Pada
awalnya, kata pondok pesantren (Ponpes) atau pesantren sangatlah asing bagiku.
Terlebih lagi, saat itu aku tinggal jauh dari ibu kota kabupaten. Di butuhkan
waktu empat jam untuk sampai dengan kendaraan umum. Maka, saat Ayah mengajak
diskusi tentang kelanjutan setelah Sekolah Menengah Pertama, aku cukup bingung.
Apa itu pesantren, bagaimana kehidupan dan tata belajarnya. Beragam pertanyaan
memenuhi ubun-ubunku.
“Ini ada brosur dari Om yang di Yogya”, kata Ayah selepas Mahrib.
“Pelajari, pahami dan sekaligus putuskan”, Ayah menjawab sekaligus memerintah.
“Kalau di Yogyakarta mau”, jawabku tanpa membuka brosur itu.
“Baik, itu keputusanmu. Setelah cap tiga jari, kita ke Yogya”, Jawab Ayah gembira.
Sebenarnya,
keputusanku itu adalah impianku sejak kecil. Kota Yogyakarta bagiku mempunyai
daya magnet tersendiri. Aku juga tidak mengetahui mengapa impianku tertuju di
kota pelajar itu. Dua hal yang aku ingat. Pantai Parang Tritis dan Gunung
Merapi. Bisa jadi juga, buku Bastian Tito, Wiro Sableng yang berjudul, “ Pangeran Matahari dari Puncak Merapi”.
He.h.he
Aku
cukup kaget sekaligus bergembira. Pada kendaraan yang sama, bisa berbarengan
dengan “bintang” kelas di SMP. Aku sama sekali tak menduga, jika gadis belia
yang selalu memberikanku “contekan” Matematika bersamaku. Satu bangku. Aku
harus berkata jujur, jika ini adalah saat indah. Mengarungi selat Sunda
bersama.
Ponpes
Ibnul Qoyyim Yogyakarta merupakan takdirku untuk menimba ilmu bersama
kawan-kawan seangkatan. Aku cukup beruntung, saat tes masuk bisa menjawab semua pertanyaan. Demikian juga saat tes baca dan tulis Al-Qur’an . Aku bisa membaca dan menulis apa yang
diperintahkan Ustadz penguji. Aku sangat bersyukur, ilmu yang aku dapat dari
guru ngaji di desa, sangat
bermanfaat.
Kehidupanku
di Pesantren dimulai pada tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh lima.
Tahun dimana aku harus berlatih mandiri. Cukup berat ternyata pada awal-awal
kehidupan di Pesantren. Penyesuaian dengan lingkungan baru mengharuskan melepas
semua kebiasaan di rumah. Bagiku “mental baja” harus dipersiapkan dengan baik.
Beragam budaya, adat istiadat, karakter dari seluruh santri disatukan. Hidup
dalam marwah pesantren.
Sebenarnya,
fase terberat bagiku hidup awal di Pesantren adalah bangun pagi. Bagi santri
baru, bangun pukul empat dini hari merupakan hal yang jarang dilakukan di
rumah. Namun di Pesantren, jangan harap ada kata mbangkong. Dengan segera Qismul
Amn akan berteriak, ”kuuuuuuuuuuuuum”.
Dipastikan akan segera berlari menuju masjid. He.he.
Aku
ingat, banyak kata dan kalimat yang asing. Khususnya bahasa Arab. Dimulai dari mufrodat, salathoh, idam, qonat
sampai qittun. Semuanya masih
benar-benar baru. Namun, lingkungan yang kondusif yang berjalan sesuai “nafas”
pesantren, sangat memudahkan santri baru untuk beradabtasi. Meskipun iqob kadangkala harus diterima sebagai
konsekwensi pelanggaran. Berbahasa daerah atau bahasa Indonesia.
Ya,
inilah dunia pesantren. Dunia yang unik penuh dinamika kehidupan. Dunia yang
akan menjadikan santri menjadi “manusia” seutuhnya. Dunia yang mengajarkan arti
penting ilmu-ilmu keagamaan. Dunia yang “menggembleng” santri untuk memiliki
disiplin. Dunia yang mengajarkan tentang adab. Semua dinamika pesantren itu,
hanya bisa dinikmati oleh santri.
Di
pesantren inilah aku belajar. Pesantren yang dipimpin oleh K.H. Raden Hisyam
Syafi’i (almarhum). Di pesantren ini juga aku belajar ilmu Nahwu Sorof, Taklim Muta’alim,
Bulughul Marram, Balaghoh dan kitab-kitab kebanggaan pesantren lainya. Kitab yang di
tulis oleh para ulama. Diajarkan di pesantren dengan beragam metode. Mulai dari
metode Sorogan, Wetonan atau Bandongan, sampai Bahtsul Masa’il. Semuanya diajarkan di
pesantren. Yang pasti, semua metode itu aku alami di pesantren.
Aku
juga ingat betapa susahnya mengahafal. Al-Qur’an, Hadist, Mutholaah, kata- kata mutiara, dan hafalan lainya. Ah, mengenang
hafalan, jadi teringat berdiri di tengah lapangan. Berdiri sambil membaca Durusul Lughoh. Di tengah terik mentari.
Berdiri bersejajar sampai hapal. He.he.
Disinilah
keseriusan menimba ilmu di pertaruhkan. Sesulit apapun situasi yang di hadapi,
pasti ada jalan keluarnya. Banyak motivasi yang diberikan. Baik secara langsung
melalui bimbingan para asatidz atau
pelajaran-pelajaran yang diambil dari “kalam” ulama. Aku teringat akan nasehat Imam
Syafi’i. “Syakautu ila Waqi’in sua hifdzi, Fa arsyadani ila tarki al
ma’ashi, Wa akhbaroni bi anna ‘ilmu nuurun, Wa Nuurullahi la yu’tha li aashi” .
Hmm...Ternyata
mengasyikkan hidup di pesantren. Alangkah bahagianya jadi santri. Dipastikan
banyak cerita yang tertera dalam lembar kehidupan pesantren. Dipastikan banyak
ilmu yang di dapatkan. Ilmu yang sangat berguna untuk mengarungi kehidupan
selanjutnya. Atau lembaran-lembaran kehidupan yang membuat tertawa saat di
ceritakan. Mulai dari cerita matbah, gosob, jarban, sijar, hamam atau mengambil jambu mbah Kyai.he.he
Jika
ada ungkapan hidup di pesantren menjadi “kuper”, maka langkah terbaik adalah
mempersilahkan hidup lama di pesantren. Aku yakin, akan menemukan dunia yang
sulit terlupakan. Aku juga yakin, dengan segera akan meralat ungkapan tersebut.
Sebab, hidup di pesantren merupakan anugerah tersendiri. Tidak semua manusia
bisa menikmati kehidupan pesantren. Sekali lagi, denyut nadi pesantren hanya
bisa dinikmati oleh santri.
Di
Ponpes Ibnul Qoyyim Yogyakarta ini juga, aku tahu betapa pentingnya sebuah
adab. Penghormatan terbesar wajib di berikan kepada mbah Kyai. Sosok
kharismatik. Sebab, dalam “sosok” mbah Kyai terdapat banyak hal yang santri
tidak tahu. Namun wajib bagi seluruh santri untuk patuh. Bisa kualat kata kakak mudabbir. Dalam istilah umum tidak ‘barokah” ilmunya, jika
“membangkang” pada mbah Kyai.
Itulah
dunia pesantren yang aku alami. Tidak mungkin mampu diceritakan semua. Terlebih
lagi sepuluh tahun aku hidup di dunia pesantren. Semua peristiwa di pesantren
telah mendarah daging. Semuanya terekam dalam file terbaik. Begitu pula dengan
“kebiasaan” santri yang terkadang masih “sempat” dilakukan. Ngopi segelas
berlima. He.he.
Kini,
kehidupan pesantren telah menjadi sejarah. Peristiwa yang tidak mungkin
terulang kembali, meskipun rindu dengan suasana khas pesantren. Namun, semuanya
sudah berlalu. Bagiku, semua perjalanan hidup di pesantren akan menjadi sejarah
“terhebat”.
Kalau dulu, lagu Oh Pondokku merupakan lagu "wajib" di pesantreku. lagu yang menjadi penyemangat bagi santri. Lagu yang selalu di nyanyikan dalam beragam event pesantren. untuk sekedar mengingat saja, mengulang memori Khutbatul Arsy. sepenggal bait sengaja aku tuliskan. Tiap pagi dan petang, kita beramai sembahyang, mengabdi pada Allah Ta'ala, di dalam kalbu kita. Wahai pondok tempatku, laksana ibu kandungku, yang kasih serta sayang padaku, oh pondokku....i..bu..ku..Hmm...hampir saja aku tak kuasa menahan airmata.
Kini, setelah Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, santri memiliki hari yang di peringati secara nasional. Tanggal 22 Oktober merupakan hari Santri Nasional. Aku bersyukur pernah mondok dan nyantri. Aku juga bersyukur santri sudah memiliki lagu spesial. Aku pun sengaja menuliskan beberapa bait saja. Ayo santri, ayo santri, ayo santri, ayo ngaji dan patuh pada kyai, jayalah bangsa jayalah negara, jayalah pesantren kita.
Selamat hari Santri Tahun 2020. Santri Sehat Indonesia Kuat.
Blambangan Umpu, 22 Oktober 2020
👍👍👍👍👍
BalasHapusayo mondok. bangga jadi santri...he
HapusCeritanya begitu sahdu...
BalasHapusKlau aku pondok ayam bakar
pondok indah ya
HapusKum,,,, kum,,,,,,,,. 😂😂😂😂
BalasHapusAsyik juga sllu ada cerita di setiap moment
ayo abadikan dalam sebuah tulisan..he
BalasHapusSiap pak,,, memang kayaknya perlu ada sedikit goresan tinta biar inget disaat momen yg baik
HapusKl ada idam harusnya ingat salathoh....😁
BalasHapusyoi, pasti itu..ada idam ada salatoh dan ada qitto'.h
HapusTawaduk pada guru,he
BalasHapuswajib hukumnya itu
HapusJadi teringat kenangan masa di pesantren duh......kangen banget
BalasHapuspesantren memang selalu mengasyikkan...jadi kangen juga..he
Hapus👍👍ke inget d pesantren susah senangnya,,masyaalloh
BalasHapusasyik kan di pesantren..he.he
HapusSelamat hari santri 2020.
BalasHapusKhotib Rifa'i
sama-sama pak ketua....jadi santri memang asik, tiada duanya
Hapus👏👏👏👍👍👍
BalasHapussantri hebat, luar biasa
Hapusmantaap. barakallah fiik
BalasHapus