Oleh : Munawar
PAI Kemenag Way Kanan
Mungkin, jika ditanya siapakah di dunia ini yang tidak mempunyai seorang Ibu? Aku dengan sangat mudah akan menjawab, bukan Ciwul, Kang Anto, Kang Dana, Bro Bukhori, Mang Eka, Mbakyu Soimah, Akhina Miftalif, Ust. Hasan dan juga Bunda Ayni. Semua yang tertulis diatas dipastikan mempunyai Ibu. Ya seorang Ibu. Sosok yang sangat berharga dalam kehidupan manusia.
Tulisan ini, aku ambil dari sebuah “urunan” pendapat di sebuah grup
“antah brantah”. Sebuah grup yang dIbuat khusus untuk rekan-rekan Penyuluah
Agama Islam (PAI) yang mempunyai “hobi” share, selfi, bisnis, debat bahkan
sampai ngajak nyanyi dangdut. Bayangkan satu, bisa jadi satu hari pesan Whataps
dari grup itu diatas lima puluhan pesan. Begitulah grup itu senantiasa
diramaikan oleh stiker yang entah makna apa dibalik stiker itu. Maka, aku bisa
memahami banyak yang mengundurkan diri dari grup “koplak” itu.Hehehe.
Sebuah “urunan” pendapat yang sangat menarik tentang Ibu, dan sekaligus
dalam rangka memperingati hari Ibu, 22 Desember 2020. Sebuah tema yang cukup
hangat dan dibahas dalam perspektif individu masing-masing PAI. Bagiku, ini
adalah luar biasa dalam tradisi mengeluarkan beragam pendapat terhadap satu
tema. Ah mengasikkan ya, jika tradisi ini berkembanng. Aku fikir grup itu
sedikit “nyeleneh” saja, ah ternyata memang benar-benar “koplak”.
Diawali dengan pendapat
Miftalif Albar, PAI KUA Kecamatan Pakuan Ratu. Gambaran sosok Ibu ini sungguh
menarik. Ia berpendapat bahwa “ Makhluk
kecil itu selalu memanjat pohon besar setiap hari, bahkan daun-daunnya dipetik
untuk bermain gembira, sehingga remaja.
Makhluk itu masih selalu menghampiri dan selalu memetik daun, bunga
bahkan ranting-ranting pohon itu, dengan tulus, rela dan ikhlas untuk
membahagiakan kesayangannya. Kemudian, beranjak dewasa makhluk itu mulai jarang
bahkan sering lupa untuk datang menghampiri pohon besar yang mulai menua.
Jangankan ranting, batang tubuhnya pun rela ditebang habis untuk makhlus yang
selalu ia rindukan. Ya, pohon besar itu adalah sang Ibu, yang teramat sangat
merindukan kebersamaan dengan buah hatinya.
Asyik, ini makna yang luar
biasa bagiku. Kiasan yang menggambarkan tentang kedaan dunia manusia. Begitu
bagusnya gambaran yang di sampaikanya, sehingga bisa untuk dijadikan ibrah bagi manusia lain.
Masih dalam kecamatan yang
sama, Bukhori mengemukakan “ Beliau dalam sanepan
jawa di katakan " pangeran katon" (Tuhan yang tampak) sebuah istilah yang menurut penafsiraan
tekstual sangat tidak masuk akal, akan tetapi jika kita mau merenungi memahami
dalam tataran konteks, sepertinya memang
relevan. Beliau adalah perwujudan sifat-sifat Tuhan sang pengasih, perantara
rizqi yang kita makan suap demi sesuap, bahkan wujud eksistensi kita juga berasal
darinya serta banyak hal yg tidak dapat terbilang dengan angka dan digambar
dengan kata yang mampu menjelaskan bahwa beliau lah ” tangan Tuhan”, yang
darinya kita benar-benar bisa merasakanan cipta dan karya Tuhan dalam diri dan
dunia kita secara nyata”.
Ini lebih dahsyat lagi.
Ternyata makna terdalam telah dikuasai dengan “sempurna”. Sebuah penggambaran
yang memerlukan “kerja otak” untuk meresapi uraian yang di sampaikan.
Hmm....sangat luar biasa dalam sudut pandang filsafat. Aku sangat berharap,
buku Dunia Shopie karya Jostien Gaarder dapat
segera dibacanya untuk mempertajam sebuah pisau analisisnya.
Aku cukup kaget tatkala Suci
Wulandari, PAI KUA Negeri Agung berpendapat dengan sebuah argumen “telak”.
“Kalau ditanya tentang Ibu, menurut ku Ibu itu Cerewet, gak sabaran, suka nyubit, suka marah-marah, tapi itu
persepsiku dahulu, sekarang aku baru
memahami makna di balik itu semua”.
Ada benarnya juga ya
pengakuan Ciwul ini. Akupun memahami pola pikir dari sudut pandangnya. Jadi
inget aku saat dimarah Ibu ketika ciblon
di bendungan belakang rumah. Apakah dahulu aku nakal ya? Sebuah pertanyaan yang
tidak perlu dijawab dengan sempurna. Hehehe.
Namun demikian, penghormatan
terhadap Ibu merupakan sebuah kewajiban yang tidak boleh ditawar lagi. Begitu
mulianya Ibu, Kanjeng Nabi menempatkan posisi diatas setelah sosok sang Ayah.
Bukankah dalam sebuah Hadist telah ditulis dengan indah. Dalam
Hadis Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan, "Siapakah orang yang paling
utama mendapat perlakuan yang baik?", Nabi menjawab, "Ibumu".
"Sesudah itu?" Nabi mengatakan, "Ibumu". "Lalu setelah
itu?". Nabi sekali lagi menegaskan, "Ibumu".
"Kemudian?". Baru Nabi mengatakan, "ayahmu".
Pun demikian sebuah
pengalaman berharga dari Dana Kristiyanto. Meskipun sama-sama di KUA Negeri
Agung, nampaknya mempunyai pemaknaan yang berbeda, meskipun pemaknaan itu
terlahir dari pengalaman sejarah. Cukup sederhana sosok Ibu menurut pendapatnya.
“Ibu adalah kompas kehidupan bagi putra putrinya, bukan hanya menunjukkan tapi
juga membimbing”.
Aku yakin dari sudut pandang
ini, Kang dana sudah pernah membaca Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 14. Dalam
Surat tersebut disebutkan bahwa :
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu-bapanya.
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Sudut pandang lain adalah
argumentasi dari Nurul Ayni, PAI Kecamatan Blambangan Umpu. Baginya, “ Ibu
adalah sosok individu yang menakjubkan. Beragam kelebihan telah diberikan
kepada Ibu. Sebuah kelebihan yang tidak diberikan oleh Tuhan kepada sosok Ayah.
Betapa mulianya seorang Ibu, sehingga penggambaran bahwa surga di bawah telapak
kaki Ibu”.
Argumentasi ini, agak susah
untuk diberikan catatan tersendiri. Mungkin kebingungan yang ada, hadir saat
hendak memberikan catatan. Ah, bunda, dirimu membuatku tak berdaya, dan aku
hanya cukup mampu menyampaikan kata, “ yes”. Itu saja. Hehehe
Pengakuan jujur-pun ada pada
diri Susanto, PAI KUA Kecamatan Way Tuba. “Mendengar kata Ibu, aku merasa sedih
dan bahagia menjadi satu dihatiku, karena Ibu adalah pelita yang berjasa bagi
hidupku, engkau guru semasa kecilku hingga saat ini. Semoga engkau selalu
diberi kesehatan, panjang umur dan
semoga engkau masuk surga. Ibu...maafkan anak mu ini yang selalu membuat engkau
sedih dan menangis atas perilaku anakmu ini. Ibu...aku hanya bisa berucap
terimakasih dan minta maaf”.
Sebuah kenyataan juga bisa
dijadikan sebuah pembelajaran bersama. Inilah yang dimaknai secara langsung
oleh Hasan Isro, PAI KUA Kecamatan Way Tuba. Ust. “segala tahu” ini cukup unik
dalam penggambaranya. Lihatlah, “terkadang saya heran dengan sebuah fakta.
Dalam kehidupan nyata empat atau lima anak tidak mampu merawat Ibu dengan baik,
tapi seorang Ibu mampu merawat satu
hingga dua belas anak atau lebih, hebat bukan”.
Hmm...Ust. “segala tahu “
ini cerdas juga melihat realita yang ada di binaanya. Sebuah penggambaran yang
logis dan nyata dalam kehidupan manusia. Sungguhpun demikian, aku berharap agar
Ust. Isro ini tidak beralasan untuk menambah Ibu lagi. Hehehe.
Disisi lain, Nur Soimah PAI
Kecamatan Bumi Agung mempunyai pandangan yang juga bagus. “Ibu...seorang wanita
yang mulia, kasih sayangnya walaupun ada yg tidak di sukai dari kita, seorang Ibu
hanya diam. Ibu....wanita hebat yang selalu ada dalam hati sanubariku yang
terdalam....tidak ada yang bisa menggantikannya. Sekarang hanya doa yg ku
panjat kan , semoga "syurga untuk Ibu".
Sementara Eka Destrianto Suropati secara gamblang menyampaikan dengan bahasa puitis.
Umak, masih terngiang-ngiang semua nasehatmu
Meskipun cara mu menasehati kami selalu
berbeda
Terkadang melalui marah ,
juga dengan lemah lembut
Namun
Kami selalu mengabaikan
semua itu..
Seiring berjalannya sang
waktu
Beragam nasehatmu
Dapat kami rasakan setelah
beberapa waktu
Umak... Kami tak mampu untuk
menghitung
Berapa banyak jasa yang
telah engkau perbuat untuk kami
Maafkan Kami yang belum
mampu untuk membuatmu tersenyum bangga,
Meski kami tau engkau telah
bangga dengan kehadiran kami didekatmu..
Umak... Do'a kan kami anak-anakmu
Agar mampu untuk menjadi
anak yang berguna
Sehingga do'a kami
Mampu untuk menggetarkan
Arsy...
Cukup pandai juga Mang Eka
ini berpuisi. Aku hanya bisa memahami bahwa proses penggambaran tentang Ibu
dapat dimaknai dengan sesungguhnya tatkala kebenaran itu telah hadir. Pemahaman
sederhana dari rangkaian kalimat diatas merupakan anugerah tersendiri. Bahkan,
sebuah anugerah tersebut terkadang dipahami denga baik, tatkala manusia mampu
belajar bijaksana. Nah inilah bukti bahwa pemahaman tentang Ibu memerlukan
sebuah proses.
Akhirnya, simpulan dari
pendapat di grup itu dapat ditafsirkan secara luas dengan sudut pandang yang
berbeda. Terlebih lagi para PAI. Aku sangat yakin bahwa pendapat ini juga
berlatar belakang pengalaman saat kecil atau bahkan belum baligh. Namun begitu, pemaknaan terhadap Ibu cukup menggembirakan
dalam sudut pandang individu.
Aku sangat yakin bahwa Ibu
(juga) merupakan tokoh agen of change
terhadap pola budaya yang berkembang di masyarakat. Satu alasan mengapa
keyakinan itu terbangun, yakni intensitas komunikasi yang dilakukan Ibu
terhadap anaknya lebih sering dilakukan Ibu, jika di bandingkan Ayah.
Selamat hari Ibu.
Barokalloh..tulisan ini bisa untuk renungan kita.
BalasHapussemangat.....thanks
HapusSyurga tempat yang layat untuk sang ibu
BalasHapusterimakasih...sudah urun rembug untuk tulisanya...ditunggu tulisan berikutnya
HapusMau dong buku Dunia Shopie karya Jostien Gaarder itu...
BalasHapusbisa baca di ebook...kang mas...terimakasih atas untaian filsafat
Hapuskapan bikin kelas ngeblok yg gratisan pak, pingin aq...
HapusSelamat hari ibu..untuk ibuku Lahal fatihah..
BalasHapusselamat hari ibu...terimakasih
HapusYa Allah... Ada yg menetes tapi bukan hujan..
BalasHapusapakah itu.........bukan karena asap "rewang" kan
Hapusterkadang ingin tertawa dan terkadang ingin menangis....trimakasih ibu semoga Alloh selalu membuka pintu rahmat untuk ibu kita semua dan untuk kita sebagai ibu dr anak2 kita. Aamiin.
BalasHapusterkadang ingin tertawa dan terkadang ingin menangis....trimakasih ibu semoga Alloh selalu membuka pintu rahmat untuk ibu kita semua dan untuk kita sebagai ibu dr anak2 kita. Aamiin.
BalasHapus