampak yang dihasilkan-pun akan mampu merusak sendi-sendi dalam berbangsa dan bernegara. Dus, dapat memecah belah masyarakat yang sudah hidup damai dan rukun.
   Dalam kaitan ini, -meskipun hanya poster iklan, masyarakat perlu waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkan. Masyarakat harus bekerjasama untuk menangkal dampak yang ditimbulkan. Sebab, poster iklan tersebut sudah menyebar di media massa dan menimbulkan pro dan kontra.
   Nah, jika sudut pandang kedua ini akan  diperdalam, maka ilmu semiotika adalah jawabanya. Tanpa mempelajari ilmu semiotika, maka mustahil bagi kita untuk mengetahui gejala-gejala sosial yang berkembang di masyarakat.
   Terakhir, klepon sebagai nyanyian absurd. Sungguh benar-benar absurd jika kajian klepon menjadi diskursus yang sangat serius apalagi ambisius. Lebih absurd lagi jika pemaknaan tersebut disertai dengan tendensius.
   Dalam sebuah nyanyian, adakalnya bait-bait yang dilantunkan terdengar absurd. Meskipun adakalanya juga karya-karya yang dihasilkan oleh para musisi juga mengedepankan nilai etika. Sikap etis inilah yang apabila dilompati, maka saat itulah absurditas masuk. Tidak terkecuali dengan klepon.
   Pemaknaan terhadap realitas, reaksi ataupun gejala sosial lainya, merupakan sebuah dinamika. Sebagai sebuah dinamika, maka sebagai perimbangannya adalah pengetahuan. Semakin kita berpengatahuan, maka akan lebih mudah untuk membedah sebuah dinamika dengan menggunakan analisa dan pendekatan keilmuan.
   Namun, jangan juga menjadi absurd dalam pengetahuan itu saja. Melainkan penyeimbangan antara pengetahuan dan agama. Disinilah konsep keseimbangan akan muncul untuk menghindari absurditas dalam memaknai dan menjalani kehidupan. Kalau dalam konteks sederhana  ini, Einstein mengatakan science without religion is lame, religion without science is blind.
   Tapi, untuk makna religion nya Einstein bisa dipelajari lebih lanjut. Dan bisa juga, klepon sebagai teman pengganti makan ringan. Dijamin klepon akan membuat ketagihan.
Tulisan ini pernah dimuat dalam Kabar Sumatera oleh penulis yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar