Ah, ternyata Ketua Kelompok Kerja Penyuluh Agama (Pokjaluh) Way Kanan penggemar cerita Saur Sepuh juga. Aku baru tahu. Meskipun sudah bersama dari tahun duaribu enam. Cerita yang cukup merakyat pada zamanya. Begitu juga dengan para tokoh utama. Pun dengan ajian-ajian saktinya. Sungguh, aku tidak menyangka “Ajian Serat Jiwa” mampu dilafalkan dengan cukup fasih oleh Pak M. Ali.
Aku hanya mampu tersenyum saat itu. Bagaimana tidak, sangat jarang Pak M. Ali menukil cerita rakyat dalam agenda resmi. Terlebih lagi disampaikan pada saat agenda silaturrahmi penyuluh agama season keempat. Ini diluar dugaanku. Bahkan mungkin kawan-kawan PAI Non PNS yang hadir juga tidak menduga. Mendapat titah “Ajian Serat Jiwa”.He.he.
Aku berharap, kawan-kawan PAIF Way Kanan maklum. Pun demikian dengan sahabat Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Way Kanan. Sembunyikanlah keheranan itu dalam tahta hati terdalam. Biarkan keheranan itu menjadi bagian terpenting dari kegiatan penyuluh agama berbagi. Aku yakin, ini ada makna “terselubung” dibalik semua itu.
Kecamatan Rebang Tangkas menjadi bukti tak terbantahkan. Kegiatan penyuluh agama season keempat, menjadi bagian penting dalam perjalanan dunia kepenyuluhan. Dua poin itu, bagiku cukup mewakili bahwa penyuluh agama Way Kanan “hidup” dan bergerak.
Sebenarnya sederhana memaknai “Ajian Serat Jiwa” versi Pak M. Ali. Begitu mudah untuk mencerna setiap kalimat yang terucap. Dalam posisi ini, aku meyakini bahwa inspirasi terhebat bukanlah dari senyuman Lisda. Sosok yang menjadi “penyemangat” sahabat PAI Non PNS kecamatan Rebang Tangkas. Sekali lagi bukan itu. Namun, penafsiran terhadap sosok “Brama Kumbara” menjadi bagian yang tak terpisahkan dari metafora pembinaan pagi ini.
Hmm..bolehlah nukilan cerita rakyat itu muncul. Disampaikan dengan penuh penghayatan. Serangkai melalui pesan sarat makna. Bersatu menjadi “adonan”khas kegiatan penyuluh berbagi pagi ini. Namun, aku kuatir jika godaan “Lasmini” turut memengaruhi rutinitas bulanan ini. Dalam hati aku berkata, “semoga pak ketua mampu menghalau setiap godaan yang ada”.
Aku percaya godaan makhluk ghaib tak berani muncul. Karena keduanya merupakan orang “ahli”. Jangankan mendekat, bertemu saja dipastikan mundur. Aku yakin bahwa godaan ngantuk pun mampu di tepis. Bukan karena “doyan” berjaga, melainkan tidur awal waktu. Sungguh ritme dan pola aktivitas yang cukup sulit untuk aku ditiru. Aku belum cukup sanggup untuk melakukanya.
Aku tidak heran jika kedua ketua ini kompak. Tidak merokok. Perpendidikan cukup tinggi. Mahir membaca Al-Qur’an. Jago ceramah. Berasal dari Banjit. Benar-benar duet “maut” yang mampu menggerakkan denyut nadi Penyuluh Agama. Terbersit pertanyaan konyol untuk bertanya, apakah keduanya juga bisa menembangkan lagu nya Nike Ardila? “Panggung Sandiwara”. He.he. I don’t know abaout it.
Dengan ditemani ketua FKPAI Way Kanan, dengan rela hati menembus dinginya dini hari. Jarak kecamatan Banjit ke Rebang Tangkas bukanlah jarak yang dekat. Keduanya harus melewati kecamatan Kasui terlebih dahulu. Belum lagi tidak adanya jaminan keamanan selama dalam perjalanan. Sungguh perjalanan yang “berbahaya” untuk dilakukan. Namun demi melaksanakan “siraman” rohani, segalanya di serahkan kepada sang “pengatur” hidup.
