Kamis, 25 Februari 2021

Memaknai Sebuah Proses


Oleh: Munawar, S.Fil.I
PAI Fungsional Kemenag Kab. Way Kanan


Hari ini aku berbahagia. Betapa tidak, “Kakek Segala Tahu” hari ini berkantor di Kemenag Kabupaten Way Kanan. Dengan sukarela, mendaftarkan diri untuk melaksanakan tugas piket yang hanya satu tahun sekali. Sebuah kesempatan yang sangat berharga untuk membuktikan “cinta” nya kepada label Penyuluh Agama Islam.

Dengan modal “cinta”, tidak peduli jarak tempuh yang cukup jauh. Negara Batin-Blambangan Umpu merupakan tempat yang tidak dekat untuk di tempuh oleh individu yang berumur 46 tahun ini. Namun dengan semangat yang luar biasa, akhirnya jam 07.29 WIB sudah berada di Kantor Kemenag Way Kanan. Luar biasa dan sungguh mengagumkan, dengan berkendara motor dan menempuh waktu dua jam, sepagi ini sudah bersiap mengabdi.

Dialah Pak Yusuf Sudarto. PAI Non-PNS asal Kecamatan Negara Batin. Sebuah julukan melekat padanya. "Kakek Segala Tahu". Entah mengapa penyematan itu terasa “nikmat”. Tumpengan pun tidak dilakukan. Ah...cukup bermodal eksis sudah meraih itu semua. Maka, tak mengherankan jika beliau menjadi salah satu “penyemangat” dalam sebuah pengabdian.

Begitulah, sebuah oase dalam bentuk pengabdian. Piket. Cukup sederhana namun penuh makna. Bak sebuah kerinduan, kedatangan para PAI Non-PNS merupakan peristiwa yang bersejarah. Bercerita tentang banyak hal. Pun sekaligus mengobati rindu yang bersemayam. Rindu akan sebuah pertemuan. Hmm....

Kebahagian terasa lengkap, dengan hadirnya “filosof” kecil. Mas Susanto. Nuansa ceria tercipta dengan sebuah suguhan pengetahuan yang dinamis. Dua sahabat yang saling melengkapi hadir, menjalankan misi “sukarela” pagi ini. Sungguh beruntung, Allah SWT masih memberikanku sebuah kesempatan untuk melepas sebuah kerinduan.

Hmm...meskipun sebuah konsep sukarela, namun proses pembinaan tetap berjalan. Tadarus Al-Qur’an bersama merupakan sebuah kewajiban pasti. Hal ini tidak boleh di tawar lagi. Terlebih lagi Pak Ketua Pokjaluh dengan senang hati mengawali sebagai pembuka. Ini merupakan sebuah langkah “strategis” untuk menghadapi kegiatan yang akan berjalan.

Maka, kehadiran dua kawan ini menggelitik pikiranku untuk menulis. Ya, aku ingin menulis sebuah kalimat bagai endapan embun pagi yang “sempurna” pagi tadi. Sebuah goresan yang akan aku maknai sebagai sebuah proses “mengabadikan” momen yang cukup langka. Aku berharap, ungkapan ini mampu membuat tersenyum dan penyemangat. Minimal menikmati hari ini dengan keceriaan. Meskipun tidak selamanya kata dan kalimat mampu mewakili ekspresi kebahagiaan itu.

Aku cukup bahagia membawakan sajian atas pemberian tahun lalu. Sebuah pemberian untuk dinukilkan dalam kisah “the dreams of feature”. Selain bisa dinikmati, nukilan tersebut juga bisa dimaknai untuk sebuah proses “menjadi” dan “untuk”. Begitulah ujar sang “filosof” kecil itu bercerita. Beruntung saja, hari ini setangkai bunga “imajinasi” tidak terbawa. Sebab bunga itu akan mengaburkan makna “nda” dalam pahatan lelucon Bumi Ramik Ragom.

Inilah “bahaya”-nya jika “kakek segala tahu” bertemu “filosof” kecil. Semua etalase terbuka dengan “sempurna”. Memang cukup mengasyikkan jika pemaknaan “tafsir” diambilkan melalui kacamata “grup sebelah”. Namun, akan menjadi berbeda jika pemaknaan ini memakai sudut pandangan “singkong rebus”. Ya, singkong rebus. Hasil sebuah proses yang panjang karena melewati dua buah musim.

