Oleh : Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan
Cuaca di Rebang Tangkas nampak mendung.
Keadaan ini membuat gelisah sebagian teman-teman Penyuluh Agama. Ada guratan
kekwatiran. Wajah-wajah cemas juga nampak. Sayup-sayup aku mendengar sebuah
harapan, semoga jangan turun hujan sekarang. Aku hanya tersenyum. Dalam hati
aku berkata, “doa kok nanggung”. He.he.he
Cuaca yang kurang bersahabat itu, tidak
berpengaruh pada diri Pak M. Ali. Aku lihat wajah ceria yang nampak. Aku
tidak bisa menduga faktor apa yang melatarbelakangi. Apakah makan Tiwul dan Rendang Jengkol tadi, atau sambal yang sangat menggoda. Namun, praduga itu
terbantahkan. Mengapa? Nampak Pak Ketua sedang asyik bermain air.
Fakta yang tak terbantahkan. Begitu asyik
bermain. Menikmati aliran Curup Pinang Indah. Tertawa lepas. Bergembira melepas
kepenatan. Membuang semua beban. Seakan melupakan tugas berat. Tugas yang akan
segera dilaksanakan. Musyawarah Wilayah Kelompok Kerja Penyuluh Agama provinsi
Lampung. Hebatnya, jadi ketua Panitia.
Aku mengambil sisi lain. Bukan pada gerakan
ekspresi. Bukan pada keceriaan yang nampak. Namun mencoba mengamati apa yang
ada diseitar Pak Ketua. Air yang mengalir tiada henti. Aku fokus pada satu
titik. Mengambil segelas kopi, sembari “membaca” masa lalu. Makna air dan
seluruh pengetahuan yang aku ketahui.
Hal yang menarik sesungguhnya pada wujud dan
keberadaan. Wujud nyata dari sosok individu dan keberadaan metafora dari riak
yang ditimbulkan. Alangkah bahagianya keduanya bisa menyatu pada tempat dan
suasana yang tepat. Sungguh bagiku, keadaan ini tidak boleh terabaikan. Sama
halnya Lisda yang mengabadikan Pak M. Ali dalam sebuah foto sejarah.
Lihatlah dengan pandangan biasa. Air itu
mengalir. Terus mengalir secara konstan. Nah disinilah “pertarungan” darahku
mengusik. Hmm...bukankah sifat mengalir dari air itu bisa dijadikan “pegangan”
hidup. Mengalir adalah gerak. Mengalir berarti “hidup”. Mengalir bermakna
dinamis. Mengalir bermakna fleksibel. Dan mengalir juga bisa bermakna tidak
“tidur”.
Sederhananya begini. Jika Pak M. Ali tidur di
bebatuan itu, pasti berbahaya. Bisa repot semuanya. Tidur dalam arti
sebenarnya, ataupun tidur dalam makna ungkapan. Sekali lagi, jika wujud itu
tertidur, maka keberadaanya menimbulkan tanya. Sungguh benar-benar menimbulkan
tanda tanya besar, seandainya Pak M. Ali tidur disana. He.he.
Wujud dalam konteks ini adalah ciptaan ajaib
yang telah Allah berikan, begitu sempurna pemberian wujud itu. Sepasang mata,
sepasang telinga, sepasang kaki, sepasang tangan. Juga akal dan nurani turut
menyertai. Demikian juga wujud nama. Hmm..sempat aku mengira huruf “M” itu
adalah Muhammad. Ternyata aku salah. Benar-benar tidak aku duga.
Sementara keberadaan dimaknai sebagai sebuah
“simbol” dunia. Tanda bahwa kehidupan juga memerlukan “simbol”. Ini pun berlaku
bagi Pak M. Ali. “simbol” yang aku maksud disini adalah Ketua Pokjaluh Way
Kanan. Karena keberadaan itu, kegiatan Penyuluh
Berbagi terus bergerak. Laksana air yang sempat dimainkan tadi. Dengan
simbol itu pula, sebuah “konsep” terlahir. Bergerak atau tergerus.
Ah...mengapa aku teringat Thales, saat Pak M.
Ali bermain air. Begitu melekatkah nama itu dalam memoriku, sehingga muncul
begitu saja. Jika boleh aku berterus terang kepadanya, pasti nama Thales sudah
tidak asing lagi. Aku sangat yakin sekali bahwa Thales diperkenalkan dalam Filsafat Umum. Dulu, sewaktu Pak M. Ali
lagi “nyantri” di IAIN Radin Intan Lampung.
Oh ya, kalau aku lihat air ingat Thales.
Lalu, ketika lihat getuk Lindri ingat siapa ya? Yang jelas bukan ingat dia,
kamu atau mereka. Aku menyarankan, segera lafadzkan
doa hendak bersantap. Segeralah di makan. Sembunyikan kesebuah tempat yang
aman, yakni Perut. Sebab kalau tidak, ada tangan “jahil” yang segera
mengamankan. He.he.he.
Seingatku, Thales menyatakan bahwa air adalah
prinsip dasar segala sesuatu. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari
segala-galanya yang ada di alam semesta. Itu ilmu yang aku dapat saat di “bumi”
Sultan Yogyakarta. Sedangkan kalau makna teles,
jangan tanya aku ya. Silahkan mandi ala Pak Eko di bawah sana, dijamin akan
menemukan makna itu.
Dimana
ada curup, biasanya ada air. Pun di Curup Pinang Indah ini. Air cukup banyak
melimpah ruah. Bisa jadi air adalah salah atu unsur terkuat di seantero jagad. Bayangkan,
air mampu memadamkan apapun. Mampu memadamkam puntung rokok. Bahkan dalam
jumlah banyak, panas bumi pun bisa dipadamkannya. Air itu bersifat
lembut, juga bersifat lentur namun amat sangat perkasa.
Kalau
menurut Reza A.A Wattimena, Sifat yang ada dalam air ini, sejalan dengan
kebijaksanaan Timur kuno. Kekuatan tertinggi tidak datang dari sikap garang, atau
marah, melainkan dari kelembutan, seperti air. Sikap lembut berarti menerima
apapun yang terjadi, tanpa memilih. Dari keterbukaan total semacam itu,
lahirlah rasa welas asih dan kebijaksanaan.
Bagiku,
ini sangat cocok. Nuansa yang ada pada Curup Pinang Indah. Selepas kegiatan
“penyuluh berbagi” season empat ini,
penyuluh akan mengadakan Musyawarah Wilayah. Cara terbaikku adalah “mengusung”
Ketua Pokjaluh Way Kanan. Bukankah begitu Kang Bambang Setiadi, Mbak Banun,
Mbak Ratnawiyah dan Mbak Indrayati?
Dalam
tulisanya yang berjudul Belajarlah
Kepemimpinan dari Air, Reza menyebutkan ada empat poin yang bisa kita
pelajari dari air. Pertama, air
selalu mengalir ke bawah. Seorang pemimpin perlu untuk merawat orang-orang yang
dibawah pimpinannya. Pemimpin tidak boleh menjabat semata demi menjilat
kekuasaan yang ada. Ia memberikan dirinya untuk perkembangan orang-orang yang
berada di bawah pimpinannya.
Pasti benar kan, kalau air mengalir kebawah. Keadaan itu sudah di tetapkan. Bukan hanya sekedar gaya gravitasi saja. Namun ada konsekwensi pengetahuan mengapa hal tersebut terjadi. Jika yang terjadi air mengalir keatas, maka ada sebabnya. Berbeda lagi kalau menggunakan istilah "muncrat". Pasti akan banyak pembahasan. Dua cangkir kopi dirasa kurang untuk membahasnya. Maka, pertanyaan ketiga hadir. Siapa yang menyuguhkan cangkir ketiga?
Kedua, air tidak pernah memaksa,
melainkan mengikis pelan-pelan, supaya terbuka jalan. Seorang pemimpin perlu sadar,
bahwa perubahan adalah sebuah proses. Ia tidak boleh dilakukan terburu-buru,
tanpa perencanaan yang matang. Ketiga, air juga
selalu mencari celah untuk bergerak, bahkan ketika celah itu tidak ada. Ini
melambangkan sikap pantang menyerah. Seorang pemimpin harus mencari cara baru,
ketika cara lama tak lagi cocok dengan keadaan. Ia tidak boleh menyerah, hanya
karena keterbatasan keadaan.
"Aku sih, yes saja". Begitu ungkapan itu aku gunakan. Banyak celah yang bisa untuk "dimasuki". Maka, konteks tulisanku ini adalah salah satu celah sudah terisi. celah itu bernama "penyuluh berbagi". Ini menggambarkan dengan jelas bahwa kebanggaan menjadi penyuluh tidak boleh stagnan. Nah, celah ini yang sedang "di masuki" oleh pak M. Ali.
Keempat, air siap menampung segalanya.
Segala kotoran, racun, sampah dan apapun akan diterimanya, dan akan diolah menjadi
lebih baik. Laut adalah contoh nyata untuk hal ini. Ini berarti, seorang
pemimpin harus siap menampung permasalahan dari orang-orang yang dipimpinnya.
Tidak hanya menampung, ia juga perlu mengolah masalah tersebut menjadi jalan
keluar yang berguna bagi kemajuan bersama. Seorang pemimpin perlu mendengar
dengan jeli dan sabar, sama seperti laut menampung segalanya dengan sabar.
Hmm....cukup
serius nampaknya. Maklum, menjadi tim sukses itu berat. Perlu strategi khusus.
Terlebih lagi untuk level provinsi. Perlu landasan “pacu” yang mampu untuk
menerbangkan “payung” ide. Mungkin dalam “konstalasi besok, nampaknya enak jadi
“penyelenggara” ataupun “pengawas” saja. Katanya cukup “menggoda”. Keduanya
cukup “seksi” untuk didekati. He.he.he.
Sebenarnya, air terjun Curup Pinang Indah ini
juga mengingatkanku pada sebuah film. Point
Break. Ericson Core, sang
sutradaranya mampu menciptakan adegan yang luar biasa. Salah satunya
adalah menjatuhkan diri dari puncak air terjun tertinggi di dunia. Proses
tersebut merupakan salah satu tahapan dari Ozaki 8. Tantangan itu dinamakan act of ultimate trust. Sungguh luar biasa, menjatuhkan diri bersama
air terjun dari ketinggian 979 meter. Betapa tingginya, air terjun Bidadari
(Angel Falls) di Venezuela itu. Namun, bagi Bodhi, prosese menyerahkan diri
pada kuasa bumi, wajib dilaksanakan. Maka, prosesi itu dilaksanakan dalam
adegan itu.
Namun, aku bukanlah Bodhy atau agen FBI,
Jhonny Utah dalam film itu. Akan tetapi film mampu menyatukan energi khayalan
untuk merangkai “lukisan” sejarah. Disananalah akan ditemukan makna angin dan
ombak kehidupan. Meskipun ini fiktif, namun The Ozaki 8 atau the Ozaki 8
ordeals atau 8 tantangan Ozaki mengandung nilai filosofis. Satu diantaranya
adalah bagaimana menjaga keseimbangan alam.
Mataku masih nyaman menyaksikan air terjun
itu. Pada posisi ini aku teringat, untaian yang disampaikan dalam pertemuan
tadi. Sungguh, sebuah nasehat dan motivasi yang rugi jika diabaikan begitu
saja. Karena bagiku, nasehat itu bisa berasal dari mana saja. Akan tetapi yang
terpenting adalah Undzur maa qolla wala
tandzur mangqola.
Begitulah, “celoteh” kawe tanpa gula yang aku bawa untuk menikmati air terjun ini.
Sebuah permulaan “laga” penuh makna. Ya begitulah pemaknaanya. Dan yang pasti,
jangan kau goda aku dengan getuk Lindri. Cukuplah “mencuri” aku melalui sebuah
kamera saat asyik mencari “singgasana” Ki
Buyut Mangun Tapa.
Rebang Tangkas, 27 Oktober 2020