Jumat, 30 Oktober 2020

Ritme Sebuah Rihlah

 


Oleh : Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan

Ah, ternyata Ketua Kelompok Kerja Penyuluh Agama (Pokjaluh) Way Kanan penggemar cerita Saur Sepuh juga. Aku baru tahu. Meskipun sudah bersama dari tahun duaribu enam. Cerita yang cukup merakyat pada zamanya. Begitu juga dengan para tokoh utama. Pun dengan ajian-ajian saktinya. Sungguh, aku tidak menyangka “Ajian Serat Jiwa” mampu dilafalkan dengan cukup fasih oleh Pak M. Ali.

Aku hanya mampu tersenyum saat itu. Bagaimana tidak, sangat jarang Pak M. Ali menukil cerita rakyat dalam agenda resmi. Terlebih lagi disampaikan pada saat agenda silaturrahmi penyuluh agama season keempat. Ini diluar dugaanku. Bahkan mungkin kawan-kawan PAI Non PNS yang hadir juga tidak menduga. Mendapat titah “Ajian Serat Jiwa”.He.he.

Aku berharap, kawan-kawan PAIF Way Kanan maklum. Pun demikian dengan sahabat Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Way Kanan. Sembunyikanlah keheranan itu dalam tahta hati terdalam. Biarkan keheranan itu menjadi bagian terpenting dari kegiatan penyuluh agama berbagi. Aku yakin, ini ada makna “terselubung” dibalik semua itu.

Kecamatan Rebang Tangkas menjadi bukti tak terbantahkan. Kegiatan penyuluh agama season keempat, menjadi bagian penting dalam perjalanan dunia kepenyuluhan. Dua poin itu, bagiku cukup mewakili bahwa penyuluh agama Way Kanan “hidup” dan bergerak.

Sebenarnya sederhana memaknai “Ajian Serat Jiwa”  versi Pak M. Ali. Begitu mudah untuk mencerna setiap kalimat yang terucap. Dalam posisi ini, aku meyakini bahwa inspirasi terhebat bukanlah dari senyuman Lisda. Sosok yang menjadi “penyemangat” sahabat PAI Non PNS kecamatan Rebang Tangkas. Sekali lagi bukan itu. Namun, penafsiran terhadap sosok “Brama Kumbara” menjadi bagian yang tak terpisahkan dari metafora pembinaan pagi ini.

Hmm..bolehlah nukilan cerita rakyat itu muncul. Disampaikan dengan penuh penghayatan. Serangkai melalui pesan sarat makna. Bersatu menjadi “adonan”khas kegiatan penyuluh berbagi pagi ini. Namun, aku kuatir jika godaan “Lasmini” turut memengaruhi rutinitas bulanan ini. Dalam hati aku berkata, “semoga pak ketua mampu menghalau setiap godaan yang ada”.

Aku percaya godaan makhluk ghaib tak berani muncul. Karena keduanya merupakan orang “ahli”. Jangankan mendekat, bertemu saja dipastikan mundur.  Aku yakin bahwa godaan ngantuk pun mampu di tepis. Bukan karena “doyan” berjaga, melainkan tidur awal waktu. Sungguh ritme dan pola aktivitas yang cukup sulit untuk aku ditiru. Aku belum cukup sanggup untuk melakukanya.

Aku tidak heran jika kedua ketua ini kompak. Tidak merokok. Perpendidikan cukup tinggi. Mahir membaca Al-Qur’an. Jago ceramah. Berasal dari Banjit. Benar-benar duet “maut” yang mampu menggerakkan denyut nadi Penyuluh Agama. Terbersit pertanyaan konyol untuk bertanya, apakah keduanya juga bisa menembangkan lagu nya Nike Ardila? “Panggung Sandiwara”. He.he. I don’t know abaout it.

Dengan ditemani ketua FKPAI Way Kanan, dengan rela hati menembus dinginya dini hari. Jarak kecamatan Banjit ke Rebang Tangkas bukanlah jarak yang dekat. Keduanya harus melewati kecamatan Kasui terlebih dahulu. Belum lagi tidak adanya jaminan keamanan selama dalam perjalanan. Sungguh perjalanan yang “berbahaya” untuk dilakukan. Namun  demi melaksanakan “siraman” rohani, segalanya di serahkan kepada sang “pengatur” hidup.

Pak M. Ali adalah Penyuluh Ahli Madya. Sebagai seorang penyuluh, tugas itu terlihat sederhana. Menyampaikan materi kepada kelompok binaan sudah biasa. Nah, yang aku bingung adalah filosofi dasar dari rihlah dini hari itu. Menembus kabut, demi bertemu jamaah.  Aku sendiri tidak yakin, semua dilakukan itu demi secangkir kawe. Sekali lagi, aku tidak yakin. He.he.

Bagi Pak M. Ali, rihlah pagi dan kawe bisa jadi adalah satu “paket”. Terlebih lagi di sebuah daerah penghasil kawe. Ya, Way Kanan adalah salah satunya. Maka, tanpa diminta pun sajian itu terhidang. Jika meragukan “statemen” ku ini, berkunjunglah kerumah Mang Eka. Ketua FKPAI Kecamatan Rebang Tangkas. Dijamin air panas warna hitam itu keluar.


Terus terang, aku belum cukup mampu untuk menyemai pagi. Menyambut mentari dengan sebuah perjalanan berliku. Melewati ratusan rumah. Melintasi jalan yang “aduhai”. Menjaga mata agar terjaga. Bahkan menahan kantuk yang berat. hmm...aku tak bisa membayangkan, betapa “istimewa” nya menahan sebuah makna dingin. Namun bagi Pak M. Ali, semuanya itu biasa. Apapun cerita rihlah pagi, akan selalu bermakna.

Jika dalam konsep sederhana, bisa jadi banyak pendapat. Sangat wajar ketua pokjaluh melakukan itu. Atau memang sudah menjadi tugas ketua untuk berkeliling. Lagi-lagi nalar kecilku ngajak “berantem” untuk memaknai “pola” yang tidak lazim. Beruntung stok kawe selalu ada di KUA Rebang Tangkas. Sehingga secangkir kawe cukup membuat saraf kembali bugar. He.he

Dugaanku tidak melesat. Nukilan “Ajian Serat Jiwa” hanya sebatas oase saja. Ada makna lain yang ingin disampaikan oleh ketua pokjaluh. Sebuah makna tentang inti kehidupan. Terlepas dari “menang” atau “kalah” dalam meniti kehidupan. Ya, inti kehidupan adalah ikhlas. Aku tersenyum mendengar “sabda” sang ketua. Maka, aku-pun harus ikhlas tidak menyantap buah naga yang tersaji.

Aku yakin, jika keikhlasan itu hadir, maka akan bermakna tak ternilai. Bisa juga tak terbatas. Sebab, keikhlasan itu tidak didapat dengan mudah. Bukan didapat di sekolah. Bukan juga diperoleh bahan bacaan. Bukan itu semua. Tapi, keikhlasan akan menyemi bersama alur kehidupan individu. Menyatu bersama peristiwa batin. Bukankah sebuah film Kiamat Sudah Dekat “mengajarkan” bahwa terlalu susah untuk mencari ilmu ikhlas itu.

Season keempat di Kecamatan Rebang Tangkas ini berbeda. Bagaimana tidak. Banyak cerita yang mengiringi kegiatan ini. Mulai dari “penitipan” sepeda motor, “berenang” dalam lumpur sampai sebuah sepatu yang harus terlepas tanpa sadar. Ini adalah konsekwensi “termahal” dari sebuah tugas. Beruntung, hujan belum “berkehendak” turun.

Aku masih menyimak dengan baik. Merekam apa yang disampaikan oleh pak ketua. Meskipun rekaman itu bukan berbentuk kaset. Apalagi CD. Namun, alur pembinaan tetap berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sungguh, sebuah dinamika yang “sempurna” dalam season empat ini. Dinamika yang selalu melahirkan banyak cerita.


Bagiku, kegiatan penyuluh berbagi adalah sebuah “perjuangan” tanpa batas. Kegiatan ini tidak ada sangkut pautnya dengan hak. Meskipun para sahabat penyuluh belum menerima hak tersebut. Namun, lebih dari itu. Sebuah ekspektasi yang membumbung dari sebuah nilai kebersamaan inilah yang tak ternilai. Dalam konteks ini, pertanyaan dari mana “kado” itu berasal, harus diabaikan. Langkah yang tepat adalah “membuang” nya kedalam aliran Curup Pinang Indah Rebang Tangkas.

Di penghujung acara, berbisik lirih seorang sahabat. “Burung pelatuk burung kenari, mata ngantuk belum ngopi”. Aku tersenyum. Tanpa orang tahu siapa senyuman ini aku berikan.

Rebang Tangkas, 27 Oktober 2020.


 

 

Cinta Sepenuh Hati

 

Oleh : Munawar
 PAIF Kemenag Way Kanan

 

Bukan sebuah kebetulan, jika aku kembali ke Rebang Tangkas. Sebuah kecamatan yang bernuansa lain. Khususnya bagiku. Entah apa yang menjadikan ada nuansa tersendiri manakala menjejakkan kaki ku kembali.  Ada getaran terselebung tatkala secara langsung menghirup udara yang masih bersih. Namun, sejujurnya akupun tidak mengetahui mengapa perasaan ini begitu berbeda.

Akan tetapi, saat berada di KUA Rebang Tangkas, tiba-tiba imajinasiku “tertidur”. Aku juga bingung akan keadaan ini. Aku kemudian berfikir, apa karena godaan Getuk Lindri yang tersaji, atau air panas warna hitam yang berbeda. Keduanya mungkin turut andil mempengaruhi imajinasiku. Bisa juga karena aku sangat terkejut, bahwa Kang Bambang bisa “ngaji”. Bahkan, mungkin juga senyuman Lisda yang manis dan menggoda. Semuanya masih serba mungkin.

Kehadiranku adalah menghadiri kegiatan penyuluh berbagi. Sekaligus mendampingi ketua Pokjaluh Way Kanan. Pak M. Ali. Sosok “multi talenta” ini cukup sukses dalam dunia penyuluh. Beragam aktifitas dan “gebrakan” kegiatan penyuluh agama, terbilang berhasil. Aku bahagia, pokjaluh Way Kanan di pimpin oleh sahabatku ini.

Aku memandang sekitar ruangan yang cukup megah. Ruangan KUA yang cukup representatif.  Kamar mandi juga tersedia dengan air yang berlimpah. Cukup nyaman suasana yang ada. Terlebih lagi Ibu Mudrikah nampak bahagia, meskipun aku belum sempat berkunjung di kediamanya. Sungguh, sebuah suasana yang mampu “membangunkan” imajinasiku, meskipun kawe ala Mang Eka belum nampak.

Naluri penyuluh kemudian menuntunku untuk berselancar ria. Mengarungi makna yang disampaikan oleh ketua Pokjaluh Way Kanan. Sungguh, Pak M. Ali hari ini mampu memberikan inspirasi terbaik. Bagaimana tidak, judul tulisan ini-pun adalah uraian yang aku tangkap melalui sebuah ungkapan. Ya, ternyata batas hati manusia mampu di tembus dengan keikhlasan. Bagiku, begitu dahsyat.

Ada nuansa yang cukup menggembirakan. Aku menemukan sebuah makna “tanpa hitungan”. Sebuah kata yang telah terbukti dan patut untuk dilaksanakan dalam meniti kehidupan. Sesungguhnya, makna itupun serangkai dengan gaji dan rezeki. Dua makna yang berbeda. Meskipun demikian, ternyata rezeki selalu ada. Bukankah begitu pak Muabbidin dan Pak Hariyanto?

Konsep rezeki harus dimaknai sebagai sesuatu yang luas. Begitulah makna silaturrahmi season empat ini dilakukan. Sebab rezeki tidak sebatas buah naga, jagung rebus atau mantang rebus. Rezeki juga bisa bermakna kesempatan bertemua penyuluh kecamatan lain dalam satu kegiatan. Bisa juga bermakna membagi informasi. Begitu luas memang. Tidak sesederhana kalkulatornya Fery dalam menghitung berapa harga satu ekor ayam.

Ada yang harus di rubah dalam konsepsi kita terkait rezeki. Dengan sangat meyakinkan, pak ketua melanjutkan “wejangan”nya. Bahwa rezeki itu tidak boleh minta di tambah. Inilah konsep ajaran Islam sesungguhnya yang terwujud dalam doa, waa barokatan fii rizki. Keberkahan dalam rezeki. Aku berharap sebungkus surya juga bisa memiliki keberkahan sendiri.He.he.

Justru yang harus diminta bertambah adalah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu itu manusia bisa menemukan kebahagiaan. Sebab, tidaklah mungkin Mas Dana dan Kang Imam mampu memilih jalan dalam genangan lumpur, jika tidak memiliki ilmu. Demikian juga Ust. Din Hadi, mustahil bisa membaca dan memaknai wadhuhe, jika tidak menguasai ilmu qiratus sab’ah. Begitu berharganya ilmu, sehingga Om Edi bisa “menjaga” ritme kendaraan dan tak mampu membuat Bunda Ayni dan Nona Ciwul tertidur.

Begitulah pemahaman sederhana tentang ilmu. Maka tidaklah mengherankan jika doa wa jiadatan fil ’ilmi harus sebanding lurus dengan keinginan untuk memperbaiki diri. Tentu, ilmu dimaksud bukan ilmu Benteng Topan Melanda Samudera nya Wiro Sableng. Namun ilmu pengetahuan yang menurut pak Kepala KUA Rebang Tangkas adalah pengetahuan yang mempunyai azas manfaat.

Aku masih penasaran dengan air panas warna hitam. Begitu penasaranya, sampai melupakan jika ada sesi foto bersama. Terlebih lagi, sajian getuk lindri belum menghilang. Tak ayal lagi, aku abaikan panggilan Mas Choirul untuk foto bersama. Aku memilih menikmati hidangan itu sambil mencari cara mebawa getuk lindri yang terbungkus. Ternyata, cara tercepat adalah memasukkan ke saku untuk “bekal” ke Curup Pinang Indah. He.he.

Air terjun Curup Pinang Indah ini mengingatkanku pada adegan sebuah film. Namun yang banyak membedakan adalah bunga anggrek yang sengaja di letakkan. Aku yakin bahwa dalam hitunganku, ada sebelas bungga anggrek yang letaknya cukup berjauhan. Bisa jadi, bunga itu sengaja diletakkan untuk mempercantik nuansa air terjun yang terus mengalir. Aku sangat yakin, bukan si Tifah yang meletakkan bunga anggrek itu.

Ini juga menjadi poin penting dalam tulisan ini. Dua kombinasi yang utuh bisa disatukan menjadi ulasan yang menarik. satu sisi adalah kenyataan menjadi Penyuluh Agama Islam, sementara disisi lain memaknai “oase” dalam mencari pengetahuan. Jika disederhanakan bisa dimaknai mencintai sepenuh hati.

Lihatlah wujud cinta dibawah sana. Begitu gembiranya pak Eko bermain asyik bersama kedua bujangnya. Tanpa cinta, tak mungkin akan dilakukan. Tanpa cinta, dipastikan tidak akan mau berbasah-basah ria. Dan tanpa cinta kepada pak Eko, Neng Lidya tak mungkin mau pergi ke Liwa selama long weekend ini.

Demikian juga dunia penyuluh agama. Dunia penyuluh wajib kita cintai dengan sepenuh hati. Dunia yang mempertemukan satu individu dengan lainya. Terhimpun dalam satu naungan keluarga besar Kementerian Agama. Maka, sudah seyogyanya semua penyuluh mencintai “label” Penyuluh agama, sekaligus mencintai Kementerian Agama.

Wujud cinta dapat beraneka ragam. Bisa bermakna menjalankan tugas dan fungsi secara profesional, membuat laporan kegiatan atau dalam wujud yang lebih luas. Menyukseskan visi dan misi kementerian Agama. Ini menjadi bagian yang penting. Dan ini juga harus dilaksanakan oleh keluarga besar kementerian Agama.


Hmm...kalau sudah begini, jadi ingat momen makan bersama. Analogi ini sangat sederhana untuk saling meguatkan. Lihatlah, ada nasi, tiwul, sambal, lalapan, rendang jengkol, daging ayam, ikan dan sambal telur. Juga ada dua alas, tikar dan daun pisang. Semuanya akan terasa nikmat jika bersatu menjadi satu kesatuan utuh.

Bisa di bayangkan, jika aku hanya makan daging ayam bakar saja. Maka bentuk kenikmatan terindah tidak akan terasa. Demikian juga, jika hanya makan sambal saja, pasti tidak akan enak. Apalagi semua rendang jengkol dimakan. Mungkin “jengkolan” lah yang akan datang. Nah, jika semua disatukan, menjadi satu kesatuan, rasa nikmat segera hadir. Begitu nikmatnya, sampai tidak menyadari sajian yang begitu banyak hampir habis. He.he.

