Rabu, 23 Desember 2020

Anugerah Penghujung Bulan


Oleh: Munawar
PAI Kemenag Way Kanan

Tepat pada tanggal 22 Desember 2020 ini season ke enam kembali dilaksanakan. Tanggal yang sama dengan peringatan hari Ibu. Sungguh kegiatan yang cukup "berwarna" sangat nampak dalam season ini, meskipun para ponggawa Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam (FKPAI) ada yag sedang berhalangan tetap. Aku cukup beruntung bisa mengabadikan dalam tulisan ini.

Hari ini, sungguh diluar dugaan. Bagaimana tidak, sebuah kehormatan besar di penghujung tahun, Pak Kepala Kemenag hadir dalam kegiatan Subuh berjamaah rutin bulanan ini. Dalam kacamata sederhana, kehadiran Pak H. M. Isa menjadi "amunisi" tersendiri bagi para Penyuluh Agama Islam (PAI), untuk selalu semangat dalam bertugas. Aku yakin dan percaya bahwa suasana hari ini pun menjadi sangat membahagiakan.

Pak Isa, demikian nama sapaan akrabnya, nampak gembira. Ditengah kesibukan yang banyak, masih meluangkan waktu untuk memberikan motivasi kepada para PAI. Hebatnya adalah pada pagi hari, bukan saat jam kantor. Bagiku ini adalah sesuatu yang luar biasa. Tentu, kami sangat berterimakasih atas support yang diberikan kepada kami. Dengan kehadiran itu, tentunya rasa bangga menjadi PAI semakin menancap dan mengakar kuat dalam sanubari para PAI.

Gunung Labuhan menjadi kecamatan yang dikunjungi diakhir tahun 2020 ini. Pemilihan kecamatan ini juga didasarkan pada beragam sudut pandang. Bisa jadi salah satunya adalah untuk kembali mengobarkan semangat juang kawan-kawan PAI di kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten Lampung Utara ini. Dalam istilah 'tukang ngopi" menikmati akhir tahun dengan menyeruput si hitam di area perbatasan. Mungkin terlihat cukup keren, namun tidak sampai absurd. Hehehe

Tentu, kegiatan hari ini bukan hanya ingin ketemu dengan, Zulaikah, Siti Juleha, Siti Rohmah, Uswatun Hasanah saja. Namun bermaksud untuk memastikan bahwa mereka dalam keadaan baik-baik saja. Bagiku, ketika mereka dalam keadaan baik, rasa syukur mengalir dalam raga terdalamku. Ternyata, nama nomor ketiga, belum bisa hadir, karena saatnya akan menjadi Ibu. Aku berdoa mudah-mudahan proses persalinan dapat berjalan dengan baik.

Demikian pula, kegiatan ini juga untuk memastikan bahwa roda kepemimpinan Khaerul Huda ABM dapat berjalan maksimal, sehingga Sigit Wibowo, Oksi Juan Firnando, dan Sariyanto dapat membantu kerja kelompok, sehingga tugas dapat terlaksana dengan baik. Minimal laporan tri wulan terakhir tidak terlambat untuk diserahkan di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Way Kanan.Hehehe

Sungguh, hari ini cukup membahagiakan. Bertemu dan berkomunikasi dengan individu-individu yang menarik. Sebuah moment yang sangat jarang terjadi, jika ditinjau dari kegiatan PAI Way Kanan. Hal inilah yang tidak aku sia-siakan untuk sekaligus belajar menggunakan tekhnogi, meskipun masih suka “mati kutu” dihadapan photoshop. Maklumlah, dunia filsafat selalu menggodaku, dulu saat masih di bumi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Jujur, aku harus memulai tulisan ini dengan sedikit penyesuaian keadaan. Bagaimana tidak, skenario awal telah tersusun dengan baik dan cukup matang, namun detik-detik keberangkatan mengalami perubahan. Akhirnya, planning dengan kode “Misi Bocor Alus” tidak dapat berjalan dengan maksimal. Keputusan mendesak untuk segera menggunakan misi “shopie” menjadi langkah terbaik.Hmm...

Pun demikian, tulisan ini agak sedikit berbeda dari tradisi sebelumnya. Entah asyik atau hambar, tak begitu masalah. Dalam istilah lain keluar dari tradisi sebelumnya yang menekankan pada kearifan lokal, berganti dengan out of the box. Bukan tanpa alasan mengapa ini disampaikan secara terbuka. Dengan demikian, dinamisasi dalam tulisan di blog penyuluh akan nampak beragam corak dan gaya pendekatanya.