Pak M. Ali adalah Penyuluh Ahli Madya. Sebagai seorang penyuluh, tugas itu terlihat sederhana. Menyampaikan materi kepada kelompok binaan sudah biasa. Nah, yang aku bingung adalah filosofi dasar dari rihlah dini hari itu. Menembus kabut, demi bertemu jamaah. Aku sendiri tidak yakin, semua dilakukan itu demi secangkir kawe. Sekali lagi, aku tidak yakin. He.he.
Bagi Pak M. Ali, rihlah pagi dan kawe bisa jadi adalah satu “paket”. Terlebih lagi di sebuah daerah penghasil kawe. Ya, Way Kanan adalah salah satunya. Maka, tanpa diminta pun sajian itu terhidang. Jika meragukan “statemen” ku ini, berkunjunglah kerumah Mang Eka. Ketua FKPAI Kecamatan Rebang Tangkas. Dijamin air panas warna hitam itu keluar.
Terus terang, aku belum cukup mampu untuk menyemai pagi. Menyambut mentari dengan sebuah perjalanan berliku. Melewati ratusan rumah. Melintasi jalan yang “aduhai”. Menjaga mata agar terjaga. Bahkan menahan kantuk yang berat. hmm...aku tak bisa membayangkan, betapa “istimewa” nya menahan sebuah makna dingin. Namun bagi Pak M. Ali, semuanya itu biasa. Apapun cerita rihlah pagi, akan selalu bermakna.
Jika dalam konsep sederhana, bisa jadi banyak pendapat. Sangat wajar ketua pokjaluh melakukan itu. Atau memang sudah menjadi tugas ketua untuk berkeliling. Lagi-lagi nalar kecilku ngajak “berantem” untuk memaknai “pola” yang tidak lazim. Beruntung stok kawe selalu ada di KUA Rebang Tangkas. Sehingga secangkir kawe cukup membuat saraf kembali bugar. He.he
Dugaanku tidak melesat. Nukilan “Ajian Serat Jiwa” hanya sebatas oase saja. Ada makna lain yang ingin disampaikan oleh ketua pokjaluh. Sebuah makna tentang inti kehidupan. Terlepas dari “menang” atau “kalah” dalam meniti kehidupan. Ya, inti kehidupan adalah ikhlas. Aku tersenyum mendengar “sabda” sang ketua. Maka, aku-pun harus ikhlas tidak menyantap buah naga yang tersaji.
Aku yakin, jika keikhlasan itu hadir, maka akan bermakna tak ternilai. Bisa juga tak terbatas. Sebab, keikhlasan itu tidak didapat dengan mudah. Bukan didapat di sekolah. Bukan juga diperoleh bahan bacaan. Bukan itu semua. Tapi, keikhlasan akan menyemi bersama alur kehidupan individu. Menyatu bersama peristiwa batin. Bukankah sebuah film Kiamat Sudah Dekat “mengajarkan” bahwa terlalu susah untuk mencari ilmu ikhlas itu.
Season keempat di Kecamatan Rebang Tangkas ini berbeda. Bagaimana tidak. Banyak cerita yang mengiringi kegiatan ini. Mulai dari “penitipan” sepeda motor, “berenang” dalam lumpur sampai sebuah sepatu yang harus terlepas tanpa sadar. Ini adalah konsekwensi “termahal” dari sebuah tugas. Beruntung, hujan belum “berkehendak” turun.
Aku masih menyimak dengan baik. Merekam apa yang disampaikan oleh pak ketua. Meskipun rekaman itu bukan berbentuk kaset. Apalagi CD. Namun, alur pembinaan tetap berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sungguh, sebuah dinamika yang “sempurna” dalam season empat ini. Dinamika yang selalu melahirkan banyak cerita.
Bagiku, kegiatan penyuluh berbagi adalah sebuah “perjuangan” tanpa batas. Kegiatan ini tidak ada sangkut pautnya dengan hak. Meskipun para sahabat penyuluh belum menerima hak tersebut. Namun, lebih dari itu. Sebuah ekspektasi yang membumbung dari sebuah nilai kebersamaan inilah yang tak ternilai. Dalam konteks ini, pertanyaan dari mana “kado” itu berasal, harus diabaikan. Langkah yang tepat adalah “membuang” nya kedalam aliran Curup Pinang Indah Rebang Tangkas.
Di penghujung acara, berbisik lirih seorang sahabat. “Burung pelatuk burung kenari, mata ngantuk belum ngopi”. Aku tersenyum. Tanpa orang tahu siapa senyuman ini aku berikan.
Rebang Tangkas, 27 Oktober 2020.