Kamis, 22 Oktober 2020

Santri Bercerita

 




Oleh: Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan


Pada awalnya, kata pondok pesantren (Ponpes) atau pesantren sangatlah asing bagiku. Terlebih lagi, saat itu aku tinggal jauh dari ibu kota kabupaten. Di butuhkan waktu empat jam untuk sampai dengan kendaraan umum. Maka, saat Ayah mengajak diskusi tentang kelanjutan setelah Sekolah Menengah Pertama, aku cukup bingung. Apa itu pesantren, bagaimana kehidupan dan tata belajarnya. Beragam pertanyaan memenuhi ubun-ubunku.

“Ini ada brosur dari Om yang di Yogya”, kata Ayah selepas Mahrib.

“Yogyakarta”, Aku menjawab dengan nada gembira.
“Pelajari, pahami dan sekaligus putuskan”, Ayah menjawab sekaligus memerintah.
“Kalau di Yogyakarta mau”, jawabku tanpa membuka brosur itu.
“Baik, itu keputusanmu. Setelah cap tiga jari, kita ke Yogya”, Jawab Ayah gembira.

Sebenarnya, keputusanku itu adalah impianku sejak kecil. Kota Yogyakarta bagiku mempunyai daya magnet tersendiri. Aku juga tidak mengetahui mengapa impianku tertuju di kota pelajar itu. Dua hal yang aku ingat. Pantai Parang Tritis dan Gunung Merapi. Bisa jadi juga, buku Bastian Tito, Wiro Sableng yang berjudul, “ Pangeran Matahari dari Puncak Merapi”. He.h.he

Aku cukup kaget sekaligus bergembira. Pada kendaraan yang sama, bisa berbarengan dengan “bintang” kelas di SMP. Aku sama sekali tak menduga, jika gadis belia yang selalu memberikanku “contekan” Matematika bersamaku. Satu bangku. Aku harus berkata jujur, jika ini adalah saat indah. Mengarungi selat Sunda bersama.

Ponpes Ibnul Qoyyim Yogyakarta merupakan takdirku untuk menimba ilmu bersama kawan-kawan seangkatan. Aku cukup beruntung, saat tes masuk bisa menjawab semua pertanyaan. Demikian juga saat tes baca dan tulis Al-Qur’an . Aku bisa membaca dan menulis apa yang diperintahkan Ustadz penguji. Aku sangat bersyukur, ilmu yang aku dapat dari guru ngaji di desa, sangat bermanfaat.

Kehidupanku di Pesantren dimulai pada tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh lima. Tahun dimana aku harus berlatih mandiri. Cukup berat ternyata pada awal-awal kehidupan di Pesantren. Penyesuaian dengan lingkungan baru mengharuskan melepas semua kebiasaan di rumah. Bagiku “mental baja” harus dipersiapkan dengan baik. Beragam budaya, adat istiadat, karakter dari seluruh santri disatukan. Hidup dalam marwah pesantren.

Sebenarnya, fase terberat bagiku hidup awal di Pesantren adalah bangun pagi. Bagi santri baru, bangun pukul empat dini hari merupakan hal yang jarang dilakukan di rumah. Namun di Pesantren, jangan harap ada kata mbangkong. Dengan segera Qismul Amn akan berteriak, ”kuuuuuuuuuuuuum”. Dipastikan akan segera berlari menuju masjid. He.he.

Aku ingat, banyak kata dan kalimat yang asing. Khususnya bahasa Arab. Dimulai dari mufrodat, salathoh, idam, qonat sampai qittun. Semuanya masih benar-benar baru. Namun, lingkungan yang kondusif yang berjalan sesuai “nafas” pesantren, sangat memudahkan santri baru untuk beradabtasi. Meskipun iqob kadangkala harus diterima sebagai konsekwensi pelanggaran. Berbahasa daerah atau bahasa Indonesia.

Ya, inilah dunia pesantren. Dunia yang unik penuh dinamika kehidupan. Dunia yang akan menjadikan santri menjadi “manusia” seutuhnya. Dunia yang mengajarkan arti penting ilmu-ilmu keagamaan. Dunia yang “menggembleng” santri untuk memiliki disiplin. Dunia yang mengajarkan tentang adab. Semua dinamika pesantren itu, hanya bisa dinikmati oleh santri.

Di pesantren inilah aku belajar. Pesantren yang dipimpin oleh K.H. Raden Hisyam Syafi’i (almarhum). Di pesantren ini juga aku belajar ilmu Nahwu Sorof, Taklim Muta’alim, Bulughul Marram, Balaghoh dan kitab-kitab kebanggaan pesantren lainya. Kitab yang di tulis oleh para ulama. Diajarkan di pesantren dengan beragam metode. Mulai dari metode Sorogan, Wetonan atau Bandongan, sampai Bahtsul Masa’il. Semuanya diajarkan di pesantren. Yang pasti, semua metode itu aku alami di pesantren.

Aku juga ingat betapa susahnya mengahafal. Al-Qur’an, Hadist, Mutholaah, kata- kata mutiara, dan hafalan lainya. Ah, mengenang hafalan, jadi teringat berdiri di tengah lapangan. Berdiri sambil membaca Durusul Lughoh. Di tengah terik mentari. Berdiri bersejajar sampai hapal. He.he.

Disinilah keseriusan menimba ilmu di pertaruhkan. Sesulit apapun situasi yang di hadapi, pasti ada jalan keluarnya. Banyak motivasi yang diberikan. Baik secara langsung melalui bimbingan para asatidz atau pelajaran-pelajaran yang diambil dari “kalam” ulama. Aku teringat akan nasehat Imam Syafi’i. “Syakautu ila Waqi’in sua hifdzi, Fa arsyadani ila tarki al ma’ashi, Wa akhbaroni bi anna ‘ilmu nuurun, Wa Nuurullahi la yu’tha li aashi” .

Hmm...Ternyata mengasyikkan hidup di pesantren. Alangkah bahagianya jadi santri. Dipastikan banyak cerita yang tertera dalam lembar kehidupan pesantren. Dipastikan banyak ilmu yang di dapatkan. Ilmu yang sangat berguna untuk mengarungi kehidupan selanjutnya. Atau lembaran-lembaran kehidupan yang membuat tertawa saat di ceritakan. Mulai dari cerita matbah, gosob, jarban, sijar, hamam atau mengambil jambu mbah Kyai.he.he

Jika ada ungkapan hidup di pesantren menjadi “kuper”, maka langkah terbaik adalah mempersilahkan hidup lama di pesantren. Aku yakin, akan menemukan dunia yang sulit terlupakan. Aku juga yakin, dengan segera akan meralat ungkapan tersebut. Sebab, hidup di pesantren merupakan anugerah tersendiri. Tidak semua manusia bisa menikmati kehidupan pesantren. Sekali lagi, denyut nadi pesantren hanya bisa dinikmati oleh santri.

Di Ponpes Ibnul Qoyyim Yogyakarta ini juga, aku tahu betapa pentingnya sebuah adab. Penghormatan terbesar wajib di berikan kepada mbah Kyai. Sosok kharismatik. Sebab, dalam “sosok” mbah Kyai terdapat banyak hal yang santri tidak tahu. Namun wajib bagi seluruh santri untuk patuh. Bisa kualat kata kakak mudabbir. Dalam istilah umum tidak ‘barokah” ilmunya, jika “membangkang” pada mbah Kyai.

Itulah dunia pesantren yang aku alami. Tidak mungkin mampu diceritakan semua. Terlebih lagi sepuluh tahun aku hidup di dunia pesantren. Semua peristiwa di pesantren telah mendarah daging. Semuanya terekam dalam file terbaik. Begitu pula dengan “kebiasaan” santri yang terkadang masih “sempat” dilakukan. Ngopi segelas berlima. He.he.

Kini, kehidupan pesantren telah menjadi sejarah. Peristiwa yang tidak mungkin terulang kembali, meskipun rindu dengan suasana khas pesantren. Namun, semuanya sudah berlalu. Bagiku, semua perjalanan hidup di pesantren akan menjadi sejarah “terhebat”.

Kalau dulu, lagu Oh Pondokku merupakan lagu "wajib" di pesantreku. lagu yang menjadi penyemangat bagi santri. Lagu yang selalu di nyanyikan dalam beragam event pesantren. untuk sekedar mengingat saja, mengulang memori Khutbatul Arsy. sepenggal bait sengaja aku tuliskan. Tiap pagi dan petang, kita beramai sembahyang, mengabdi pada Allah Ta'ala, di dalam kalbu kita. Wahai pondok tempatku, laksana ibu kandungku, yang kasih serta sayang padaku, oh pondokku....i..bu..ku..Hmm...hampir saja aku tak kuasa menahan airmata.

Kini, setelah Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, santri memiliki hari yang di peringati secara nasional. Tanggal 22 Oktober merupakan hari Santri Nasional. Aku bersyukur pernah mondok dan nyantri. Aku juga bersyukur santri sudah memiliki lagu spesial. Aku pun sengaja menuliskan beberapa bait saja. Ayo santri, ayo santri, ayo santri, ayo ngaji dan patuh pada kyai, jayalah bangsa jayalah negara, jayalah pesantren kita.

Selamat hari Santri Tahun 2020. Santri Sehat Indonesia Kuat.

Blambangan Umpu, 22 Oktober 2020


20 komentar:

  1. Ceritanya begitu sahdu...
    Klau aku pondok ayam bakar

    BalasHapus
  2. Kum,,,, kum,,,,,,,,. 😂😂😂😂
    Asyik juga sllu ada cerita di setiap moment

    BalasHapus
  3. ayo abadikan dalam sebuah tulisan..he

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap pak,,, memang kayaknya perlu ada sedikit goresan tinta biar inget disaat momen yg baik

      Hapus
  4. Kl ada idam harusnya ingat salathoh....😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. yoi, pasti itu..ada idam ada salatoh dan ada qitto'.h

      Hapus
  5. Jadi teringat kenangan masa di pesantren duh......kangen banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. pesantren memang selalu mengasyikkan...jadi kangen juga..he

      Hapus
  6. 👍👍ke inget d pesantren susah senangnya,,masyaalloh

    BalasHapus
  7. Selamat hari santri 2020.
    Khotib Rifa'i

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama pak ketua....jadi santri memang asik, tiada duanya

      Hapus