Aku cukup senang saat melihat para petugas berasal dari kawan-kawan PAI. Memang seyogyanya adalah begitu. Dengan peran aktif tersebut, dapat membuktikan bahwa PAI Kecamatan Gunung Labuhan tidak bisa dianggap “sebelah mata” dalam percaturan dunia kepenyuluhan Way Kanan. Ini pun terbukti, saat lantunan ayat suci berkumandang. Terselip rasa bangga yang tak terkira dengan pembagian peran yang telah dilakukan. Hmm....ternyata bisa kan?

Pemaksimalan peran ini pun sesungguhnya telah terjadi. Menurut informasi dari Pak Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gunung Labuhan, bahwa jumlah kampung ada dua puluh satu. Sementara, jumlah PAI yang ada hanya ada delapan orang. Sungguh, dengan melihat “peta” ini saja aku bisa memastikan bahwa, satu orang penyuluh mempunyai wilayah binaan tidak hanya satu kampung saja. Cukup luar biasa dengan faktor geografis yang ada.

Tentu, Pak Drs. H. Darlin mempunyai strategi khusus untuk mensiasati keadaan yang ada. Hal ini sangat diperlukan untuk memastikan bahwa tugas dari Kepala KUA dapat berjalan dengan baik. Nah strategi inilah yang menarik perhatianku, untuk kemudian diabadikan dalam tulisan ini.

Pak Darlin, -begitulah sapaan akrabnya- menyampaikan bahwa keberadaan PAI di KUA Gunung Labuhan tidak dibedakan. Para PAI ini adalah keluarga besar Kemenag. Keberadaanya justru sangat membantu tugas yang ada di KUA. Disinilah salah satu “resep” untuk membuat PAI dapat berperan maksimal. Pengakuan ini cukup melegakanku sebagai bagian dari keluarga besar PAI dan sekaligus Keluarga besar Kemenag Way Kanan.

Strategi lainya adalah tersedianya waktu untuk bersama-sama belajar, menyampaikan permasalahan, mencari solusi dan sekaligus sebagai wahana untuk bertukar fikiran. Hari Selasa, merupakan hari yang disepakati untuk berkumpul bagi kawan-kawan PAI Gunung Labuhan. Tentu dengan fleksibelitas yang ada. Dengan melihat situasi dan kondisi.

Ah, aku rasa kegiatan itu cukup asyik nan menggembirakan. Sebuah kegiatan yang cukup positif untuk dipertahankan. Apapun yang menjadi pembahasan atau topik utamanya, akan terasa menyenangkan. Meskipun Pak Darlin –tadi- tidak menyampaikan bahwa dalam kegiatan tersebut ada sajian “si hitam” atau lainya, namun keratifitas kawan-kawan PAI pasti muncul. Saat itulah merupakan salah satu puncak dari sesi pertemuan rutin tersebut. Ini hanya perkiraanku saja ya. Hehehe.

Aku cukup terhentak kaget saat Pak Darlin bercerita ketika ke Baitullah. Sebuah peristiwa yang terjadi diluar dugaan. Sebuah peristiwa terjadi dihadapanya. Beliau melihat jamaah Haji melaksanakan tayyamum dengan cara sebagaimana melaksanakan wudlu. Tentu beliau heran dan bertanya tentang proses manasik yang dilaksanakan saat di tanah air.

“ Jangan menyalahkan jamaah tersebut ketika melakukan tayyamum sebagaimana cara berwudlu, tapi salahkan diri kita”. Kalimat ini yang menyentakkan ku. Cukup lama Aku menguraikan kisah nyata yang dialami oleh Pak Darlin. Ternyata, kata “kita” adalah sebuah kunci dari pemaknaan yang aku tangkap. Logikaku-pun menyetujui jika kalimat tersebut merupakan ungkapan tanggungjawab kita bersama, bukan pada sebuah obyek yang terlihat. Hmm...cukup logis bagiku.

Satu hal yang juga tidak boleh dilupakan menurut Pak Darlin adalah, “I’mal lidunyaaka ka-annaka ta’isyu abadan, wa’mal li-aakhiratika ka-annaka tamuutu ghadan.” Bagiku, tidak menyertakan terjemahan tidaklah mengapa, meskipun “salah” dalam sebuah kaidah tulisan. Aku cukup percaya, bahwa Ketua FKPAI Kabupaten Way Kanan akan dengan sangat lihai menterjemahkanya. Bolehlah, sesekali ada yang mengkritik atau berkomentar di kolom komentar setelah usai membaca tulisan ini tentunya.Hehehe.

Demikian juga tentang sebuah nilai kebaikan dalam berbagi. Kebaikan itu sungguh akan sangat membantu, terlebih lagi bagi masyarakat yang membutuhkan. Keyakinan akan kebaikan yang diwujudkan dalam bantuan pada hakekatnya adalah pemaknaan terhadap nilai kemanusiaan itu sendiri. Insya Allah, kerelaan hati kawan-kawan PAI akan senantiasa mengabadi dalam lintasan perjalan sejarah. Terimakasih Bu Linda, kehadiran Ibu adalah anugerah tersendiri bagi kami.

Jika dilihat dengan “nalar” kebersamaan, kegiatan ini cukup efektif nan bersahaja. Dengan berseragam kebanggan PAI Nasional cukup mampu memberikan ghirah tersendiri. Kebanggaan inilah yang juga harus selalu ada. Kebanggan kepada sebuah “identitas” merupakan wujud sebuah komitmen. Dengan demikian jati diri akan nampak dengan “identitas” tersebut. Bagiku, cukup jeli juga ketua FKPAI ini melihat keadaan. Beruntung hari ini aku juga menggunakan Idcard resmi. Ah, ternyata Ust. Din Hadi begitu pengertian sekali. Bravo for you!.

Waktu yang tersedia masih cukup untuk mendengarkan Ketua Kelompok Kerja Penyuluh Agama (Pokjaluh) Way Kanan dan sekaligus Ketua Pokjaluh Provinsi Lampung yang barusan terpilih. Inilah saat dimana pemaknaan kalimat perlu aku siapkan dengan baik. Bagiku, ini adalah sebuah komitmen untuk selalu mendukung Ketua dalam setiap kegiatan. Tentu dengan pilihan gaya bahasa yang sudah terbiasa aku tulis.

Sebagai rekan seperjuangan dalam dunia kepenyuluhan, aku sependapat dengan Pak M. Ali terkait keterbukaan mindset para PAI. Keterbukaan tersebut akan menjadikan PAI mempunyai wawasan dan cakrawala berfikir yang luas. Prasyarat mutlak dari hal tersebut adalah keinginan untuk terus belajar dan menuntut ilmu. Dengan demikian wawasan pengetahuan PAI akan bertambah dan bobot keilmuan akan meningkat.

Pak Ketua, -mungkin- terinspirasi dengan Quran Surat Al-Isra Ayat 85, sehingga menukil surat tersebut untuk meyakinkan bahwa Allah SWT memberikan ilmu kepada manusia itu hanya sedikit. Artinya, pengetahuan yang ada saat ini pada kita belumlah seberapa. Lihatlah wa mā ụtītum minal-'ilmi illā qalīlā (...dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit").

Pengertianya sesungguhnya dalam konteks khusus PAI adalah bahwa ilmu itu hukumnya wajib untuk terus dipelajari. Ilmu merupakan “aset” terpenting dan sekaligus “bekal” para PAI untuk melaksanakan tugas sebagai seorang penyuluh. Dengan demikian, penyuluh yang profesional akan menjadi sesuatu yang meniscayakan. Konsep keniscayaan ini yang akan mampu menjadikan PAI semangat untuk memperdalam ilmu pengetahuan.

Gunung Labuhan memberikan rekaman sejarah tersendiri. Menjadi baik adalah sebuah keniscayaan-pula- dalam melaksanakan sebuah amanah. Harapan itu juga tertuang dalam sebuah doa di penghujung acara. Sebuah pengharapan tentang kebajikan, keselamatan, kesejahteraan, jauh dari bala dan marabahaya. Cukup lengkap doa yang terpanjatkan.

Sedikit catatan terakhir, aku-pun menambahi sebuah harapan ,- jika dianggap bukan doa,- tahun depan para Muli Mekhanai yang hadir saat ini mampu melepaskan status tersebut. Aku tunggu kabar gembira tersebut di tahun 2021.

Hidup Jayalah Penyuluh Kita

Gunung Labuhan, 22 Desember 2020

 

Selasa, 22 Desember 2020

Kompas Kehidupan ; Memaknai Ibu, Sudut Pandang Grup


 

Oleh : Munawar
PAI Kemenag Way Kanan


           Mungkin, jika ditanya siapakah di dunia ini yang tidak mempunyai seorang Ibu? Aku dengan sangat mudah akan menjawab, bukan Ciwul, Kang Anto, Kang Dana, Bro Bukhori, Mang Eka, Mbakyu Soimah, Akhina Miftalif, Ust. Hasan dan juga Bunda Ayni. Semua yang tertulis diatas dipastikan mempunyai Ibu. Ya seorang Ibu. Sosok yang sangat berharga dalam kehidupan manusia.

Tulisan ini, aku ambil dari sebuah “urunan” pendapat di sebuah grup “antah brantah”. Sebuah grup yang dIbuat khusus untuk rekan-rekan Penyuluah Agama Islam (PAI) yang mempunyai “hobi” share, selfi, bisnis, debat bahkan sampai ngajak nyanyi dangdut. Bayangkan satu, bisa jadi satu hari pesan Whataps dari grup itu diatas lima puluhan pesan. Begitulah grup itu senantiasa diramaikan oleh stiker yang entah makna apa dibalik stiker itu. Maka, aku bisa memahami banyak yang mengundurkan diri dari grup “koplak” itu.Hehehe.

Sebuah “urunan” pendapat yang sangat menarik tentang Ibu, dan sekaligus dalam rangka memperingati hari Ibu, 22 Desember 2020. Sebuah tema yang cukup hangat dan dibahas dalam perspektif individu masing-masing PAI. Bagiku, ini adalah luar biasa dalam tradisi mengeluarkan beragam pendapat terhadap satu tema. Ah mengasikkan ya, jika tradisi ini berkembanng. Aku fikir grup itu sedikit “nyeleneh” saja, ah ternyata memang benar-benar “koplak”.

Diawali dengan pendapat Miftalif Albar, PAI KUA Kecamatan Pakuan Ratu. Gambaran sosok Ibu ini sungguh menarik. Ia berpendapat bahwa  “ Makhluk kecil itu selalu memanjat pohon besar setiap hari, bahkan daun-daunnya dipetik untuk bermain gembira, sehingga remaja.  Makhluk itu masih selalu menghampiri dan selalu memetik daun, bunga bahkan ranting-ranting pohon itu, dengan tulus, rela dan ikhlas untuk membahagiakan kesayangannya. Kemudian, beranjak dewasa makhluk itu mulai jarang bahkan sering lupa untuk datang menghampiri pohon besar yang mulai menua. Jangankan ranting, batang tubuhnya pun rela ditebang habis untuk makhlus yang selalu ia rindukan. Ya, pohon besar itu adalah sang Ibu, yang teramat sangat merindukan kebersamaan dengan buah hatinya.

Asyik, ini makna yang luar biasa bagiku. Kiasan yang menggambarkan tentang kedaan dunia manusia. Begitu bagusnya gambaran yang di sampaikanya, sehingga bisa untuk dijadikan ibrah bagi manusia lain.

Masih dalam kecamatan yang sama, Bukhori mengemukakan “ Beliau dalam sanepan jawa di katakan " pangeran katon" (Tuhan yang tampak)  sebuah istilah yang menurut penafsiraan tekstual sangat tidak masuk akal, akan tetapi jika kita mau merenungi memahami dalam tataran konteks, sepertinya memang  relevan. Beliau adalah perwujudan sifat-sifat Tuhan sang pengasih, perantara rizqi yang kita makan suap demi sesuap, bahkan wujud eksistensi kita juga berasal darinya serta banyak hal yg tidak dapat terbilang dengan angka dan digambar dengan kata yang mampu menjelaskan bahwa beliau lah ” tangan Tuhan”, yang darinya kita benar-benar bisa merasakanan cipta dan karya Tuhan dalam diri dan dunia kita secara nyata”.

Ini lebih dahsyat lagi. Ternyata makna terdalam telah dikuasai dengan “sempurna”. Sebuah penggambaran yang memerlukan “kerja otak” untuk meresapi uraian yang di sampaikan. Hmm....sangat luar biasa dalam sudut pandang filsafat. Aku sangat berharap, buku Dunia Shopie karya Jostien Gaarder dapat segera dibacanya untuk mempertajam sebuah pisau analisisnya.

Aku cukup kaget tatkala Suci Wulandari, PAI KUA Negeri Agung berpendapat dengan sebuah argumen “telak”. “Kalau ditanya tentang Ibu, menurut ku Ibu itu Cerewet, gak sabaran,  suka nyubit, suka marah-marah, tapi itu persepsiku dahulu,  sekarang aku baru memahami makna di balik itu semua”.

