Saat memasuki area Muswil, alunan musik klasik lampung terdengar syahdu. Sungguh indah syair berbalut gitar itu. Sebuah kombinasi akurat untuk menciptakan nada. Sungguh nuansa indah yang terasa. Cukup pantas alunan itu diperdengarkan di Pondok Pesantren Bustanul Ulum yang begitu megah nan luas. Terlebih lagi yang hadir adalah orang-orang hebat nan pilihan.
Hmm.... Nampak halaman yang sangat luas. Bangun yang cukup tertata. Dengan ciri khas arsitektur lokal. Sementara disisi lain, tanaman singkong bersejajar rapi. Suasana yang ada cukup mampu menggambarkan kehidupan di Pesantren. Getaran nadiku berbisik lirih. “Aku kangen kehidupan pesantren”.
Sebagaimana acara musyawarah wilayah, pasti aroma "persaingan" merebak. Terlebih lagi level tingkat dua. Namun, ini jauh berbeda. Aku maklum akan suasana ini. Seluruh peserta adalah Penyuluh Agama. Tidak akan mungkin kata “darurat” beredar. Dari sinilah, cerita itu bermula.
Suasana sangat bersahabat penuh rona kebahagiaan. Hal ini dilatarbelakangi lama tak bersua. Saling tegur sapa menambah nuansa berbeda. Rasa kangen terurai bersama canda tawa yang merona. Selfi adalah hal "wajib" Untuk di lakukan. Terlebih lagi ibu ibu penyuluh. Ada rasa "gatal" Jika tidak berswafoto. Terlebih background itu cukup menggoda.
Aku lihat, Pak Rusdiyanto masih sama. Belum berubah. Tetap istiqomah. Masih gundul. Entah kapan sang rambut itu tumbuh. Sebenarnya kasihan dengan sang mahkota itu. Seakan tidak diberi peluang tumbuh. Padahal MTQ provinsi masih ditunda. Pengen rasanya “mengelus”nya. Namun aku tak tega. Beruntung, nyanyian gundul-gundul pacul tak terdengar. He. He
Aku tertegun mendengar suara yang “aduhai”. Boleh juga suara pranata acara ini. Merdu berliuk. Memainkan irama. Cukup menggetarkan. Mampu menambah semangat peserta Muswil. Terasa semua kelelahan "meleleh". Terbang bersama merdunya suara dalam ruangan ini. Ups. Beruntung aku tidak membawa bunga Mawar. Sehingga tak bisa aku hadiahkan kepada Ibu Siti Imroatun.
Lantunan kalam ilahi yang menggema, sontak membuat suasana hening. Aku yakin panca indera pendengar sedang berkonsentrasi penuh. Menyimak “kalam” Tuhan yang abadi. Aku “melebarkan” pandangan. Nampak Pak Kabid cukup serius mendengarkan alunan itu. Bahkan dari awal sampai akhir, pandangan tidak pernah lepas dari sang qori. Ini sebuah anugerah hebat. Tidak semua penyuluh di beri kemampuan yang istimewa itu. Termasuk aku.
Suara meliuk indah kembali terdengar. Sebuah perintah yang wajib ditaati. Berdiri. Inilah hebatnya pembawa acara. Sanggup memerintahkan para pejabat untuk berdiri. Saat itulah, lagu wajib di nyanyikan bersama secara serentak. Cukup semangat. Terlebih lagi sang dirigen sangat ligat dan enerjik.
Berbeda dengan lagu kedua. Mars Penyuluh Agama Islam. Bisik – bisik terdengar. “aku ga hafal lho”. Hmm...aku berguman. Beruntung kawan-kawan panitia dengan profesional memberikan “teks” layar lebar. Sehingga dengan mudah membantu menyayikan lagu tersebut. Dalam hati aku berguman, “jika aku jadi ketua, maka akan ada lomba menyanyi mars Penyuluh Agama Islam. Hadiah para pemenangnya berupa jalan-jalan gratis di kebun kopi Way Kanan”. Ah, mana mungkin.
Kini, panggung kehormatan di berikan kepada ketua panitia. The Rissing Star dari Way Kanan ini “menguasai” podium itu. Nampak gagah. Berbicara perlahan namun mantap. Ini adalah ciri khas Ketua Pokjaluh Way Kanan. Tentu, sudah tidak asing lagi sosok yang kalem ini. Dengan kalimat yang mantap, Pak M. Ali menutup sambutannya dengan statemen yang tinggi. “mohon maaf, kalau saya nilai kinerja panitia, maka nilai delapan lima merupakan pemberian yang pantas. Tidak mungkin akan bernilai seratus, sebab yang sempurna itu adalah milik Tuhan”. Hmm...
Lampung Tengah merasa terhormat menjadi tuan rumah Muswil Pokjaluh ini. Uraian itu disampaikan langsung oleh Pak Kepala Kemenag Lampung Tengah. Bagiku, uraian beliau cukup lugas. Terlebih lagi saat Pak Drs.H. Jamaludin, MM menguraikan secara terperinci tentang fungsi Penyuluh Agama. Fungsi Informatif, Fungsi Edukatif, Fungsi Konsultatif dan Fungsi Advokatif. Terimakasih pak Kepala Kemenag atas arahan yang diberikan kepada kami.
Ah.. ternyata Pak Kabid bersuara "renyah". Cukup enak untuk didengarkan. Suaranya sangat khas. Pun logat bahasanya. Aku lihat kawan-kawan tidak mengantuk. Bahkan mampu tertawa, saat Pak H.lukman Hakim,MM menyebut kata “kecelakaan”. Akupun tersenyum. Ini pasti “kode” sindiran kelas tinggi. Sungguh hebat gaya komunikasi yang disampaikan.
Tidak hanya sampai disitu, “sesungguhnya Penyuluh Agama sudah berada pada tempat yang terbaik di dunia dan akherat. Maka, sudah selayaknya Penyuluh Agama lah yang muncul dipermukaan. Bukan yang lainya. Dengan demikian, akan tercipta tatanan masyarakat yang baik”. Aku manggut-manggut mencerna kalimat-demi kalimat. Pak Kabid Penais Zakat dan Wakaf melanjutkan, “Penyuluh harus istiqomah ila yaumil qiyamah. Jangan mudah tergoda oleh sesuatu. Sebab hanya fatamorgana saja yang nyemplung disana”. Kembali kawan-kawan tertawa.
Bagiku, ini lumayan untuk dinikmati. Bahasa yang sengaja di munculkan Pak Kabid ini cukup menggugah “selera” sistem sarafku. Aku tergelitik dengan “kuliah” ini. Susunan bahasa yang lugas, sistematis, terstruktur selalu disajikan. Belum lagi, dengan “gaya” lihainya menyisipkan sebuah “jenaka” pengetahuan baru. Coba “tafsirkan” dengan sederhana kalimat dari pak Kabid ini. “Ah..ternyata Indonesia itu sangat luas”. Begitu sederhana. Namun “tafsir” itu harus di batasi ya. Hanya ruang lingkup Muswil Pokjaluh hari ini.
Hmm...ternyata ada “bintang” di ruangan ini. Nama yang selalu di sebut. Nama yang sudah tak asing lagi. Sebuah nama yang cukup “terkenal” melebihi Nona Ratnawiyah atau Jeng Sriwatin Hidayati. Seorang yang cukup lama malang melintang di dunia per- MTQ- an. Sosok ibu bersahaja yang pernah "mengenyam" atmosfir Kanwil Kemenag Provinsi Lampung. Ibu H. Fadilah. Sosok sederhana yang juga suka “ngemil” kuaci. Selamat datang kembali ke dunia penyuluh. Semoga kerasan.
Ah... Bang syahrul ini luar biasa. Bagaimana tidak, rasa penasaran dengan kopi Lampung tengah membuatnya berfilsafat ria. Kepentingan pribadi harus dijalankan, sementara sifat toleransi harus di kedepankan. Ini ajaib bagiku. Maka, dengan sedikit lobi, dua cangkir kopi sudah dihadapan. Meskipun belum saatnya ngopi bersama. Ini bahasa sederhana bagi penganut "mahzab" ahli hisap. Bagiku, selalu ada cara untuk mencari argumentasi. He.he.he.
Ternyata hikayat sang petunjuk melahirkan banyak cerita. Riwayat jalan kecil yang harus dilalui sering terdengar. Salah nan menyesatkan. Betapa tidak, berapa banyak kawan-kawan penyuluh yang meminta "jasa" Itu, namun akhirnya melahirkan cerita. Disinilah ungkapan “nakal” lahir. “Percaya itu hanya kepada Gusti Allah”. Nah, dalam konteks “meminta” petunjuk, maka harus hati-hati. Begitu sangat berhati-hati, langkah “terbaik” bagiku adalah mencari udara segar. Tidak ada maksud lain. Hanya menghindari diri ditunjuk sebagai pimpinan sidang.
Sungguh berwarna-warni suasana yang jauh dari hiruk pikuk saat pembahasan AD/ART. Kata setuju kerap mewarnai saat pimpinan sidang belum usai membaca tuntas. Begitu semangat membaca konsep itu. Sampai bab lima. Hebat. Aku tersenyum. Sementara di ujung sebelah luar, nampak beberapa "firqoh" juga sibuk. Entah apa yang juga dibicarakan. Mungkin urusan covid-19 yang dibahas. Bisa juga, membicarakan tukin yang baru saja di transfer bendahara.
Di penghujung agenda aku sedikit heran. Wah. Wah. mau kemana Den Bagus Arqom, Pak Purnomo, dan Kang Agus. Mlipir sejenak kesemak-semak. Gak ngajak-ngajak lagi. Aku curiga jangan-jangan mau cari “janda bolong”. Ini “nalar” usilku yang secara reflek mencatat. Ah...biarlah, toh kalau si “janda bolong” itu tak ada, untuk mengobati “kecewa”, saya akan matur Pak Kyai Gani. Beri kesempatan untuk mencabut singkong sebagai oleh-oleh yang berharga. He.he.he.
Ah ternyata “si hitam” ini cukup nikmat juga. Sebuah sajian berbingkai cerita “payah”. Mengisi energi. Menelaah tawa. Memahami alur. Meskipun makna “ujung tombok” selalu mengemuka. Biarlah, “sambal” dalam menu tadi menjadi sebuah jawaban sederhana. Bahwa, rasa pedas terkadang membawa kerinduan. Dengan rasa itu, mampu untuk membuktikan bahwa, Penyuluh Agama mempunyai magnet yang berharga. Magnet itu bernama “pengabdian tanpa batas”.
Terimakasih semua. Muswil ini bukan hanya soal siapa ketua. Namun, upaya menciptakan “magnet” jauh lebih penting untuk dilakukan. Sebuah upaya untuk “membalikkan” pandangan tentang si “ujung tombak” wajib bersama-sama dilakukan. Goresan “prasasti” sejarah telah terukir indah hari ini. Aku lebih suka mengabadikanya sebagai “Prasasti Anak Tuha”. Tanpa akhiran huruf “n”.
Selamat mengemban amanah Pak M. Ali. The Rissing Star dari Way Kanan.Hidup Jayalah Penyuluh Kita.
Ponpes Bustanul Ulum, 4 November 2020
Subhanalloh bener2 kebut .. unlimited idea . . Bravo
BalasHapusnikmati saja, meskipun kopi tak lagi panas.he
BalasHapusSelamat buat penyuluh semoga semakin berkembang sayapnya bersama kang ali dan kang agus yang mengemban amanah sebagai pimpinan pokjaluh prop..
BalasHapusyes...kita dukung bersama
HapusWau,, sudah selesai lagi,, dan harapannya cocok,, "bukan siapa yg mendji ketua tpi upaya menciptakan magnet yg teepenting",,,
BalasHapusLanjut pak smoga setiap momen dpt sllu di kenang melalui goresan tinta
itu berkat dukungan pak didi juga...terimakasih.he.he
HapusSemoga Muswil Pokjaluh Propinsi lampung kali ini membawa banyak kebaikan untuk semua Penyuluh Propinsi Lampung demi menuju Penyuluh Bermartabat ..Hidup jayalah Penyuluh Kita..
BalasHapushidup jayalah penyuluh kita
HapusSelamat dan sukses utk ketua dan jajaran pengurus Pokjaluh Lampung yg terpilih.
BalasHapusSaya suka gaya bahasa penulisan beritanya .. mengalir bagai aliran air menuju muaranya ... Gemericik diantara celah bebatuan ..ach benar adanya .. muara itu adalah magnet yang akan menyedot setiap sisi kehidupan.
Siapapun anda .. penulis berita ini anda hebat
sukses bersama, bersama sukses
BalasHapus