Dengan modal “cinta”, tidak peduli jarak
tempuh yang cukup jauh. Negara Batin-Blambangan Umpu merupakan tempat yang
tidak dekat untuk di tempuh oleh individu yang berumur 46 tahun ini. Namun
dengan semangat yang luar biasa, akhirnya jam 07.29 WIB sudah berada di Kantor Kemenag Way
Kanan. Luar biasa dan sungguh mengagumkan, dengan berkendara motor dan menempuh
waktu dua jam, sepagi ini sudah bersiap mengabdi.
Dialah Pak Yusuf Sudarto. PAI Non-PNS asal
Kecamatan Negara Batin. Sebuah julukan melekat padanya. "Kakek Segala Tahu".
Entah mengapa penyematan itu terasa “nikmat”. Tumpengan pun tidak dilakukan.
Ah...cukup bermodal eksis sudah meraih itu semua. Maka, tak mengherankan jika
beliau menjadi salah satu “penyemangat” dalam sebuah pengabdian.
Begitulah, sebuah oase dalam bentuk
pengabdian. Piket. Cukup sederhana namun penuh makna. Bak sebuah kerinduan,
kedatangan para PAI Non-PNS merupakan peristiwa yang bersejarah. Bercerita tentang
banyak hal. Pun sekaligus mengobati rindu yang bersemayam. Rindu akan sebuah
pertemuan. Hmm....
Kebahagian terasa lengkap, dengan hadirnya “filosof”
kecil. Mas Susanto. Nuansa ceria tercipta dengan sebuah suguhan pengetahuan
yang dinamis. Dua sahabat yang saling melengkapi hadir, menjalankan misi “sukarela”
pagi ini. Sungguh beruntung, Allah SWT masih memberikanku sebuah kesempatan
untuk melepas sebuah kerinduan.
Hmm...meskipun sebuah konsep sukarela, namun
proses pembinaan tetap berjalan. Tadarus Al-Qur’an bersama merupakan sebuah
kewajiban pasti. Hal ini tidak boleh di tawar lagi. Terlebih lagi Pak Ketua
Pokjaluh dengan senang hati mengawali sebagai pembuka. Ini merupakan sebuah
langkah “strategis” untuk menghadapi kegiatan yang akan berjalan.
Maka, kehadiran dua kawan ini menggelitik pikiranku untuk menulis. Ya, aku ingin menulis sebuah kalimat bagai endapan embun pagi yang “sempurna” pagi tadi. Sebuah goresan yang akan aku maknai sebagai sebuah proses “mengabadikan” momen yang cukup langka. Aku berharap, ungkapan ini mampu membuat tersenyum dan penyemangat. Minimal menikmati hari ini dengan keceriaan. Meskipun tidak selamanya kata dan kalimat mampu mewakili ekspresi kebahagiaan itu.
Aku cukup bahagia membawakan sajian atas
pemberian tahun lalu. Sebuah pemberian untuk dinukilkan dalam kisah “the dreams of feature”. Selain bisa
dinikmati, nukilan tersebut juga bisa dimaknai untuk sebuah proses “menjadi”
dan “untuk”. Begitulah ujar sang “filosof” kecil itu bercerita. Beruntung saja,
hari ini setangkai bunga “imajinasi” tidak terbawa. Sebab bunga itu akan
mengaburkan makna “nda” dalam pahatan lelucon Bumi Ramik Ragom.
Inilah “bahaya”-nya jika “kakek segala tahu”
bertemu “filosof” kecil. Semua etalase terbuka dengan “sempurna”. Memang cukup
mengasyikkan jika pemaknaan “tafsir” diambilkan melalui kacamata “grup sebelah”.
Namun, akan menjadi berbeda jika pemaknaan ini memakai sudut pandangan “singkong
rebus”. Ya, singkong rebus. Hasil sebuah proses yang panjang karena melewati
dua buah musim.
Begitulah gaya menikmati “singkong rebus” ala
semesta raya. Gaya ini mengajarkan kepada kita bahwa alam semesta telah
memberikan kita sebuah pelajaran berharga. Sebuah pelajaran tentang semak
belukar, sungai, samudera dan bunga yang merekah. Semesta juga mengajari
bagaimana pentingnya menjaga sebuah komitmen pengabdian.
Namun, semesta pun mengajari tentang sebuah
misteri. Maka, langkah terbaik untuk belajar kepada semesta adalah “menelan”
rasa takut. Sebab rasa takut “akan” dan “menjadi” harus dihadapi dengan
kekuatan jiwa raga. Oleh karena, rasa takut adalah sebuah keniscayaan, tapi
menghadapi rasa takut adalah keharusan.
Inilah mengapa, Ketua Pokjaluh –M.Ali-,
memberikan dorongan spiritual agar para PAIF dan PAI Non-PNS jangan merasa
mempunyai “dunia” sendiri-sendiri. Karena pada hakekatnya kita (PAIF dan PAI)
adalah bagian dari keluarga besar Kementerian Agama Republik Indonesia. Sudah seyogyanya,
rasa bangga mempunyai “rumah besar” itu dirawat dengan sebaik-baiknya.
Maka secara tidak langsung singkong rebus itu
mengajari sebuah proses. Diawali dari Negara Batin. Jauh memang untuk
mendapatkan sebuah bibit. Harus melalui sungai,
kebun karet, pasar dan juga tugu patung Ryacudu. Kemudian, melalui serangkaian
proses, jadilah sajian utama hari ini. Kembali lagi “ke perut” Negara Batin.
Memang benar, mengabdi adalah bagian dari
sejarah kita hari ini. Sebuah kesempatan yang tidak semua orang mendapatkanya. Masih
banyak yang berharap menjadi bagian dari keluarga besar Kementerian Agama. Maka,-sekali
lagi- masa bhakti 2020-2024 dapat dimaksimalkan dengan sebaik-baiknya.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengisi
pengabdian itu. Tentu, semua yang dilakukan PAIF dan PAI Non-PNS ada aturan
mainya. Juga, tentunya jangan –sekali lagi, jangan- mengikuti atau terlibat dalam
ormas yang sudah di larang pemerintah. Jika (poin) terakhir itu dilanggar, maka
“kakek segala tahu” akan memberikan “kode”
agar sebuah tindakan keras diberlakukan.
Aha.... ternyata singkong rebus tidak mampu
memberikan kenyamanan di perut. Butuh sebuah “asupan” rutin untuk kenyamanan
itu. Beruntung “tukin” pak Ketua sudah berbunyi “ting”. Sebuah kode dari 3355. Maka,
kenyamanan siang ini tercapai melalui “kemuliaan” Ketua Pokjaluh.
Hmm, sebuah moment sudah tercipta. Sejarah kamis di bulan Februari dua ribu satu telah tercatat secara “paripurna”. Tentu, kesempurnaan itu akan semakin bermakna jika, bulan berikutnya ada “relawan” yang bersedia –kembali- “menemani” di sebuah ruang Penyuluh Agama Islam.
Terimakasih Pak Yusuf dan Pak Susanto. Sudah menjadi
bagian sejarah hari ini. Berharap apa yang diberikan dapat dipelajari. Khususnya
Surat Keputusan Dirjen Bimas Islam Kemenag RI Nomor 298 tahun 2017, KMA Nomor
769 tahun 2018 yang dirubah melalui KMA Nomor: 53 Tahun 2019 atau peraturan
lain yang terkait dengan PAI Non-PNS.
Hmm....sungguh beruntung, ada sesuatu yang
tiba-tiba terlintas. Apakah itu? Pastinya bukan Ciwul, eh Tiwul. Bukan pula “cerita”
kacamata plus yang retak. Bukan juga soal bagaimana cara membuat PDF. apalagi
sebuah ketentuan “yang muda” yang “melayani”. Bukan itu. Hehe.
Tapi, sebuah Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Pada Bab II pasal 6 nomor
satu disebutkan bahwa Majelis Taklim harus terdaftar pada Kantor Kementerian
Agama. Inilah yang menjadi “menu tambahan” dalam program pembinaan hari ini.
Akhirnya, “kakek segala tahu” sudah mendapat
kode. Sang “filosof” kecil juga sudah tidak sabar untuk menghitung tingkat
keasaman air sumur. Maka, dengan tanpa isak air mata, aku “menghantarkan” sampai
berkendara. “see you. May Allah bless you”. Dan keduanya “menghilang” dengan
jejak yang terekam “abadi”.
Hidup Jayalah Penyuluh Kita.
Way Kanan, 25 Februari 2021