Ada benarnya juga ya pengakuan Ciwul ini. Akupun memahami pola pikir dari sudut pandangnya. Jadi inget aku saat dimarah Ibu ketika ciblon di bendungan belakang rumah. Apakah dahulu aku nakal ya? Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab dengan sempurna. Hehehe.

Namun demikian, penghormatan terhadap Ibu merupakan sebuah kewajiban yang tidak boleh ditawar lagi. Begitu mulianya Ibu, Kanjeng Nabi menempatkan posisi diatas setelah sosok sang Ayah. Bukankah dalam sebuah Hadist telah ditulis dengan indah.  Dalam Hadis Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan, "Siapakah orang yang paling utama mendapat perlakuan yang baik?", Nabi menjawab, "Ibumu". "Sesudah itu?" Nabi mengatakan, "Ibumu". "Lalu setelah itu?". Nabi sekali lagi menegaskan, "Ibumu". "Kemudian?". Baru Nabi mengatakan, "ayahmu".

Pun demikian sebuah pengalaman berharga dari Dana Kristiyanto. Meskipun sama-sama di KUA Negeri Agung, nampaknya mempunyai pemaknaan yang berbeda, meskipun pemaknaan itu terlahir dari pengalaman sejarah. Cukup sederhana sosok Ibu menurut pendapatnya. “Ibu adalah kompas kehidupan bagi putra putrinya, bukan hanya menunjukkan tapi juga membimbing”.

Aku yakin dari sudut pandang ini, Kang dana sudah pernah membaca Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 14. Dalam Surat tersebut disebutkan bahwa : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu-bapanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Sudut pandang lain adalah argumentasi dari Nurul Ayni, PAI Kecamatan Blambangan Umpu. Baginya, “ Ibu adalah sosok individu yang menakjubkan. Beragam kelebihan telah diberikan kepada Ibu. Sebuah kelebihan yang tidak diberikan oleh Tuhan kepada sosok Ayah. Betapa mulianya seorang Ibu, sehingga penggambaran bahwa surga di bawah telapak kaki Ibu”.

Argumentasi ini, agak susah untuk diberikan catatan tersendiri. Mungkin kebingungan yang ada, hadir saat hendak memberikan catatan. Ah, bunda, dirimu membuatku tak berdaya, dan aku hanya cukup mampu menyampaikan kata, “ yes”. Itu saja. Hehehe

Pengakuan jujur-pun ada pada diri Susanto, PAI KUA Kecamatan Way Tuba. “Mendengar kata Ibu, aku merasa sedih dan bahagia menjadi satu dihatiku, karena Ibu adalah pelita yang berjasa bagi hidupku, engkau guru semasa kecilku hingga saat ini. Semoga engkau selalu diberi kesehatan,  panjang umur dan semoga engkau masuk surga. Ibu...maafkan anak mu ini yang selalu membuat engkau sedih dan menangis atas perilaku anakmu ini. Ibu...aku hanya bisa berucap terimakasih dan minta maaf”.

Sebuah kenyataan juga bisa dijadikan sebuah pembelajaran bersama. Inilah yang dimaknai secara langsung oleh Hasan Isro, PAI KUA Kecamatan Way Tuba. Ust. “segala tahu” ini cukup unik dalam penggambaranya. Lihatlah, “terkadang saya heran dengan sebuah fakta. Dalam kehidupan nyata empat atau lima anak tidak mampu merawat Ibu dengan baik,  tapi seorang Ibu mampu merawat satu hingga dua belas anak atau lebih, hebat bukan”.

Hmm...Ust. “segala tahu “ ini cerdas juga melihat realita yang ada di binaanya. Sebuah penggambaran yang logis dan nyata dalam kehidupan manusia. Sungguhpun demikian, aku berharap agar Ust. Isro ini tidak beralasan untuk menambah Ibu lagi. Hehehe.

Disisi lain, Nur Soimah PAI Kecamatan Bumi Agung mempunyai pandangan yang juga bagus. “Ibu...seorang wanita yang mulia, kasih sayangnya walaupun ada yg tidak di sukai dari kita, seorang Ibu hanya diam. Ibu....wanita hebat yang selalu ada dalam hati sanubariku yang terdalam....tidak ada yang bisa menggantikannya. Sekarang hanya doa yg ku panjat kan , semoga  "syurga untuk Ibu".

Sementara Eka Destrianto Suropati secara gamblang  menyampaikan dengan bahasa puitis.

