Jumat, 27 November 2020

Ibu Saminem di Pelajaran ini (Penyuluh Peduli season 5)

 


Ibu Saminem, seorang ibu yang mempunyai kepribadian gigih dalam membantu usaha suaminya yang hanya sekedar buruh srabutan, masa pandemi ini benar benar menguras otaknya untuk mampu bertahan menghidupkan roda ekonomi keluarga. Keterbatasan suami tentu bukan alasan untuk menyalahkan keadaan, sementara dari tiga anak yang dimilikinya beliau mendapatkan ujian berupa ketidak sempurnaan fisik anak perempuannya, namun bagi ibu samiyem itu juga bukan alasan untuk beliau menyalahkan keadaannya... berjuang berusaha bersabar adalah kata yang selalu ia sematkan di hatinya. LA YUKALLIFULLAHU NAFSAN ILLA WUS ‘AHA (dan tidaklah Allah akan memberi musibah  melampaui batas kemampuan seseorang) seperti ayat yang selalu menghiburnya untuk bertahan dengan keaadaannya sekarang.

                Penyuluh Peduli season 5, menyapa Bumi Agung sebuah kecamatan yang cukup jauh dari pusat kota, 130 km mungkin jarak yang dekat bagi sebuah perkotaan, tapi tidak jika harus melewati jalan kampung yang masih banyak jalan tanah nya, ya andaikan sudah tersapal juga mungkin sudah banyak lobang karena beban kendaraan yang terkadang diatas rata – rata. Ibu Samiyem adalah ibu yang di sapa pada Penyuluh Agama Islam Peduli .

                Kegiatan Penyuluh Peduli dimulai dengan Gerakan Subuh berjamaah di Masjid Darul Ulum Kampung Pisang Indah Kec Bumi Agung Way Kanan Lampung. Rombongan Ketua Pokjaluh M.Ali S.Ag., MM. Dan Ketua FKPAI M.Din Hadi, S.Pd.I.,M.Pd.I. datang sesaat ajan dikumandangkan, memang butuh waktu, karena beliau berdua harus star jalan dari jam 02 dini hari untuk sampai di desa Pisang Indah lokasi pelaksanaan subuh berjamaah, ini merupakan tanggung jawab moril sebagai Penyuluh agama, makanya bagi para tetua Pokjaluh segala hambatan seakan tak dirasakan. Acara selanjutnya Pembinaan Pai Non PNS oleh Kapokjaluh, Kepala KUA dan Ketua FKPAI yang dilanjutkan pemberian santunan Produktif kepada masyarakat yang dhuafa yang mempunyai usaha produktif dengan diberikan suntikan modal berupa barang yang biasa dijual oleh yang bersangkutan.

                Semoga usaha mulia dari para penyuluh ini membawa barokah sebagia amal ibadah. Bravo untuk Penyuluh Agama Islam Way Kanan Lampung #Penyuluhbergerak #Penyuluhbermartbat #PenyuluhetalaseKemenag

Kamis, 05 November 2020

Magnet Penyuluh Agama

 


Oleh : Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan

Saat memasuki area Muswil, alunan musik klasik lampung terdengar syahdu. Sungguh indah syair berbalut gitar itu. Sebuah kombinasi akurat untuk menciptakan nada. Sungguh nuansa indah yang terasa. Cukup pantas alunan itu diperdengarkan di Pondok Pesantren Bustanul Ulum yang begitu megah nan luas. Terlebih lagi yang hadir adalah orang-orang hebat nan pilihan.

Hmm.... Nampak halaman yang sangat luas. Bangun yang cukup tertata. Dengan ciri khas arsitektur lokal. Sementara disisi lain, tanaman singkong bersejajar rapi. Suasana yang ada cukup mampu menggambarkan kehidupan di Pesantren. Getaran nadiku berbisik lirih. “Aku kangen kehidupan pesantren”.

Sebagaimana acara musyawarah wilayah, pasti aroma "persaingan" merebak. Terlebih lagi level tingkat dua. Namun, ini jauh berbeda. Aku maklum akan suasana ini. Seluruh peserta adalah Penyuluh Agama. Tidak akan mungkin kata “darurat” beredar. Dari sinilah, cerita itu bermula.

Suasana sangat bersahabat penuh rona kebahagiaan. Hal ini dilatarbelakangi lama tak bersua. Saling tegur sapa menambah nuansa berbeda. Rasa kangen terurai bersama canda tawa yang merona. Selfi adalah hal "wajib" Untuk di lakukan. Terlebih lagi ibu ibu penyuluh. Ada rasa "gatal" Jika tidak berswafoto. Terlebih background itu cukup menggoda.

Aku lihat, Pak Rusdiyanto masih sama. Belum berubah. Tetap istiqomah. Masih gundul. Entah kapan sang rambut itu tumbuh. Sebenarnya kasihan dengan sang mahkota itu. Seakan tidak diberi peluang tumbuh. Padahal MTQ provinsi masih ditunda. Pengen rasanya “mengelus”nya. Namun aku tak tega. Beruntung, nyanyian gundul-gundul pacul tak terdengar. He. He

Aku tertegun mendengar suara yang “aduhai”. Boleh juga suara pranata acara ini. Merdu berliuk. Memainkan irama. Cukup menggetarkan. Mampu menambah semangat peserta Muswil. Terasa semua kelelahan "meleleh". Terbang bersama merdunya suara dalam ruangan ini. Ups. Beruntung aku tidak membawa bunga Mawar. Sehingga tak bisa aku hadiahkan kepada Ibu Siti Imroatun.

Lantunan kalam ilahi yang menggema, sontak membuat suasana hening. Aku yakin panca indera pendengar sedang berkonsentrasi penuh. Menyimak “kalam” Tuhan yang abadi. Aku “melebarkan” pandangan. Nampak Pak Kabid cukup serius mendengarkan alunan itu. Bahkan dari awal sampai akhir, pandangan tidak pernah lepas dari sang qori. Ini sebuah anugerah hebat. Tidak semua penyuluh di beri kemampuan yang istimewa itu. Termasuk aku.

Suara meliuk indah kembali terdengar. Sebuah perintah yang wajib ditaati. Berdiri. Inilah hebatnya pembawa acara. Sanggup memerintahkan para pejabat untuk berdiri. Saat itulah, lagu wajib di nyanyikan bersama secara serentak. Cukup semangat. Terlebih lagi sang dirigen sangat ligat dan enerjik.

Berbeda dengan lagu kedua. Mars Penyuluh Agama Islam. Bisik – bisik terdengar. “aku ga hafal lho”. Hmm...aku berguman. Beruntung kawan-kawan panitia dengan profesional memberikan “teks” layar lebar. Sehingga dengan mudah membantu menyayikan lagu tersebut. Dalam hati aku berguman, “jika aku jadi ketua, maka akan ada lomba menyanyi mars Penyuluh Agama Islam. Hadiah para pemenangnya berupa jalan-jalan gratis di kebun kopi Way Kanan”. Ah, mana mungkin.

Kini, panggung kehormatan di berikan kepada ketua panitia. The Rissing Star dari Way Kanan ini “menguasai” podium itu. Nampak gagah. Berbicara perlahan namun mantap. Ini adalah ciri khas Ketua Pokjaluh Way Kanan. Tentu, sudah tidak asing lagi sosok yang kalem ini. Dengan kalimat yang mantap, Pak M. Ali menutup sambutannya dengan statemen yang tinggi. “mohon maaf, kalau saya nilai kinerja panitia, maka nilai delapan lima merupakan pemberian yang pantas. Tidak mungkin akan bernilai seratus, sebab yang sempurna itu adalah milik Tuhan”. Hmm...

Lampung Tengah merasa terhormat menjadi tuan rumah Muswil Pokjaluh ini. Uraian itu disampaikan langsung oleh Pak Kepala Kemenag Lampung Tengah. Bagiku, uraian beliau cukup lugas. Terlebih lagi saat Pak Drs.H. Jamaludin, MM menguraikan secara terperinci tentang fungsi Penyuluh Agama. Fungsi Informatif, Fungsi Edukatif, Fungsi Konsultatif dan Fungsi Advokatif. Terimakasih pak Kepala Kemenag atas arahan yang diberikan kepada kami.

Ah.. ternyata Pak Kabid bersuara "renyah". Cukup enak untuk didengarkan. Suaranya sangat khas. Pun logat bahasanya.  Aku lihat kawan-kawan tidak mengantuk. Bahkan mampu tertawa, saat Pak H.lukman Hakim,MM menyebut kata “kecelakaan”. Akupun tersenyum. Ini pasti “kode” sindiran kelas tinggi. Sungguh hebat gaya komunikasi yang disampaikan.

Tidak hanya sampai disitu, “sesungguhnya Penyuluh Agama sudah berada pada tempat yang terbaik di dunia dan akherat. Maka, sudah selayaknya Penyuluh Agama lah yang muncul dipermukaan. Bukan yang lainya. Dengan demikian, akan tercipta tatanan masyarakat yang baik”. Aku manggut-manggut mencerna kalimat-demi kalimat. Pak Kabid Penais Zakat dan Wakaf melanjutkan, “Penyuluh harus istiqomah ila yaumil qiyamah. Jangan mudah tergoda oleh sesuatu. Sebab hanya fatamorgana saja yang nyemplung disana”. Kembali kawan-kawan tertawa.

Bagiku, ini lumayan untuk dinikmati. Bahasa yang sengaja di munculkan Pak Kabid ini cukup menggugah “selera” sistem sarafku. Aku tergelitik dengan “kuliah” ini. Susunan bahasa yang lugas, sistematis, terstruktur selalu disajikan. Belum lagi, dengan “gaya” lihainya menyisipkan sebuah “jenaka” pengetahuan baru. Coba “tafsirkan” dengan sederhana kalimat dari pak Kabid ini. “Ah..ternyata Indonesia itu sangat luas”. Begitu sederhana. Namun “tafsir” itu harus di batasi ya. Hanya ruang lingkup Muswil  Pokjaluh hari ini.

Hmm...ternyata ada “bintang” di ruangan ini. Nama yang selalu di sebut. Nama yang sudah tak asing lagi. Sebuah nama yang cukup “terkenal” melebihi Nona Ratnawiyah atau Jeng Sriwatin Hidayati. Seorang yang cukup lama malang melintang di dunia per- MTQ- an. Sosok ibu bersahaja yang pernah "mengenyam" atmosfir Kanwil Kemenag Provinsi Lampung. Ibu H. Fadilah. Sosok sederhana yang juga suka “ngemil” kuaci. Selamat datang kembali ke dunia penyuluh. Semoga kerasan.

Ah... Bang syahrul ini luar biasa. Bagaimana tidak, rasa penasaran dengan kopi Lampung tengah membuatnya berfilsafat ria. Kepentingan pribadi harus dijalankan, sementara sifat toleransi harus di kedepankan. Ini ajaib bagiku. Maka, dengan sedikit lobi, dua cangkir kopi sudah dihadapan. Meskipun belum saatnya ngopi bersama. Ini bahasa sederhana bagi penganut "mahzab" ahli hisap. Bagiku, selalu ada cara untuk mencari argumentasi. He.he.he.

Ternyata hikayat sang petunjuk melahirkan banyak cerita. Riwayat jalan kecil yang harus dilalui sering terdengar. Salah nan menyesatkan. Betapa tidak, berapa banyak kawan-kawan penyuluh yang meminta "jasa" Itu, namun akhirnya melahirkan cerita. Disinilah ungkapan “nakal” lahir. “Percaya itu hanya kepada Gusti Allah”. Nah, dalam konteks “meminta” petunjuk, maka harus hati-hati. Begitu sangat berhati-hati, langkah  “terbaik” bagiku adalah mencari udara segar. Tidak ada maksud lain. Hanya menghindari diri ditunjuk sebagai pimpinan sidang.

Sungguh berwarna-warni suasana yang jauh dari hiruk pikuk saat pembahasan AD/ART. Kata setuju kerap mewarnai saat pimpinan sidang belum usai membaca tuntas. Begitu semangat membaca konsep itu. Sampai bab lima. Hebat. Aku tersenyum. Sementara di ujung sebelah luar, nampak beberapa "firqoh" juga sibuk. Entah apa yang juga dibicarakan. Mungkin urusan covid-19 yang dibahas. Bisa juga, membicarakan tukin yang baru saja di transfer bendahara.

Di penghujung agenda aku sedikit heran. Wah. Wah. mau kemana Den Bagus Arqom, Pak Purnomo, dan Kang Agus. Mlipir sejenak kesemak-semak. Gak ngajak-ngajak lagi. Aku curiga jangan-jangan mau cari “janda bolong”. Ini “nalar” usilku yang secara reflek mencatat. Ah...biarlah, toh kalau si “janda bolong” itu tak ada, untuk mengobati “kecewa”, saya akan matur  Pak Kyai Gani. Beri kesempatan untuk mencabut singkong sebagai oleh-oleh yang berharga. He.he.he.

Ah ternyata “si hitam” ini cukup nikmat juga. Sebuah sajian berbingkai cerita “payah”.  Mengisi energi. Menelaah tawa. Memahami alur. Meskipun makna “ujung tombok” selalu mengemuka. Biarlah, “sambal” dalam menu tadi menjadi sebuah jawaban sederhana. Bahwa, rasa pedas terkadang membawa kerinduan. Dengan rasa itu, mampu untuk membuktikan bahwa, Penyuluh Agama mempunyai magnet yang berharga. Magnet itu bernama “pengabdian tanpa batas”.

Terimakasih semua. Muswil ini bukan hanya soal siapa ketua. Namun, upaya menciptakan “magnet” jauh lebih penting untuk dilakukan. Sebuah upaya untuk “membalikkan” pandangan tentang si “ujung tombak” wajib bersama-sama dilakukan. Goresan “prasasti” sejarah telah terukir indah hari ini. Aku lebih suka mengabadikanya sebagai “Prasasti Anak Tuha”. Tanpa akhiran huruf “n”.

Selamat mengemban amanah Pak M. Ali. The Rissing Star dari Way Kanan.Hidup Jayalah Penyuluh Kita.

Ponpes Bustanul Ulum, 4 November 2020

Selasa, 03 November 2020

Layar Berkembang di Lampung Tengah

 

Oleh: Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan

Ada bersitan gembira nan bahagia. Bagaimana tidak, kopi yang tersaji belum habis, kabar bahagia itu hadir. Ya, bagiku itu kabar sangat membahagiakan. Sebuah kabar yang akan mempertemukanku dengan kawan-kawan penyuluh. Maklumlah, pertemuan sesama penyuluh sangat langka. Hanya pada even-even resmi saja pertemuan itu terjadi. Jika bukan saat pelatihan, maka arena MTQ menjadi tempat terbaik untuk bertemu.  

Kabar itu bukanlah ajakan untuk makan siang. Bukan pula spot  memancing di Way Giham. Bukan juga buah kopi yang sudah memerah.  Namun sebuah kabar yang disampaikan Pak M. Ali tentang sebuah agenda.  Bahwa akan di selenggarakan Musyawarah Wilayah (Muswil) Kelompok Kerja Penyuluh (Pokjaluh) Agama Islam. Bagiku ini sangat mengasyikkan.

Disela menyeruput kopi yang tak lagi panas, aku bertanya dimana akan diselenggarakan. Ah..asyik ternyata di Kabupaten Lampung Tengah. Sungguh beruntung kawan-kawan di Lampung Tengah memperoleh kehormatan untuk menjadi tuan rumah. Pasti cerita akan “mengalir” saat ketemu Kang Rusdiyanto atau juga Den Mas Imam Rohani. Ini menakjubkan. Lama aku tidak bersua dengan keduanya.

Apa yang disampaikan ketua panitia Muswil Pokjaluh itu, menggodaku untuk menulis. Naluriku cepat “menyambar” dan segera teruraikan dengan khayalan tingkat tinggi. Yang pasti adalah, perhelatan ini adalah agenda resmi Pokjaluh Lampung. Sudah barang tentu juga, ini adalah level provinsi. Bagiku, kegiatan ini harus disikapi dengan serius. Berakhir dengan bahagia. Begitulah kira-kira “otak” warasku bersikap.

Sengaja aku dengarkan Mars Penyuluh Agama Islam. Lagu yang amat jarang aku dengarkan. Apalagi aku nyanyikan. Sungguh ini benar-benar terjadi. Ternyata, dalam ritme “birokrasi” pun, lagu itu jarang hadir. Meskipun ruanganku adalah ruang penyuluh.  Ternyata, masih “kalah” dengan lagu-lagu Pop. He.he.he

Tidak ada salahnya, jika aku tulis beberapa bait. Hitung-hitung sebagai penyemangat untuk hadir di Muswil Rabu besok. Bahkan penyemangat untuk kawan-kawan panitia. Maklumlah, kawan-kawan panitia ini sudah berjibaku menyiapkan segala sesuatu. Demi satu tujuan. Sukses Muswil Pokjaluh Provinsi Lampung.

“Marilah Penyuluh Agama Islam, bersatu berjuang bersama”. Nah, ini adalah bait pembuka. Cukup keren untuk dinyayikan. Terlebih lagi iringan musik berkumandang. Terasa “menyengat” jiwa patriot penyuluh. Seakan semangat empat lima tetap menggelora. Aku membayangkan suasana pembukaan Muswil nanti akan bergemuruh oleh nyanyian itu. Aku berharap, itu menjadi nyata.

Jujur saja, aku cukup bergembira nan bahagia. Ternyata ada kawan-kawan yang mau bersusah payah keluar dari zona nyaman. Menjadi panitia Muswil. Ini cukup menggembirakan dalam dunia kepenyuluhan. Sebab, menjadi panitia adalah “pilihan”. Sebuah “pilihan” yang bermakna “untuk” dan “menjadi”. Cukup sulit mempunyai jiwa yang ikhlas untuk menjadi panitia. Aku kagum.

Tak kalah “menariknya” adalah sosok ketua panitia. Bagiku sosok ini cukup bertanggungjawab. Individu yang sudah teruji. Baik dalam birokrasi, organisasi keagamaan, lembaga keagamaan dan tentunya dunia penyuluh. Apalagi dunia per-MTQ-an. Khatam sudah seluk beluk dalam dunia itu.He.he.he.

Bagiku, Pak M. Ali adalah “The rissing star” dalam dunia kepenyuluhan. Bukan karena “menguasai” Ajian Serat Jiwa atau Jurus Kunyuk Melempar Buah. Bukan itu. Namun, Ajian Penyuluh Berbagi lah yang menjadi “bekal”. Ya kegiatan Penyuluh Berbagi mampu membuktikan bahwa Penyuluh Agama Way Kanan mampu bergerak.

Eiit...jangan dimaknai dengan sebenarnya ya paragraf diatas. Jika hal ini dilakukan, aku kuatir banyak yang berguru. Meminta “ajian” dan “jurus” itu. Bisa merepotkan. Bahkan mengkwatirkan. Namun, aku yakin dengan pengetahuan Filsafat yang telah dipelajari dulu, tak mungkin akan “tergoda”. Dengan bahasa sederhana, tidaklah mungkin akan menjadi “murid” pak M. Ali agar “menguasai” Ajian milik Brama Kumbara dan Jurus kepunyaan Wiro Sableng itu.

Hal yang mungkin adalah belajar “Ajian Penyuluh Berbagi”. Aku yakin, dengan senang hati akan diterima sebagai “murid”nya. Bahkan, dengan gembira akan diajak menikmati dunia “pagi” Way Kanan. Bukan untuk memetik kopi di Banjit. Melainkan diajak “rihlah” pagi. Berkeliling Way Kanan dini hari. Jika beruntung, maka bonus sudah menanti. Cerpen season pertama sampai season keempat. Sebuah bonus yang tepat untuk “di nikmati” bersama kopi petik merah.

Mungkin istilah zona nyaman tidak berlaku bagi Pak M. Ali. Hal ini aku ketahui dari rangkaian aktifitas yang cukup padat. Aku menduga, bahwa bulan Oktober yang lalu adalah bulan yang “melelahkan”. Betapa tidak. “mengawal” tadarus PAI non PNS, melaksanakan kegiatan penyuluh berbagi season keempat dan menandatangani laporan tri wulan. Bahkan, “rela” menembus dinginya pagi, lebatnya pepohonan demi sebuah “rihlah” pagi. Mengisi kajian di ujung Way Kanan. Belum lagi tentang mengelola Blog Penyuluh Way Kanan dan menyukseskan Muswil Pokjaluh Lampung. Hmm...sungguh di luar “nalar” ku yang “jahil”.

Pada Muswil Pokjaluh besok, kesuksesan adalah yang kita harapkan. Apa yang dapat kita “berikan”, sumbangkanlah. Apapun itu, selama dalam konteks Muswil Pokjaluh. Bisa juga, kawan-kawan Lampung Barat dan Tanggamus membawa kopi “kebanggaan”. Tidak perlu sampai satu ton. Cukup satu bungkus saja. Dengan itu, kita bisa menyukseskan Muswil Pokjaluh sambil barter kopi. Kita nikmati bersama-sama. Sungguh, kopi tanpa gula itu sangat nikmat. He.he.he.

Menurutku, bisa juga dengan ucapan-ucapan. Ini pun tidak kalah pentingnya. Terlebih lagi dengan mudahnya akses media sosial. Dipastikan postingan ucapan Muswil Pokjaluh itu, akan “sampai” ke seluruh Nusantara. Nah, dengan demikian, secara tidak langsung Provinsi Lampung “muncul” dipermukaan. Ternyata, denyut nadi penyuluh agama di Sai Bumi Ruwa Jurai sangat dinamis.

Kopiku masih menyisakan setengah. Meskipun tidak panas lagi, namun aku cukup bisa menikmati. Lantunan mars itu pun, masih “setia” menemaniku. Mengajak menguraikan malam dengan kata. “Menafsirkan” baldatun tayyiatun warrabun ghofur bersama sebuah imajinasiku. Tentu, hasilnya subyektif. He.he.he. Biarlah kopi ini menjadi “penyambung” nafas untuk berkata, “Hidup Jayalah Penyuluh Kita”.

 

Way Kanan, 3 November 2020

 

Senin, 02 November 2020

Air Tanpa Wadah

 

 

 

Oleh : Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan

Cuaca di Rebang Tangkas nampak mendung. Keadaan ini membuat gelisah sebagian teman-teman Penyuluh Agama. Ada guratan kekwatiran. Wajah-wajah cemas juga nampak. Sayup-sayup aku mendengar sebuah harapan, semoga jangan turun hujan sekarang. Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata, “doa kok nanggung”. He.he.he

Cuaca yang kurang bersahabat itu, tidak berpengaruh pada diri Pak M. Ali. Aku lihat wajah ceria yang nampak. Aku tidak bisa menduga faktor apa yang melatarbelakangi. Apakah makan Tiwul dan Rendang Jengkol tadi, atau sambal yang sangat menggoda. Namun, praduga itu terbantahkan. Mengapa? Nampak Pak Ketua sedang asyik bermain air.

Fakta yang tak terbantahkan. Begitu asyik bermain. Menikmati aliran Curup Pinang Indah. Tertawa lepas. Bergembira melepas kepenatan. Membuang semua beban. Seakan melupakan tugas berat. Tugas yang akan segera dilaksanakan. Musyawarah Wilayah Kelompok Kerja Penyuluh Agama provinsi Lampung. Hebatnya, jadi ketua Panitia.

Aku mengambil sisi lain. Bukan pada gerakan ekspresi. Bukan pada keceriaan yang nampak. Namun mencoba mengamati apa yang ada diseitar Pak Ketua. Air yang mengalir tiada henti. Aku fokus pada satu titik. Mengambil segelas kopi, sembari “membaca” masa lalu. Makna air dan seluruh pengetahuan yang aku ketahui.

Hal yang menarik sesungguhnya pada wujud dan keberadaan. Wujud nyata dari sosok individu dan keberadaan metafora dari riak yang ditimbulkan. Alangkah bahagianya keduanya bisa menyatu pada tempat dan suasana yang tepat. Sungguh bagiku, keadaan ini tidak boleh terabaikan. Sama halnya Lisda yang mengabadikan Pak M. Ali dalam sebuah foto sejarah.

Lihatlah dengan pandangan biasa. Air itu mengalir. Terus mengalir secara konstan. Nah disinilah “pertarungan” darahku mengusik. Hmm...bukankah sifat mengalir dari air itu bisa dijadikan “pegangan” hidup. Mengalir adalah gerak. Mengalir berarti “hidup”. Mengalir bermakna dinamis. Mengalir bermakna fleksibel. Dan mengalir juga bisa bermakna tidak “tidur”.

Sederhananya begini. Jika Pak M. Ali tidur di bebatuan itu, pasti berbahaya. Bisa repot semuanya. Tidur dalam arti sebenarnya, ataupun tidur dalam makna ungkapan. Sekali lagi, jika wujud itu tertidur, maka keberadaanya menimbulkan tanya. Sungguh benar-benar menimbulkan tanda tanya besar, seandainya Pak M. Ali tidur disana. He.he.

Wujud dalam konteks ini adalah ciptaan ajaib yang telah Allah berikan, begitu sempurna pemberian wujud itu. Sepasang mata, sepasang telinga, sepasang kaki, sepasang tangan. Juga akal dan nurani turut menyertai. Demikian juga wujud nama. Hmm..sempat aku mengira huruf “M” itu adalah Muhammad. Ternyata aku salah. Benar-benar tidak aku duga.

Sementara keberadaan dimaknai sebagai sebuah “simbol” dunia. Tanda bahwa kehidupan juga memerlukan “simbol”. Ini pun berlaku bagi Pak M. Ali. “simbol” yang aku maksud disini adalah Ketua Pokjaluh Way Kanan. Karena keberadaan itu, kegiatan Penyuluh Berbagi terus bergerak. Laksana air yang sempat dimainkan tadi. Dengan simbol itu pula, sebuah “konsep” terlahir. Bergerak atau tergerus.

Ah...mengapa aku teringat Thales, saat Pak M. Ali bermain air. Begitu melekatkah nama itu dalam memoriku, sehingga muncul begitu saja. Jika boleh aku berterus terang kepadanya, pasti nama Thales sudah tidak asing lagi. Aku sangat yakin sekali bahwa Thales diperkenalkan dalam Filsafat Umum. Dulu, sewaktu Pak M. Ali lagi “nyantri” di IAIN Radin Intan Lampung.

Oh ya, kalau aku lihat air ingat Thales. Lalu, ketika lihat getuk Lindri ingat siapa ya? Yang jelas bukan ingat dia, kamu atau mereka. Aku menyarankan, segera lafadzkan doa hendak bersantap. Segeralah di makan. Sembunyikan kesebuah tempat yang aman, yakni Perut. Sebab kalau tidak, ada tangan “jahil” yang segera mengamankan. He.he.he.

Seingatku, Thales menyatakan bahwa air adalah prinsip dasar segala sesuatu. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta. Itu ilmu yang aku dapat saat di “bumi” Sultan Yogyakarta. Sedangkan kalau makna teles, jangan tanya aku ya. Silahkan mandi ala Pak Eko di bawah sana, dijamin akan menemukan makna itu. 

 
Dimana ada curup, biasanya ada air. Pun di Curup Pinang Indah ini. Air cukup banyak melimpah ruah. Bisa jadi air adalah salah atu unsur terkuat di seantero jagad. Bayangkan, air mampu memadamkan apapun. Mampu memadamkam puntung rokok. Bahkan dalam jumlah  banyak, panas bumi pun bisa dipadamkannya. Air itu bersifat lembut, juga bersifat lentur namun amat sangat perkasa.
 
Kalau menurut Reza A.A Wattimena, Sifat yang ada dalam air ini, sejalan dengan kebijaksanaan Timur kuno. Kekuatan tertinggi tidak datang dari sikap garang, atau marah, melainkan dari kelembutan, seperti air. Sikap lembut berarti menerima apapun yang terjadi, tanpa memilih. Dari keterbukaan total semacam itu, lahirlah rasa welas asih dan kebijaksanaan.
 

Bagiku, ini sangat cocok. Nuansa yang ada pada Curup Pinang Indah. Selepas kegiatan “penyuluh berbagi” season empat ini, penyuluh akan mengadakan Musyawarah Wilayah. Cara terbaikku adalah “mengusung” Ketua Pokjaluh Way Kanan. Bukankah begitu Kang Bambang Setiadi, Mbak Banun, Mbak Ratnawiyah dan Mbak Indrayati?

 

Dalam tulisanya yang berjudul Belajarlah Kepemimpinan dari Air, Reza menyebutkan ada empat poin yang bisa kita pelajari dari air. Pertama, air selalu mengalir ke bawah. Seorang pemimpin perlu untuk merawat orang-orang yang dibawah pimpinannya. Pemimpin tidak boleh menjabat semata demi menjilat kekuasaan yang ada. Ia memberikan dirinya untuk perkembangan orang-orang yang berada di bawah pimpinannya.


Pasti benar kan, kalau air mengalir kebawah. Keadaan itu sudah di tetapkan. Bukan hanya sekedar gaya gravitasi saja. Namun ada konsekwensi pengetahuan mengapa hal tersebut terjadi. Jika yang terjadi air mengalir keatas, maka ada sebabnya. Berbeda lagi kalau menggunakan istilah "muncrat". Pasti akan banyak pembahasan. Dua cangkir kopi dirasa kurang untuk membahasnya. Maka, pertanyaan ketiga hadir. Siapa yang menyuguhkan cangkir ketiga?

Kedua, air tidak pernah memaksa, melainkan mengikis pelan-pelan, supaya terbuka jalan. Seorang pemimpin perlu sadar, bahwa perubahan adalah sebuah proses. Ia tidak boleh dilakukan terburu-buru, tanpa perencanaan yang matang. Ketiga, air juga selalu mencari celah untuk bergerak, bahkan ketika celah itu tidak ada. Ini melambangkan sikap pantang menyerah. Seorang pemimpin harus mencari cara baru, ketika cara lama tak lagi cocok dengan keadaan. Ia tidak boleh menyerah, hanya karena keterbatasan keadaan.
 
"Aku sih, yes saja". Begitu ungkapan itu aku gunakan. Banyak celah yang bisa untuk "dimasuki". Maka, konteks tulisanku ini adalah salah satu celah sudah terisi. celah itu bernama "penyuluh berbagi". Ini menggambarkan dengan jelas bahwa kebanggaan menjadi penyuluh tidak boleh stagnan. Nah, celah ini yang sedang "di masuki" oleh pak M. Ali.

 

Keempat, air siap menampung segalanya. Segala kotoran, racun, sampah dan apapun akan diterimanya, dan akan diolah menjadi lebih baik. Laut adalah contoh nyata untuk hal ini. Ini berarti, seorang pemimpin harus siap menampung permasalahan dari orang-orang yang dipimpinnya. Tidak hanya menampung, ia juga perlu mengolah masalah tersebut menjadi jalan keluar yang berguna bagi kemajuan bersama. Seorang pemimpin perlu mendengar dengan jeli dan sabar, sama seperti laut menampung segalanya dengan sabar.

 

Hmm....cukup serius nampaknya. Maklum, menjadi tim sukses itu berat. Perlu strategi khusus. Terlebih lagi untuk level provinsi. Perlu landasan “pacu” yang mampu untuk menerbangkan “payung” ide. Mungkin dalam “konstalasi besok, nampaknya enak jadi “penyelenggara” ataupun “pengawas” saja. Katanya cukup “menggoda”. Keduanya cukup “seksi” untuk didekati. He.he.he.

Sebenarnya, air terjun Curup Pinang Indah ini juga mengingatkanku pada sebuah film. Point Break. Ericson Core, sang sutradaranya mampu menciptakan adegan yang luar biasa. Salah satunya adalah menjatuhkan diri dari puncak air terjun tertinggi di dunia. Proses tersebut merupakan salah satu tahapan dari Ozaki 8.  Tantangan itu dinamakan act of ultimate trust. Sungguh luar biasa, menjatuhkan diri bersama air terjun dari ketinggian 979 meter. Betapa tingginya, air terjun Bidadari (Angel Falls) di Venezuela itu. Namun, bagi Bodhi, prosese menyerahkan diri pada kuasa bumi, wajib dilaksanakan. Maka, prosesi itu dilaksanakan dalam adegan itu.

Namun, aku bukanlah Bodhy atau agen FBI, Jhonny Utah dalam film itu. Akan tetapi film mampu menyatukan energi khayalan untuk merangkai “lukisan” sejarah. Disananalah akan ditemukan makna angin dan ombak kehidupan. Meskipun ini fiktif, namun The Ozaki 8 atau the Ozaki 8 ordeals atau 8 tantangan Ozaki mengandung nilai filosofis. Satu diantaranya adalah bagaimana menjaga keseimbangan alam.

Mataku masih nyaman menyaksikan air terjun itu. Pada posisi ini aku teringat, untaian yang disampaikan dalam pertemuan tadi. Sungguh, sebuah nasehat dan motivasi yang rugi jika diabaikan begitu saja. Karena bagiku, nasehat itu bisa berasal dari mana saja. Akan tetapi yang terpenting adalah Undzur maa qolla wala tandzur mangqola.

Begitulah, “celoteh” kawe tanpa gula yang aku bawa untuk menikmati air terjun ini. Sebuah permulaan “laga” penuh makna. Ya begitulah pemaknaanya. Dan yang pasti, jangan kau goda aku dengan getuk Lindri. Cukuplah “mencuri” aku melalui sebuah kamera saat asyik mencari “singgasana” Ki Buyut Mangun Tapa.

Rebang Tangkas, 27 Oktober 2020