Ah,
Klepon, jajanan pasar yang naik level. Terlebih lagi makan kue tersebut dengan
diselingi minum kopi hitam. Apalagi ada iringan nyanyian milik Agus Kotak, “ bojomu semangatku”. Semakin absurd otak
ini mengkhayal kesana kemari.
Klepon, mendadak jadi topik hangat
untuk dibicarakan. Baik yang pro dan kontra. Tergantung dari sudut mana kita
melihatnya. Apakah klepon hanya sebagai jajanan pasar, klepon sebagai pancingan
publik, atau klepon sebagai sebuah istilah nyanyian absurd.
Berawal dari postingan poster
–barangkali- iklan, “Kue klepon tidak
Islami”. Kemudian terdapat himbauan yang-mungkin biasa Iklan.red)- untuk
mengajak khalayak. “ Yuk tinggalkan
jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan Islami, aneka kurma yang
tersedia di toko syariah kami”.
Jika dari sudut pandang klepon
sebagai jajanan pasar, tidak bisa kira ragukan nikmatnya rasa makanan itu.
Makanan yang khas dan merakyat. Hampir semua kalangan menyukainya. Proses
pembuatanya pun mudah.
Namun, seandainya –jika boleh
berandai-, klepon dilihat dari sudut pandang pancingan publik, maka harus
hati-hati. Lihat saja reaksi yang ditimbulkanya pun beraneka ragam. Artinya
sudut pandang ini pun hanya sebagai sudut pandang penulis. Memang absurd dan
menggelikan.
Akan tetapi, jika postingan tersebut
di-framing untuk memancing reaksi publik,
bukan menjadi absurd lagi. Postingan tersebut tentu akan dianggap sebagai
postingan yang meresahkan. Terlebih lagi pada era digital saat ini. Tentu
menjadi mudah bagi masyarakat untuk beraksi.
Publik pun akan merespon dengan
caranya masing-masing. Reaksi yang diambil tentunya dengan kapasitas
masing-masing. Bahkan ada yang bereaksi biasa saja, dianggap angin lalu. Yang pasti,
publik selalu bereaksi tatkala sebuah postingan muncul di media massa.
Ini akan menjadi serius jika
menggunakan “simbol” sebagai pisau bedahnya. Simbol dari sebuah fakta yang
sangat erat kaitanya dengan istilah-istilah kehidupan kita sehari-hari. Bahkan
adakalnya justru menafsirkan makna lain dari simbol tersebut.
Baik, kita ambil simbol klepon dan
toko syariah. Klepon adalah makanan lokal, khas daerah Indonesia. Klepon biasa
banyak terdapat di pasar-pasar tradisional. Sementara toko merupakan tempat
belanja yang –kalau disebut toko-, memiliki bangunan mapan. Terlebih lagi
dengan munculnya label syariah.
Adakah hubungan dengan kondisi
sekarang? Sangat naif jika kemudian analisis ini dijadikan dasar dari reaksi
masyarakat. menjadi naif pula, jika ditafsirkan sebagai sebuah perlawanan.
Maka, nyanyian absurditas penulis menjadi tidak bermakna. Ya namanya absurd.
Bagi “informan”, analisis dengan
pendekatan simbol itu perlu dan sangat penting untuk dilakukan. Simbol memiliki
peran penting bagi sebuah tatanan kehidupan masyarakat. dengan simbol pula
manusia mampu mendalami beragam pengetahuan yang sangat membantu
keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Disisi lain, simbol akan menjadi
bagian yang tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia. Simbol akan senantiasa
ada. Dan dengan simbol itu juga sebuah peradaban akan berlangsung. Simbol-pun
akan menentukan peradaban mana yang akan tetap bertahan atau tergerus zaman.
Simbol klepon dalam nyanyian absurd
adalah masyarakat pribumi. Masyarakat Indonesia. Masyarkat yang terkenal dengan
sikap sopan santunya, senantiasa menjunjung tingi nilai etika. Masyarakat yang
terdiri dari beragam suku bangsa, suku bahasa dan beragam kebudayaan.