Begitulah gaya menikmati “singkong rebus” ala semesta raya. Gaya ini mengajarkan kepada kita bahwa alam semesta telah memberikan kita sebuah pelajaran berharga. Sebuah pelajaran tentang semak belukar, sungai, samudera dan bunga yang merekah. Semesta juga mengajari bagaimana pentingnya menjaga sebuah komitmen pengabdian.

Namun, semesta pun mengajari tentang sebuah misteri. Maka, langkah terbaik untuk belajar kepada semesta adalah “menelan” rasa takut. Sebab rasa takut “akan” dan “menjadi” harus dihadapi dengan kekuatan jiwa raga. Oleh karena, rasa takut adalah sebuah keniscayaan, tapi menghadapi rasa takut adalah keharusan.

Inilah mengapa, Ketua Pokjaluh –M.Ali-, memberikan dorongan spiritual agar para PAIF dan PAI Non-PNS jangan merasa mempunyai “dunia” sendiri-sendiri. Karena pada hakekatnya kita (PAIF dan PAI) adalah bagian dari keluarga besar Kementerian Agama Republik Indonesia. Sudah seyogyanya, rasa bangga mempunyai “rumah besar” itu dirawat dengan sebaik-baiknya.

Maka secara tidak langsung singkong rebus itu mengajari sebuah proses. Diawali dari Negara Batin. Jauh memang untuk mendapatkan sebuah bibit. Harus melalui  sungai, kebun karet, pasar dan juga tugu patung Ryacudu. Kemudian, melalui serangkaian proses, jadilah sajian utama hari ini. Kembali lagi  “ke perut” Negara Batin.

Memang benar, mengabdi adalah bagian dari sejarah kita hari ini. Sebuah kesempatan yang tidak semua orang mendapatkanya. Masih banyak yang berharap menjadi bagian dari keluarga besar Kementerian Agama. Maka,-sekali lagi- masa bhakti 2020-2024 dapat dimaksimalkan dengan sebaik-baiknya.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengisi pengabdian itu. Tentu, semua yang dilakukan PAIF dan PAI Non-PNS ada aturan mainya. Juga, tentunya jangan –sekali lagi, jangan- mengikuti atau terlibat dalam ormas yang sudah di larang pemerintah. Jika (poin) terakhir itu dilanggar, maka “kakek segala tahu” akan memberikan  “kode” agar sebuah tindakan keras diberlakukan.

Aha.... ternyata singkong rebus tidak mampu memberikan kenyamanan di perut. Butuh sebuah “asupan” rutin untuk kenyamanan itu. Beruntung “tukin” pak Ketua sudah berbunyi “ting”. Sebuah kode dari 3355. Maka, kenyamanan siang ini tercapai melalui “kemuliaan” Ketua Pokjaluh.

Hmm, sebuah moment sudah tercipta. Sejarah kamis di bulan Februari dua ribu satu telah tercatat secara “paripurna”. Tentu, kesempurnaan itu akan semakin bermakna jika, bulan berikutnya ada “relawan” yang bersedia –kembali- “menemani” di sebuah ruang Penyuluh Agama Islam.

Terimakasih Pak Yusuf dan Pak Susanto. Sudah menjadi bagian sejarah hari ini. Berharap apa yang diberikan dapat dipelajari. Khususnya Surat Keputusan Dirjen Bimas Islam Kemenag RI Nomor 298 tahun 2017, KMA Nomor 769 tahun 2018 yang dirubah melalui KMA Nomor: 53 Tahun 2019 atau peraturan lain yang terkait dengan PAI Non-PNS.

Hmm....sungguh beruntung, ada sesuatu yang tiba-tiba terlintas. Apakah itu? Pastinya bukan Ciwul, eh Tiwul. Bukan pula “cerita” kacamata plus yang retak. Bukan juga soal bagaimana cara membuat PDF. apalagi sebuah ketentuan “yang muda” yang “melayani”. Bukan itu. Hehe.

Tapi, sebuah Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Pada Bab II pasal 6 nomor satu disebutkan bahwa Majelis Taklim harus terdaftar pada Kantor Kementerian Agama. Inilah yang menjadi “menu tambahan” dalam program pembinaan hari ini.

Akhirnya, “kakek segala tahu” sudah mendapat kode. Sang “filosof” kecil juga sudah tidak sabar untuk menghitung tingkat keasaman air sumur. Maka, dengan tanpa isak air mata, aku “menghantarkan” sampai berkendara. “see you. May Allah bless you”. Dan keduanya “menghilang” dengan jejak yang terekam “abadi”.

Hidup Jayalah Penyuluh Kita.

Way Kanan, 25 Februari 2021


8 komentar: