Selasa, 20 Oktober 2020

Belajar dari Srikaton

 



Oleh: Munawar
PAI Fungsional Way Kanan


Bismillahirohmanirrohim. Subnahalladzi syaghoro lana Hadza wa ma Kunna muqrinin. Wa inna ila robbina lamungkolibun. Dengan bergembira aku berangkat. Cuaca saat ini cukup bersahabat. Secara perlahan tapi pasti aku sudah berkendara. Rasanya ingin segera menyeruput kopi di rumah Mas Anto. Bahkan, ingin segera bertemu juga dengan Kang Mahmud, yang juga sudah berada disana sejak pagi tadi.

Sabtu, 17 Oktober 2020 merupakan waktu istimewa. Hari dimana aku mempunyai kesempatan untuk melihat secara langsung unit usaha Penyuluh Agama Islam (PAI) kecamatan Way Tuba. Secara tidak langsung, aku juga ingin membuktikan video yang di share tentang kebun singkong. Benarkah, atau hanya sekedar sebuah keinginan?

Dengan iringan lagu Sonia, kendaraan ku pacu perlahan. Lagu yang menggugah ingatan masa lalu. Disamping kiri, Mas Anto perperan sebagai navigator. Kang Mahmud bertugas untuk bercerita. Sementara, sang “junior” diberi tugas khusus oleh sang “ratu” untuk mengawasi gerak-gerik selama dalam perjalanan. Terasa lengkap teman dalam perjalanan ini.

Sebuah pesan masuk. Mas Anto membacakan perlahan, “mohon menunggu di rel stasiun Way Tuba”. Secara reflek, aku segera menyuruh untuk membalas pesan itu. “Maaf ustad, terpaksa perintah itu sulit kami penuhi. Bukan kami tidak taat pada perintah itu, jujur kami takut dihantam kereta Babaranjang”. Aku tersenyum sambil tetap fokus.

Cukup lama kami berempat menunggu ketua PAI Way Tuba. Aku maklum dengan kondisi ini. Jadwal pak ketua memang cukup padat. Terlebih lagi, pak ketua merupakan manusia hebat nan lincah. Aku mencoba berdialog dengan diri sendiri, siapakah yang tidak kenal dengan ustad Hasan Isro? Seorang ustad multitalenta. Sosok perpengaruh, humoris dan tidak galak. Sangat beruntung, kawan-kawan PAI Way Tuba memiliki ketua yang begitu pengertian.

Ada satu masalah yang belum bisa aku selesaikan. Sebuah kapsul vitamin tertinggal di tenggorokan. Kang Mahmud tertawa lepas saat mendengar ceritaku. Seakan tidak percaya, sebuah kapsul vitamin tidak mampu aku telan. Lalu, memberi solusi untuk minum banyak air. Sebuah rekomendasi yang sudah aku laksanakan, namun belum berhasil. Sengaja aku buka “mbah” google, muncul beberapa saran. Makan pisang.

Ustad Isro menjadi penunjuk jalan selanjutnya. Cukup gesit dan lincah berkendara dalam jalan yang tidak lagi sempurna. Kendaraanya sudah tak nampak lagi. Namun, di penghujung pertigaan, beliau berhenti dan menunggu. Aku lihat pemandangan yang hijau. Pohon sawit dan pohon karet. Tidak ada satu pun rumah yang nampak. Hmm...

Dusun Srikaton Kampung Pisang Baru Kecamatan Bumi Agung, disinilah unit usaha ini berada. Cukup jauh dari rumah penduduk. Untuk mencapai lahan itu, langkah terbaik adalah jalan kaki.  Sebuah hamparan tanah yang begitu luas. Tanah dengan tanaman pohon karet. Hal ini juga menandakan bahwa kebun itu menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat. Begitulah kenyataan yang aku fikirkan secara sepintas.

Nampak asap mengepul di perkebunan. Disanalah kawan-kawan PAI Way Tuba sudah berkumpul. Sudah mulai bekerja dengan komandan lapangan Om Edi Suyitno, PAI Fungsional. Aku bersyukur, kawanku ini begitu dermawan. Dengan keikhlasanya, kami dapat berkumpul hari ini, kecuali “si bungsu” yang belum bisa hadir.

Aku menyempatkan diri untuk berbicara sebentar. Ditengah terik panas, aku tetap menyampaikan hal-hal fundamental dari sebuah usaha bersama. Disinilah, dibutuhkan pengertian dari kawan-kawan PAI. Pengertian “level dewa” pasti dibutuhkan.  Kemudian,sebagai unit usaha, harus ada kepengurusan yang disepakati bersama. Ini juga penting, karena proses administrasi juga harus tercatat dengan rapi. Begitulah, sekilas aku utarakan sebagai pijakan awal ditengah terik yang belum usai. Beruntung, topi orangeku mampu melindungi dari sengatan mentari.

Ditengah terik panas itu juga, aku dan kawan-kawan lainya bekerja. Menanam singkong. Sebuah usaha yang membutuhkan banyak proses. Meskipun hanya menanam, akan tetapi butuh kehati-hatian. Tidak bisa langsung tanam, sebelum melihat dimana letak mata tunas berada. Bagiku dan juga Om Edi, ini merupakan pengalaman yang berharga. Pengalaman yang membuka cakrawala berfikir untuk jangka panjang. Menyiapkan “amunisi” PAI Way Tuba.

Aku menghela nafas sesaat. Aku melirik Om Edi, Ustad Isro dan Kang Mahmud berkonsentarsi penuh. Sementara, Mas Anto sibuk dengan “mainan” barunya. Aku menoleh dan tersenyum melihat Mbah Solihin dan Pakde Samroni begitu akrab. Meskipun keduanya membawa golok, namun wajah sangar tak terlihat. Keduanya fokus pada tugasnya. Memotong batang singkong. Sedangkan disisi lain, aku lihat Bang Yasin dan Ikhwan Dedi juga bahagia. Barangkali karena ada Brother Slamet yang menemaninya. Hmm...situasi yang benar-benar membahagiakan. Terasa sulit untuk melupakan moment itu.

Candaan siang ini penuh kegembiraan. Bercerita dengan banyak topik mewarnai kebersamaan dan kekompakan. Bagiku, suasana ini cukup menghibur untuk melepas penat dan peluh yang mengalir. Terlebih lagi ada “syair” istimewa, “kang Slamet ketumbur sapi, sirahe mumet belum ngopi”. He.he.he

Paruh pertama berakhir dengan santap siang. Ternyata kawan-kawan, sudah menyiapkan bekal untuk mengisi perut yang berbunyi. Cukup lengkap menu yang kulihat. Ada sambal, sayur, lauk ikan dengan variasinya dan ada juga tiwul. Yang tidak kalah menarik adalah “magnet” lalapan. Jengkol. Entah siapa yang membawanya. Untuk yang satu ini, aku nyerah tidak mau menyentuh.

Saat rehat dan minum kopi, inspirasi muncul. Dirumah pak Sriyanto, imajinasiku yang “liar” mendadak muncul. Sambil memandangi foto yang baru saja diambil. Saat melihat Kang Mahmud pakai capil dan masker, ingatanku otomatis tertuju pada satu sosok. Arya Dwi Pangga alias Pendekar Syair Berdarah. Sayangnya aku tidak ingat banyak tentang syairnya. Hanya penggalan-penggalan saja yang mampu ku ingat. “Nari Ratih...! kau adalah sebongkah batu karang. Tapi aku adalah angin yang sabar setia. Sampai langit di atas terbelah dua. Aku akan membelai namamu bagaikan bunga”. Lebih lanjut bisa di lihat di film Tutur Tinular. He.he.

Bagiku dusun Srikaton memberikan beberapa pelajaran yang cukup berharga. Minimal untuk memulai sebuah usaha bersama. Disinilah makna terbesar tercipta, sehingga aku meluangkan waktu di akhir pekan. Seyogyanya, setiap akhir pekan, aku “nyunat” bersama Lazismu Way Kanan. Agenda rutin yang sudah berjalan selama dua tahun. Aku berharap kawan-kawan PAI Way Tuba, tidak ada yang minta disunat lagi. Bisa kacau dunia kepenyuluhan.

Poin pertama, kopi belum tersaji. Hmm...bukan itu ya . Aku setuju dengan perkataan ustadz Isro beberapa waktu yang lalu. Bahwa, dibutuhkan niat yang kuat untuk bisa menjalankan unit usaha PAI Way Tuba. Sebab fondasi dasar dari segala sesuatu perbuatan adalah niat. Bukankah , Innama a’malu bin niat. Aku yakin, kalimat itu sudah terhafal diluar kepala. Seandainya PAI Way Tuba tidak hapal, maka Umpu Semenguk sudah menanti. Disana ada lima puluh persen tambahan penghasilan.he.he.

Kedua, kebersamaan. Bagiku poin ini tidak boleh kaku. Dibutuhkan pengertian tingkat tinggi untuk melaksanakan hal ini. Faktor jarak tempuh yang cukup ekstrem menjadi salah satu alasan mengapa wajib bersikap fleksibel. Jika kebersamaan di paksanakan kaku, maka “kicauan” Pendekar Syair Berdarah dipastikan menggema. Bukankah Kang Mahmud, perposisi paling jauh dan selalu ada “pengawalan” super ketat agar selalu dipercaya?.Hmm...

Ketiga adalah kekuatan doa. Ini point yang tidak kalah pentingnya. Harapan senantiasa beriringan dengan doa. Bisa jadi doa Mbah Solihin terkabul, sehingga Om Edi tergerakkan hatinya untuk mempersilahkan menggunakan lahanya. Kekuatan doa ini, tidak boleh berhenti. Sebab, proses ini masih sangat panjang. Maka, ud’uni astajib lakum, wajib dikumandangkan hingga mengguncang Arsy.

Keempat, dibutuhkan modal. Sangat logis dalam kondisi seperti ini, modal sangat diperlukan. Dibutuhkan strategi khusus untuk “merayu” calon pemberi modal. Nampaknya, Pakde Samroni sudah menemukan jurus rayuan mautnya. Hal ini terbukti, proses pembajakan telah usai. Sang pemodal awal-pun sudah ada. Sungguh hebat memang, Pakde Samroni ini. Sangat baik cara berdiplomasinya. Bahkan, Brother Slamet pun dengan semangat bisa ikut serta.

Poin kelima adalah administrasi. Cukup penting untuk dilakukan. Beruntung ikhwan Dedi bersedia menerima tugas ini. Poin ini merupakan poin kunci yang mengandung banyak unsur. Dalam istilah lain, manajemen pengelolaan ada di administrasi. Jika manajemen dapat terorganisir dengan baik, maka sebuah hasil tidak akan mengkhianati usaha. Kesungguhan dan kejujuran harus tertambat kuat.

Pun demikian dengan promosi dan dokumentasi. Tanpa hal ini, maka dunia terasa hampa. Memang sudah jamanya untuk memberikan bukti autentik berupa dokumentasi. Jujur saja, meskipun pelan, Mas Anto sudah mahir dalam permainan barunya. Meskipun tidak berkeringat, namun frekwensi otak dan pemikiran terus berjalan. Biarlah, sang “filosof” ini berhenti sementara “mengutak - atik” eksistensi Tuhan. Aku yakin, proses editing akan melupakan sebuah pertanyaan “dimanakah Tuhan”. Inilah poin keenam.

Selanjutnya, proses perawatan. Episode ini senantiasa berkesinambungan. Perawatan memerlukan strategi. Bukankah Bang Yasin ahli dalam strategi dan manuver. Dalam periode ini, penentuan waktu memerlukan kalkulasi yang tepat. Sangat tidak logis jika rerumputan tumbuh melebihi batang singkong, kemudian langsung diberi pupuk. Dalam kondisi ini strategi sangat diperlukan. Sedikit manuver juga tidak mengapa. Proses ini aku menyebutnya poin ke tujuh.

Poin terakhir adalah penyatuan kekuatan. Poin ini cukup krusial dan wajib ada. Aku sendiri merasakan nuansa yang berbeda saat “si bungsu” tidak hadir. Bumbu-bumbu “pertengkaran” tidak nampak. Yang terlihat hanyalah keseriusan kaku. Ini berbahaya jika penyatuan kekuatan terabaikan. Maka, dibutuhkan sosok yang bisa mencairkan situasi. Aku yakin Aa Salam bisa menjadi “ponggawa” dalam pergulatan menyatukan kekuatan.

Waktu terus berjalan. Meskipun perlahan tapi pasti. Insiden nyungsep memberikan point tambahan. Diperlukan navigator yang benar-benar menguasai medan. Tanpa penguasaan medan “tempur” yang mumpuni, dipastikan pasukan akan dengan mudah bercerai - berai. Beruntung tidak ada dokumentasi resmi. Bisa berbahaya meskipun hanya satu. Ketua Pokjaluh akan berfikir ulang jika diajak panen raya bersama, suatu saat.

Aku memandang kembali lahan ini. Berdoa sejenak. Berharap cita-cita bisa terwujud. Mampu memberikan motivasi dan inspirasi. Mengabaikan perbedaan “psikologis” yang ada. Membenamkan ego-ego pribadi. Mengembangkan “sayap” optimistis. Semoga, impian ini menjadi nyata.“Hidup jayalah penyuluh kita”.

Akupun berlalu untuk mencari air panas berwarna hitam di Bumi Baru.

 

Srikaton, 17 Oktober 2020


5 komentar: