Senin, 02 November 2020

Air Tanpa Wadah

 

 

 

Oleh : Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan

Cuaca di Rebang Tangkas nampak mendung. Keadaan ini membuat gelisah sebagian teman-teman Penyuluh Agama. Ada guratan kekwatiran. Wajah-wajah cemas juga nampak. Sayup-sayup aku mendengar sebuah harapan, semoga jangan turun hujan sekarang. Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata, “doa kok nanggung”. He.he.he

Cuaca yang kurang bersahabat itu, tidak berpengaruh pada diri Pak M. Ali. Aku lihat wajah ceria yang nampak. Aku tidak bisa menduga faktor apa yang melatarbelakangi. Apakah makan Tiwul dan Rendang Jengkol tadi, atau sambal yang sangat menggoda. Namun, praduga itu terbantahkan. Mengapa? Nampak Pak Ketua sedang asyik bermain air.

Fakta yang tak terbantahkan. Begitu asyik bermain. Menikmati aliran Curup Pinang Indah. Tertawa lepas. Bergembira melepas kepenatan. Membuang semua beban. Seakan melupakan tugas berat. Tugas yang akan segera dilaksanakan. Musyawarah Wilayah Kelompok Kerja Penyuluh Agama provinsi Lampung. Hebatnya, jadi ketua Panitia.

Aku mengambil sisi lain. Bukan pada gerakan ekspresi. Bukan pada keceriaan yang nampak. Namun mencoba mengamati apa yang ada diseitar Pak Ketua. Air yang mengalir tiada henti. Aku fokus pada satu titik. Mengambil segelas kopi, sembari “membaca” masa lalu. Makna air dan seluruh pengetahuan yang aku ketahui.

Hal yang menarik sesungguhnya pada wujud dan keberadaan. Wujud nyata dari sosok individu dan keberadaan metafora dari riak yang ditimbulkan. Alangkah bahagianya keduanya bisa menyatu pada tempat dan suasana yang tepat. Sungguh bagiku, keadaan ini tidak boleh terabaikan. Sama halnya Lisda yang mengabadikan Pak M. Ali dalam sebuah foto sejarah.

Lihatlah dengan pandangan biasa. Air itu mengalir. Terus mengalir secara konstan. Nah disinilah “pertarungan” darahku mengusik. Hmm...bukankah sifat mengalir dari air itu bisa dijadikan “pegangan” hidup. Mengalir adalah gerak. Mengalir berarti “hidup”. Mengalir bermakna dinamis. Mengalir bermakna fleksibel. Dan mengalir juga bisa bermakna tidak “tidur”.

Sederhananya begini. Jika Pak M. Ali tidur di bebatuan itu, pasti berbahaya. Bisa repot semuanya. Tidur dalam arti sebenarnya, ataupun tidur dalam makna ungkapan. Sekali lagi, jika wujud itu tertidur, maka keberadaanya menimbulkan tanya. Sungguh benar-benar menimbulkan tanda tanya besar, seandainya Pak M. Ali tidur disana. He.he.

Wujud dalam konteks ini adalah ciptaan ajaib yang telah Allah berikan, begitu sempurna pemberian wujud itu. Sepasang mata, sepasang telinga, sepasang kaki, sepasang tangan. Juga akal dan nurani turut menyertai. Demikian juga wujud nama. Hmm..sempat aku mengira huruf “M” itu adalah Muhammad. Ternyata aku salah. Benar-benar tidak aku duga.

Sementara keberadaan dimaknai sebagai sebuah “simbol” dunia. Tanda bahwa kehidupan juga memerlukan “simbol”. Ini pun berlaku bagi Pak M. Ali. “simbol” yang aku maksud disini adalah Ketua Pokjaluh Way Kanan. Karena keberadaan itu, kegiatan Penyuluh Berbagi terus bergerak. Laksana air yang sempat dimainkan tadi. Dengan simbol itu pula, sebuah “konsep” terlahir. Bergerak atau tergerus.

Ah...mengapa aku teringat Thales, saat Pak M. Ali bermain air. Begitu melekatkah nama itu dalam memoriku, sehingga muncul begitu saja. Jika boleh aku berterus terang kepadanya, pasti nama Thales sudah tidak asing lagi. Aku sangat yakin sekali bahwa Thales diperkenalkan dalam Filsafat Umum. Dulu, sewaktu Pak M. Ali lagi “nyantri” di IAIN Radin Intan Lampung.

Oh ya, kalau aku lihat air ingat Thales. Lalu, ketika lihat getuk Lindri ingat siapa ya? Yang jelas bukan ingat dia, kamu atau mereka. Aku menyarankan, segera lafadzkan doa hendak bersantap. Segeralah di makan. Sembunyikan kesebuah tempat yang aman, yakni Perut. Sebab kalau tidak, ada tangan “jahil” yang segera mengamankan. He.he.he.

Seingatku, Thales menyatakan bahwa air adalah prinsip dasar segala sesuatu. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta. Itu ilmu yang aku dapat saat di “bumi” Sultan Yogyakarta. Sedangkan kalau makna teles, jangan tanya aku ya. Silahkan mandi ala Pak Eko di bawah sana, dijamin akan menemukan makna itu. 

 
Dimana ada curup, biasanya ada air. Pun di Curup Pinang Indah ini. Air cukup banyak melimpah ruah. Bisa jadi air adalah salah atu unsur terkuat di seantero jagad. Bayangkan, air mampu memadamkan apapun. Mampu memadamkam puntung rokok. Bahkan dalam jumlah  banyak, panas bumi pun bisa dipadamkannya. Air itu bersifat lembut, juga bersifat lentur namun amat sangat perkasa.
 
Kalau menurut Reza A.A Wattimena, Sifat yang ada dalam air ini, sejalan dengan kebijaksanaan Timur kuno. Kekuatan tertinggi tidak datang dari sikap garang, atau marah, melainkan dari kelembutan, seperti air. Sikap lembut berarti menerima apapun yang terjadi, tanpa memilih. Dari keterbukaan total semacam itu, lahirlah rasa welas asih dan kebijaksanaan.
 

Bagiku, ini sangat cocok. Nuansa yang ada pada Curup Pinang Indah. Selepas kegiatan “penyuluh berbagi” season empat ini, penyuluh akan mengadakan Musyawarah Wilayah. Cara terbaikku adalah “mengusung” Ketua Pokjaluh Way Kanan. Bukankah begitu Kang Bambang Setiadi, Mbak Banun, Mbak Ratnawiyah dan Mbak Indrayati?

 

Dalam tulisanya yang berjudul Belajarlah Kepemimpinan dari Air, Reza menyebutkan ada empat poin yang bisa kita pelajari dari air. Pertama, air selalu mengalir ke bawah. Seorang pemimpin perlu untuk merawat orang-orang yang dibawah pimpinannya. Pemimpin tidak boleh menjabat semata demi menjilat kekuasaan yang ada. Ia memberikan dirinya untuk perkembangan orang-orang yang berada di bawah pimpinannya.


Pasti benar kan, kalau air mengalir kebawah. Keadaan itu sudah di tetapkan. Bukan hanya sekedar gaya gravitasi saja. Namun ada konsekwensi pengetahuan mengapa hal tersebut terjadi. Jika yang terjadi air mengalir keatas, maka ada sebabnya. Berbeda lagi kalau menggunakan istilah "muncrat". Pasti akan banyak pembahasan. Dua cangkir kopi dirasa kurang untuk membahasnya. Maka, pertanyaan ketiga hadir. Siapa yang menyuguhkan cangkir ketiga?

Kedua, air tidak pernah memaksa, melainkan mengikis pelan-pelan, supaya terbuka jalan. Seorang pemimpin perlu sadar, bahwa perubahan adalah sebuah proses. Ia tidak boleh dilakukan terburu-buru, tanpa perencanaan yang matang. Ketiga, air juga selalu mencari celah untuk bergerak, bahkan ketika celah itu tidak ada. Ini melambangkan sikap pantang menyerah. Seorang pemimpin harus mencari cara baru, ketika cara lama tak lagi cocok dengan keadaan. Ia tidak boleh menyerah, hanya karena keterbatasan keadaan.
 
"Aku sih, yes saja". Begitu ungkapan itu aku gunakan. Banyak celah yang bisa untuk "dimasuki". Maka, konteks tulisanku ini adalah salah satu celah sudah terisi. celah itu bernama "penyuluh berbagi". Ini menggambarkan dengan jelas bahwa kebanggaan menjadi penyuluh tidak boleh stagnan. Nah, celah ini yang sedang "di masuki" oleh pak M. Ali.

 

Keempat, air siap menampung segalanya. Segala kotoran, racun, sampah dan apapun akan diterimanya, dan akan diolah menjadi lebih baik. Laut adalah contoh nyata untuk hal ini. Ini berarti, seorang pemimpin harus siap menampung permasalahan dari orang-orang yang dipimpinnya. Tidak hanya menampung, ia juga perlu mengolah masalah tersebut menjadi jalan keluar yang berguna bagi kemajuan bersama. Seorang pemimpin perlu mendengar dengan jeli dan sabar, sama seperti laut menampung segalanya dengan sabar.

 

Hmm....cukup serius nampaknya. Maklum, menjadi tim sukses itu berat. Perlu strategi khusus. Terlebih lagi untuk level provinsi. Perlu landasan “pacu” yang mampu untuk menerbangkan “payung” ide. Mungkin dalam “konstalasi besok, nampaknya enak jadi “penyelenggara” ataupun “pengawas” saja. Katanya cukup “menggoda”. Keduanya cukup “seksi” untuk didekati. He.he.he.

Sebenarnya, air terjun Curup Pinang Indah ini juga mengingatkanku pada sebuah film. Point Break. Ericson Core, sang sutradaranya mampu menciptakan adegan yang luar biasa. Salah satunya adalah menjatuhkan diri dari puncak air terjun tertinggi di dunia. Proses tersebut merupakan salah satu tahapan dari Ozaki 8.  Tantangan itu dinamakan act of ultimate trust. Sungguh luar biasa, menjatuhkan diri bersama air terjun dari ketinggian 979 meter. Betapa tingginya, air terjun Bidadari (Angel Falls) di Venezuela itu. Namun, bagi Bodhi, prosese menyerahkan diri pada kuasa bumi, wajib dilaksanakan. Maka, prosesi itu dilaksanakan dalam adegan itu.

Namun, aku bukanlah Bodhy atau agen FBI, Jhonny Utah dalam film itu. Akan tetapi film mampu menyatukan energi khayalan untuk merangkai “lukisan” sejarah. Disananalah akan ditemukan makna angin dan ombak kehidupan. Meskipun ini fiktif, namun The Ozaki 8 atau the Ozaki 8 ordeals atau 8 tantangan Ozaki mengandung nilai filosofis. Satu diantaranya adalah bagaimana menjaga keseimbangan alam.

Mataku masih nyaman menyaksikan air terjun itu. Pada posisi ini aku teringat, untaian yang disampaikan dalam pertemuan tadi. Sungguh, sebuah nasehat dan motivasi yang rugi jika diabaikan begitu saja. Karena bagiku, nasehat itu bisa berasal dari mana saja. Akan tetapi yang terpenting adalah Undzur maa qolla wala tandzur mangqola.

Begitulah, “celoteh” kawe tanpa gula yang aku bawa untuk menikmati air terjun ini. Sebuah permulaan “laga” penuh makna. Ya begitulah pemaknaanya. Dan yang pasti, jangan kau goda aku dengan getuk Lindri. Cukuplah “mencuri” aku melalui sebuah kamera saat asyik mencari “singgasana” Ki Buyut Mangun Tapa.

Rebang Tangkas, 27 Oktober 2020

 

4 komentar:

  1. Barakallah,
    FKPAI way kanan maju....
    ( Khotib Rifa'i)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih ketua....atas saran dan masukanya

      Hapus
  2. subhanlloh Kebut2... semoga ide selalu mengalir seperti air. .

    BalasHapus
    Balasan
    1. selama ada "bidadari", kebut hal yang biasa..asal jangan lupa tempat penitipan motor

      Hapus