Masyarakat yang mengakui semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Disudut lain, muncul simbol toko
syariah. Kata yang identik “milik” kaum muslimin. Kata yang seyogyanya tidak
bermasalah bagi masyarakat Indonesia, terlebih lagi umat Islam. Kata yang dapat
menjadi spirit tersendiri untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran yang
diyakininya.
Tapi, isu-isu yang berkembang,
berita-berita yang tersebar cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, ketika isu
agama muncul, maka dengan segera banyak yang mersponya. Bahkan respon tersebut
tidak hanya di media massa, akan tetapi dengan melakukan demo dan lain sebagainya.
Isu radikalisme, wahabi, khilafah, jihad HTI dan lainya, merupakan
label yang dialamatkan kepada umat Islam saja. Dan sudah barang tentu
menimbulkan reaksi dari umat Islam itu sendiri. Alhasil, apapun yang digunakan
dengan “istilah” arab, seakan
ditujukan kepada umat Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa, simbol dalam makna
ini mempunyai dampak yang tidak boleh dianggap sepele. Simbol toko syariah
mempunyai makna tersendiri. Dan dalam konteks tulisan ini pun, simbol tersebut
dapat dikategorikan dalam “umpan” untuk melihat reaksi masyarakat.
Akan lebih rumit lagi jika simbol klepon dan
toko syariah digunakan untuk merusak tatanan masyarakat. Dampak yang
dihasilkan-pun akan mampu merusak sendi-sendi dalam berbangsa dan bernegara. Dus,
dapat memecah belah masyarakat yang sudah hidup damai dan rukun.
Dalam kaitan ini, -meskipun hanya poster
iklan, masyarakat perlu waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan yang
ditimbulkan. Masyarakat harus bekerjasama untuk menangkal dampak yang
ditimbulkan. Sebab, poster iklan tersebut sudah menyebar di media massa dan
menimbulkan pro dan kontra.
Nah, jika sudut pandang kedua ini akan diperdalam, maka ilmu semiotika adalah
jawabanya. Tanpa mempelajari ilmu semiotika, maka mustahil bagi kita untuk
mengetahui gejala-gejala sosial yang berkembang di masyarakat.
Terakhir, klepon sebagai nyanyian absurd.
Sungguh benar-benar absurd jika kajian klepon menjadi diskursus yang sangat
serius apalagi ambisius. Lebih absurd lagi jika pemaknaan tersebut disertai
dengan tendensius.
Dalam sebuah nyanyian, adakalnya bait-bait
yang dilantunkan terdengar absurd. Meskipun adakalanya juga karya-karya yang
dihasilkan oleh para musisi juga mengedepankan nilai etika. Sikap etis inilah
yang apabila dilompati, maka saat itulah absurditas masuk. Tidak terkecuali
dengan klepon.
Pemaknaan terhadap realitas, reaksi ataupun
gejala sosial lainya, merupakan sebuah dinamika. Sebagai sebuah dinamika, maka sebagai
perimbangannya adalah pengetahuan. Semakin kita berpengatahuan, maka akan lebih
mudah untuk membedah sebuah dinamika dengan menggunakan analisa dan pendekatan
keilmuan.
Namun, jangan juga menjadi absurd dalam
pengetahuan itu saja. Melainkan penyeimbangan antara pengetahuan dan agama.
Disinilah konsep keseimbangan akan muncul untuk menghindari absurditas dalam
memaknai dan menjalani kehidupan. Kalau dalam konteks sederhana ini, Einstein mengatakan science without religion is lame, religion without science is blind.
Tapi, untuk makna religion nya Einstein bisa
dipelajari lebih lanjut. Dan bisa juga, klepon sebagai teman pengganti makan
ringan. Dijamin klepon akan membuat ketagihan.
Tulisan ini pernah dimuat dalam Kabar Sumatera oleh penulis yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar