Jumat, 04 Desember 2020

Sebulir Metamorfosa Siang

 


 

Oleh: Munawar

Sang surya telah bersinar saat perjalanan menuju Bumi Agung. Saat dimana sebagian besar penyuluh agama masih menikmati hidangan pagi, Neng Ciwul sudah beranjak menghampiri Mas Dana. Bukan untuk ngopi bersama, melainkan menuju rumah kang Imam untuk menanti kehadiran Ust. Boim. Inilah pagi yang ceria untuk menyusul kedua ketua yang ternyata sudah sedari dini hari disana. Beruntung Bunda Ayni sempat membuat kejutan yang tidak pernah aku sangka. Sungguh beruntung.Hehe.

Itulah kisah pembuka untuk menguatkan barisan formasi Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam (FKPAI) Way Kanan, hari ini. Sebuah kisah yang tak pernah terbayangkan akan menjadi sebuah prasasti peradaban, dimana Bumi Agung menjadi sentral dalam sejarah bulan November dua ribu dua puluh. Ya, inilah rekam jejak petualang yang dalam istilah kang Edi, elegi kebajikan dalam pemaknaan November rain. Sungguh, membuat sejarah adalah sebuah proses yang banyak membutuhkan energi, termasuk asupan madu sebagai makna yang sebenarnya.

Perjalanan ini sangat mengasyikkan. Terlebih lagi dengan personel lengkap. Dimulai dari yang paling endut dan diakhiri yang paling ceriwis. Sungguh, sebuah kesempatan yang baru terjadi di Bumi Agung. Nampaknya, nama beken Ust. Mansyurudin turut memengaruhi keikutsertaan kawan-kawan pengurus FKPAI Way Kanan.  Sebenarnya aku jadi pengen tahu, jurus apa yang digunakan oleh kawan-kawan penyuluh agama, sehingga Pengurus kabupaten bisa full tim. Entahlah.

Hal utama yang menjadikan kunjungan season lima, 26 November 2020 ini terlihat menarik nan mengasyikkan adalah kehadiran ketua Pokjaluh provinsi Lampung yang baru terpilih. Mr. Muadzib Ali. Keteguhan dan komitmennya tidak boleh diragukan lagi dalam dunia penyuluh. Ibarat pelangi, kecerian warna selalu terlihat menawan. Sungguh, sebuah nilai yang tak terhingga dalam pemaknaan metamorfosa kebajikan.

Sementara, hal terbaik versiku adalah manakala sesuatu (apapun namanya) mampu difungsikan sebagaimana manfaat yang bisa termanfaatkan dengan sempurna. Inilah metamorfosa itu. Ia akan tetap menjadi mutiara meskipun di dalam samudera terdalam. Sungguh sebuah kata mutiara sedikit berlaku dalam kaidah ini,  Ibta’id ‘amma yuz ‘ijuka, fal’alamu awsya’ mimma tatakhoyyal.

Hmm, meskipun Pisang Baru adalah salah satu kampung di Bumi Agung, namun bukan tempat itu yang akan kami tuju. Di kampung ini, tujuan sebenarnya adalah memastikan bahwa hubungan antar pemeluk agama keadaan baik-baik saja. Aku bersyukur, nuansa kedamaian nampak terlihat, meskipun beraneka ragam suku dan agama.

Satu hal yang hampir terlupakan, ternyata ada tamu istimewa yang menyengaja datang. Aku tidak tahu motif apa sebenarnya. Bisa jadi studi banding, karena Desember Gunung Labuhan menjadi tuan rumah, atau bisa jadi dalam rangka memilih Muli . Sekali lagi aku tidak tahu mengapa. Namun yang pasti, rona kepribadian masih nampak sangat muda nan segar. Beruntung, tamu istimewa dari Gunung Labuhan tidak mabuk dalam perjalanan yang masih berliku. Ah, ternyata bujang itu namanya Deden ABM.

Jarak tempuh Pisang Baru ke kantor Urusan Agama (KUA) Bumi Agung terbilang cukup unik, menurut ku. Betapa tidak, jika melalui jalur utama dipastikan dapat menikmati pisang goreng di kecamatan Buay Bahuga. Namun, jika melalui jalur (bukan) utama, maka sampailah ke tetangga provinsi, Sumatera Selatan. Tentu, jalur utama yang terpilih untuk dilalui, mengingat Kang Syahidul Umam sudah menanti dengan harap-harap cemas. Entah mengapa, aku juga tidak mengetahui dengan pasti.

Senyuman terurai dari tiga Srikandi, saat menjemput kedatangan kami. Lihatlah, neng Nur Soimah dengan gaya khasnya, menyambut dengan tangan terbuka. Berbeda dengan bu Sudarmi, kegembiraan yang terbalut rona sumringah. Pun demikian dengan ibu berkacamata ini, senyuman khasnya cukup banyak menyita perhatian. Ibu Siti Lailatul Mujayanah namanya

Keyakinan akan bumi Agung, sebagaimana nama yang bisa dimaknai sederhana adalah berjalannya fungsi yang di berikan, meskipun faktor penunjang acapkali terabaikan. Aku sungguh menyematkan pemaknaan itu khusus bagi teman-teman penyuluh Bumi Agung. Lihatlah, diawal kedatangan tim, pak M. Aliyuddin dan Pak M. Khoirul Anwar terlihat begitu semangat. Pun demikian dengan bapak-bapak “penghulu”.

Pemilihan sosok individu yang menerima bantuan, adalah bagian dari proses komunikasi yang baik. Betapa tidak sungkanya, sang "komunikator" Itu selalu bertanya tentang hal terbaik yang akan ditetapkan sebagai bagian dari proses panjang pengabdian penyuluh kepada masyarakat. Aku memahami, faktor imbal balik pada satu sisi juga layak dipertimbangkan. Sungguh, tepat sebuah ungkapan sederhana sekali, meskipun bukan penghasil kopi, namun suguhan kopi siang ini mampu menyegarkan urat syaraf yang hampir tertidur. Hehehe

Bukan Dugan yang menjadi pemicu utamanya, namun rasa kekeluargaan yang penuh canda tawa mampu mencairkan nuansa yang beraneka ragam. Jika ini bisa bertahan dengan baik, maka tidak mustahil, Dugan itu menjadi bagian dari nilai peradaban terindah dalam kancah sejarah perjalanan penyuluh, minimal periode ini.

Ah, membersamai pak Rosidin memberikan nuansa tersendiri. Ibarat pupuk, fungsi penyuburan sangat terasa. Proses panjang dalam cerita siang ini mengajarkan bahwa faktor usia ternyata membawa "misi" tersendiri untuk senantiasa bertahan pada sebuah resep dokter. Inilah mengapa Pak Mansyurudin juga mampu menjaga ritme kehidupan dengan hangat dan penuh canda tawa. Bukankah keduanya memiliki sisi yang berbeda, namun keduanya mempunyai banyak kesamaan. Faktor ini yang bisa dijadikan hikmah oleh para penyuluh agama.

Nyanyian wajib dalam setiap season berkumandang, Indonesia Raya. Sebuah lagu penggugah semangat akan cinta tanah air. Sebuah lagu yang wajib dihapal oleh seluruh kawan-kawan penyuluh agama. Sebuah lagu untuk meneguhkan bahwa Indonesia adalah tanah air dan sekaligus tanah tumpah darah seluruh rakyat Indonesia.

Sambutan hangat diberikan oleh Pak Wastam, Kepala KUA Bumi Agung. Dengan karakter yang hebat, rangkaian kalimat terangkai indah. Bumbu cerita yang diramu dalam balutan canda, mampu memberikan makna tersendiri. Makna yang aku tangkap adalah penyuluh merupakan milik bersama, dalam hal ini negara, bukan milik yang lainnya dan harus menguasai pengetahuan agama yang memadahi. Poin ini yang mampu "menghanyutkanku" kedalam logika the right man on the right place.

Godaan getuk lindri masih mampu aku tahan. File memori ku sengaja aku kosongkan sementara untuk menyimak penyampaian ketua FKPAI Way Kanan, Ust. Din Hadi. Kata penyemangat terlahir dari ungkapan lisan yang terurai. Pemaknaan dari apa yang disampaikan harus dipahami sebagai sebuah proses dalam meniti dan menjalani dunia penyuluh. Bukankah itu fair dalam sebuah kenisbian cinta dan mencintai sebuah profesi?

Sebuah pesan masuk, "silahkan dinikmati getuk lindrinya bos". Aku tersenyum. Aku belum berani menikmati sajian itu, sebelum Muli Nihayah enjoy menikmati hidangan yang tersaji. Aku masih cukup bertahan untuk tidak tergoda. Namun entah sampai kapan. Aku sangat berharap Muli satu ini segera menikmati hidangan itu sehingga getuk lindri yang menggoda dapat diamankan kedalam tempat terdalam. Hehe

Lima menit berlalu dengan begitu cepat saat pak ketua Pokjaluh menuangkan ide dan nasehat. Aku agak lama mencoba memfokuskan dan berkonsentrasi. Ada nuansa yang berbeda yang terasa. Aku masih mencari dimana perbedaan itu. Otak warasku kemudian berdamai dengan deru perasaan yang mencari sebuah nuansa yang berbeda itu. Cukup lama aku mencari sebuah perbedaan, sehingga sajian kopi datang terhidang. Segera aku seruput si hitam manis ini tanpa menunggu sms masuk.

Ah, nuansa itu terletak pada diksi yang tercipta. Begitu kalem, santai dan penuh tawa. Nuansa ini yang aku tangkap sehingga pemakluman menjadi sebuah jawaban. Dalam hati aku bertanya, “Dengaren logat bahasanya ini mellow,banyak canda dan tertawa?”. Bisa jadi akibat minum madu pagi tadi atau karena Bu Sriwatin membawa pasukan dari Buay Bahuga? Entahlah. Yang terpenting, Getuk lindri itu mempunyai rasa yang lezat. Hehehe.

Sejarah KKN sebagai pembuka dan sekaligus penguatan memori terbuka untuk menyatukan sejarah awal pak Wastam di Lampung Barat. Kreasi pada kata tak berhenti pada pola kalimat yang tersusun. Begitu mudah tercerna dan entah berapa kali ruangan itu seakan hidup. Beruntung pak M. Ali tidak berkisah bagaimana sepeda kesayangan nya yang hanya disisakan  rodanya saja.

Aku menangkap ada kegelisahan yang menyeruak dalam alur fikiran pak ketua. Terlebih lagi penekanan pada produktif dan bijak selalu terulang. Dalam hal ini aku tidak boleh menduga-duga atau menafsirkan dari nilai sebuah petuah. Bisa kualat nanti.

            Cukup runtun nan sabar, pak ketua dalam berwejang. Terkhusus lagi dalam era digital dan era generasi “Z”. Penguasaan tugas dan fungsi menjadi hal yang wajib, namun penguasaan terhadap digital tidak kalah pentingya. Ini adalah pesan tersirat yang tertangkap dalam kegiatan hari ini.

4 komentar:

  1. Cemburu.itulah yg kurasakan saat membca ini. Kapankah aku bisa menulis.. bermetamorfosa 😭

    BalasHapus
  2. Semangat, Maju jayalah penyuluh kita

    BalasHapus
  3. Senang, suka, cemburu kepengen ikutan seperti mereka,,,,,
    Tapi kapan yang lebih terasa dalam diksiku justru fatamorgana bukan metamorfosa seperti mereka.

    BalasHapus
  4. Senang, suka, cemburu kepengen ikutan seperti mereka,,,,,
    Tapi kapan yang lebih terasa dalam diksiku justru fatamorgana bukan metamorfosa seperti mereka.

    BalasHapus