 Umak, masih terngiang-ngiang semua nasehatmu

 Meskipun cara mu menasehati kami selalu berbeda

Terkadang melalui marah , juga dengan lemah lembut

Namun

Kami selalu mengabaikan semua itu..

Seiring berjalannya sang waktu

Beragam nasehatmu

Dapat kami rasakan setelah beberapa waktu

Umak... Kami tak mampu untuk menghitung

Berapa banyak jasa yang telah engkau perbuat untuk kami

Maafkan Kami yang belum mampu untuk membuatmu tersenyum bangga,

Meski kami tau engkau telah bangga dengan kehadiran kami didekatmu..

Umak... Do'a kan kami anak-anakmu

Agar mampu untuk menjadi anak yang berguna

Sehingga do'a kami

Mampu untuk menggetarkan Arsy...

Cukup pandai juga Mang Eka ini berpuisi. Aku hanya bisa memahami bahwa proses penggambaran tentang Ibu dapat dimaknai dengan sesungguhnya tatkala kebenaran itu telah hadir. Pemahaman sederhana dari rangkaian kalimat diatas merupakan anugerah tersendiri. Bahkan, sebuah anugerah tersebut terkadang dipahami denga baik, tatkala manusia mampu belajar bijaksana. Nah inilah bukti bahwa pemahaman tentang Ibu memerlukan sebuah proses.

Akhirnya, simpulan dari pendapat di grup itu dapat ditafsirkan secara luas dengan sudut pandang yang berbeda. Terlebih lagi para PAI. Aku sangat yakin bahwa pendapat ini juga berlatar belakang pengalaman saat kecil atau bahkan belum baligh. Namun begitu, pemaknaan terhadap Ibu cukup menggembirakan dalam sudut pandang individu.

Aku sangat yakin bahwa Ibu (juga) merupakan tokoh agen of change terhadap pola budaya yang berkembang di masyarakat. Satu alasan mengapa keyakinan itu terbangun, yakni intensitas komunikasi yang dilakukan Ibu terhadap anaknya lebih sering dilakukan Ibu, jika di bandingkan Ayah.

Selamat hari Ibu.

 

Jumat, 04 Desember 2020

Sebulir Metamorfosa Siang

 


 

Oleh: Munawar

Sang surya telah bersinar saat perjalanan menuju Bumi Agung. Saat dimana sebagian besar penyuluh agama masih menikmati hidangan pagi, Neng Ciwul sudah beranjak menghampiri Mas Dana. Bukan untuk ngopi bersama, melainkan menuju rumah kang Imam untuk menanti kehadiran Ust. Boim. Inilah pagi yang ceria untuk menyusul kedua ketua yang ternyata sudah sedari dini hari disana. Beruntung Bunda Ayni sempat membuat kejutan yang tidak pernah aku sangka. Sungguh beruntung.Hehe.

Itulah kisah pembuka untuk menguatkan barisan formasi Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam (FKPAI) Way Kanan, hari ini. Sebuah kisah yang tak pernah terbayangkan akan menjadi sebuah prasasti peradaban, dimana Bumi Agung menjadi sentral dalam sejarah bulan November dua ribu dua puluh. Ya, inilah rekam jejak petualang yang dalam istilah kang Edi, elegi kebajikan dalam pemaknaan November rain. Sungguh, membuat sejarah adalah sebuah proses yang banyak membutuhkan energi, termasuk asupan madu sebagai makna yang sebenarnya.

Perjalanan ini sangat mengasyikkan. Terlebih lagi dengan personel lengkap. Dimulai dari yang paling endut dan diakhiri yang paling ceriwis. Sungguh, sebuah kesempatan yang baru terjadi di Bumi Agung. Nampaknya, nama beken Ust. Mansyurudin turut memengaruhi keikutsertaan kawan-kawan pengurus FKPAI Way Kanan.  Sebenarnya aku jadi pengen tahu, jurus apa yang digunakan oleh kawan-kawan penyuluh agama, sehingga Pengurus kabupaten bisa full tim. Entahlah.

Hal utama yang menjadikan kunjungan season lima, 26 November 2020 ini terlihat menarik nan mengasyikkan adalah kehadiran ketua Pokjaluh provinsi Lampung yang baru terpilih. Mr. Muadzib Ali. Keteguhan dan komitmennya tidak boleh diragukan lagi dalam dunia penyuluh. Ibarat pelangi, kecerian warna selalu terlihat menawan. Sungguh, sebuah nilai yang tak terhingga dalam pemaknaan metamorfosa kebajikan.

Sementara, hal terbaik versiku adalah manakala sesuatu (apapun namanya) mampu difungsikan sebagaimana manfaat yang bisa termanfaatkan dengan sempurna. Inilah metamorfosa itu. Ia akan tetap menjadi mutiara meskipun di dalam samudera terdalam. Sungguh sebuah kata mutiara sedikit berlaku dalam kaidah ini,  Ibta’id ‘amma yuz ‘ijuka, fal’alamu awsya’ mimma tatakhoyyal.

Hmm, meskipun Pisang Baru adalah salah satu kampung di Bumi Agung, namun bukan tempat itu yang akan kami tuju. Di kampung ini, tujuan sebenarnya adalah memastikan bahwa hubungan antar pemeluk agama keadaan baik-baik saja. Aku bersyukur, nuansa kedamaian nampak terlihat, meskipun beraneka ragam suku dan agama.

Satu hal yang hampir terlupakan, ternyata ada tamu istimewa yang menyengaja datang. Aku tidak tahu motif apa sebenarnya. Bisa jadi studi banding, karena Desember Gunung Labuhan menjadi tuan rumah, atau bisa jadi dalam rangka memilih Muli . Sekali lagi aku tidak tahu mengapa. Namun yang pasti, rona kepribadian masih nampak sangat muda nan segar. Beruntung, tamu istimewa dari Gunung Labuhan tidak mabuk dalam perjalanan yang masih berliku. Ah, ternyata bujang itu namanya Deden ABM.

Jarak tempuh Pisang Baru ke kantor Urusan Agama (KUA) Bumi Agung terbilang cukup unik, menurut ku. Betapa tidak, jika melalui jalur utama dipastikan dapat menikmati pisang goreng di kecamatan Buay Bahuga. Namun, jika melalui jalur (bukan) utama, maka sampailah ke tetangga provinsi, Sumatera Selatan. Tentu, jalur utama yang terpilih untuk dilalui, mengingat Kang Syahidul Umam sudah menanti dengan harap-harap cemas. Entah mengapa, aku juga tidak mengetahui dengan pasti.

Senyuman terurai dari tiga Srikandi, saat menjemput kedatangan kami. Lihatlah, neng Nur Soimah dengan gaya khasnya, menyambut dengan tangan terbuka. Berbeda dengan bu Sudarmi, kegembiraan yang terbalut rona sumringah. Pun demikian dengan ibu berkacamata ini, senyuman khasnya cukup banyak menyita perhatian. Ibu Siti Lailatul Mujayanah namanya

Keyakinan akan bumi Agung, sebagaimana nama yang bisa dimaknai sederhana adalah berjalannya fungsi yang di berikan, meskipun faktor penunjang acapkali terabaikan. Aku sungguh menyematkan pemaknaan itu khusus bagi teman-teman penyuluh Bumi Agung. Lihatlah, diawal kedatangan tim, pak M. Aliyuddin dan Pak M. Khoirul Anwar terlihat begitu semangat. Pun demikian dengan bapak-bapak “penghulu”.

Pemilihan sosok individu yang menerima bantuan, adalah bagian dari proses komunikasi yang baik. Betapa tidak sungkanya, sang "komunikator" Itu selalu bertanya tentang hal terbaik yang akan ditetapkan sebagai bagian dari proses panjang pengabdian penyuluh kepada masyarakat. Aku memahami, faktor imbal balik pada satu sisi juga layak dipertimbangkan. Sungguh, tepat sebuah ungkapan sederhana sekali, meskipun bukan penghasil kopi, namun suguhan kopi siang ini mampu menyegarkan urat syaraf yang hampir tertidur. Hehehe

Bukan Dugan yang menjadi pemicu utamanya, namun rasa kekeluargaan yang penuh canda tawa mampu mencairkan nuansa yang beraneka ragam. Jika ini bisa bertahan dengan baik, maka tidak mustahil, Dugan itu menjadi bagian dari nilai peradaban terindah dalam kancah sejarah perjalanan penyuluh, minimal periode ini.

Ah, membersamai pak Rosidin memberikan nuansa tersendiri. Ibarat pupuk, fungsi penyuburan sangat terasa. Proses panjang dalam cerita siang ini mengajarkan bahwa faktor usia ternyata membawa "misi" tersendiri untuk senantiasa bertahan pada sebuah resep dokter. Inilah mengapa Pak Mansyurudin juga mampu menjaga ritme kehidupan dengan hangat dan penuh canda tawa. Bukankah keduanya memiliki sisi yang berbeda, namun keduanya mempunyai banyak kesamaan. Faktor ini yang bisa dijadikan hikmah oleh para penyuluh agama.

Nyanyian wajib dalam setiap season berkumandang, Indonesia Raya. Sebuah lagu penggugah semangat akan cinta tanah air. Sebuah lagu yang wajib dihapal oleh seluruh kawan-kawan penyuluh agama. Sebuah lagu untuk meneguhkan bahwa Indonesia adalah tanah air dan sekaligus tanah tumpah darah seluruh rakyat Indonesia.

Sambutan hangat diberikan oleh Pak Wastam, Kepala KUA Bumi Agung. Dengan karakter yang hebat, rangkaian kalimat terangkai indah. Bumbu cerita yang diramu dalam balutan canda, mampu memberikan makna tersendiri. Makna yang aku tangkap adalah penyuluh merupakan milik bersama, dalam hal ini negara, bukan milik yang lainnya dan harus menguasai pengetahuan agama yang memadahi. Poin ini yang mampu "menghanyutkanku" kedalam logika the right man on the right place.

Godaan getuk lindri masih mampu aku tahan. File memori ku sengaja aku kosongkan sementara untuk menyimak penyampaian ketua FKPAI Way Kanan, Ust. Din Hadi. Kata penyemangat terlahir dari ungkapan lisan yang terurai. Pemaknaan dari apa yang disampaikan harus dipahami sebagai sebuah proses dalam meniti dan menjalani dunia penyuluh. Bukankah itu fair dalam sebuah kenisbian cinta dan mencintai sebuah profesi?

Sebuah pesan masuk, "silahkan dinikmati getuk lindrinya bos". Aku tersenyum. Aku belum berani menikmati sajian itu, sebelum Muli Nihayah enjoy menikmati hidangan yang tersaji. Aku masih cukup bertahan untuk tidak tergoda. Namun entah sampai kapan. Aku sangat berharap Muli satu ini segera menikmati hidangan itu sehingga getuk lindri yang menggoda dapat diamankan kedalam tempat terdalam. Hehe

Lima menit berlalu dengan begitu cepat saat pak ketua Pokjaluh menuangkan ide dan nasehat. Aku agak lama mencoba memfokuskan dan berkonsentrasi. Ada nuansa yang berbeda yang terasa. Aku masih mencari dimana perbedaan itu. Otak warasku kemudian berdamai dengan deru perasaan yang mencari sebuah nuansa yang berbeda itu. Cukup lama aku mencari sebuah perbedaan, sehingga sajian kopi datang terhidang. Segera aku seruput si hitam manis ini tanpa menunggu sms masuk.

Ah, nuansa itu terletak pada diksi yang tercipta. Begitu kalem, santai dan penuh tawa. Nuansa ini yang aku tangkap sehingga pemakluman menjadi sebuah jawaban. Dalam hati aku bertanya, “Dengaren logat bahasanya ini mellow,banyak canda dan tertawa?”. Bisa jadi akibat minum madu pagi tadi atau karena Bu Sriwatin membawa pasukan dari Buay Bahuga? Entahlah. Yang terpenting, Getuk lindri itu mempunyai rasa yang lezat. Hehehe.

Sejarah KKN sebagai pembuka dan sekaligus penguatan memori terbuka untuk menyatukan sejarah awal pak Wastam di Lampung Barat. Kreasi pada kata tak berhenti pada pola kalimat yang tersusun. Begitu mudah tercerna dan entah berapa kali ruangan itu seakan hidup. Beruntung pak M. Ali tidak berkisah bagaimana sepeda kesayangan nya yang hanya disisakan  rodanya saja.

Aku menangkap ada kegelisahan yang menyeruak dalam alur fikiran pak ketua. Terlebih lagi penekanan pada produktif dan bijak selalu terulang. Dalam hal ini aku tidak boleh menduga-duga atau menafsirkan dari nilai sebuah petuah. Bisa kualat nanti.

            Cukup runtun nan sabar, pak ketua dalam berwejang. Terkhusus lagi dalam era digital dan era generasi “Z”. Penguasaan tugas dan fungsi menjadi hal yang wajib, namun penguasaan terhadap digital tidak kalah pentingya. Ini adalah pesan tersirat yang tertangkap dalam kegiatan hari ini.