Begitulah analogi sederhana. Biarpun kawe asli belum juga ada, namun tetap asyik. Biarlah tisu cukup berperan sebagai pembersih. Sementara air mineral mempunyai tugas menghilangkan dahaga. Sekali lagi, ini hanya analogi sederhana yang tidak perlu diperdebatkan. Yang pasti, ditengah perbedaan yang ada, bendera merah putih tetap berdiri tegak di Curup Pinang Indah.

Pun demikian dengan penyuluh. Semua tugas itu penting. Tidak ada tugas yang tidak penting. Semuanya penting. Tugas dalam keluarga sakinah penting. Tugas yang berkaitan zakat juga penting. Demikian juga tugas tentang haji, radikalisme dan baca tulis al qur’an. Semuanya penting. Namun dari itu semua, yang terpenting adalah bersatu dan saling mendukung dalam tugas.

Hmm...berlama-lama di curup ini bisa berbahaya. Aku takut tergoda “bertapa” di air terjun sebelah ujung. Aku takut semua ingatanku tentang air terjun dalam dunia silat muncul. Aku takut godaan air terjun bersemayam dihati. Namun, yang aku takutkan adalah turunya hujan deras. Bisa benar-benar berenang dalam kubangan lumpur di jalan sana. Maka, langkah terbaik adalah segera pulang.

Satu hal yang pasti. Jangan kau goda aku dengan Getuk Lindri. Ini cukup berbahaya. Biarkan getuk itu sampai ke Bumi Agung, Liwa, Banjit, Negeri Agung dan rumahku. Biarkan semuanya itu mengalir bersama air terjun. Dan biarkan buah naga yang tertinggal menjadi kenangan. Semuanya berlalu menuju sebuah keabadian sejati. Termasuk senyumanmu yang menggoda.

 

Rebang Tangkas, 27 Oktober 2020

 

 

 


Kamis, 22 Oktober 2020

Santri Bercerita

 




Oleh: Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan


Pada awalnya, kata pondok pesantren (Ponpes) atau pesantren sangatlah asing bagiku. Terlebih lagi, saat itu aku tinggal jauh dari ibu kota kabupaten. Di butuhkan waktu empat jam untuk sampai dengan kendaraan umum. Maka, saat Ayah mengajak diskusi tentang kelanjutan setelah Sekolah Menengah Pertama, aku cukup bingung. Apa itu pesantren, bagaimana kehidupan dan tata belajarnya. Beragam pertanyaan memenuhi ubun-ubunku.

“Ini ada brosur dari Om yang di Yogya”, kata Ayah selepas Mahrib.

“Yogyakarta”, Aku menjawab dengan nada gembira.
“Pelajari, pahami dan sekaligus putuskan”, Ayah menjawab sekaligus memerintah.
“Kalau di Yogyakarta mau”, jawabku tanpa membuka brosur itu.
“Baik, itu keputusanmu. Setelah cap tiga jari, kita ke Yogya”, Jawab Ayah gembira.

Sebenarnya, keputusanku itu adalah impianku sejak kecil. Kota Yogyakarta bagiku mempunyai daya magnet tersendiri. Aku juga tidak mengetahui mengapa impianku tertuju di kota pelajar itu. Dua hal yang aku ingat. Pantai Parang Tritis dan Gunung Merapi. Bisa jadi juga, buku Bastian Tito, Wiro Sableng yang berjudul, “ Pangeran Matahari dari Puncak Merapi”. He.h.he

Aku cukup kaget sekaligus bergembira. Pada kendaraan yang sama, bisa berbarengan dengan “bintang” kelas di SMP. Aku sama sekali tak menduga, jika gadis belia yang selalu memberikanku “contekan” Matematika bersamaku. Satu bangku. Aku harus berkata jujur, jika ini adalah saat indah. Mengarungi selat Sunda bersama.

Ponpes Ibnul Qoyyim Yogyakarta merupakan takdirku untuk menimba ilmu bersama kawan-kawan seangkatan. Aku cukup beruntung, saat tes masuk bisa menjawab semua pertanyaan. Demikian juga saat tes baca dan tulis Al-Qur’an . Aku bisa membaca dan menulis apa yang diperintahkan Ustadz penguji. Aku sangat bersyukur, ilmu yang aku dapat dari guru ngaji di desa, sangat bermanfaat.

Kehidupanku di Pesantren dimulai pada tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh lima. Tahun dimana aku harus berlatih mandiri. Cukup berat ternyata pada awal-awal kehidupan di Pesantren. Penyesuaian dengan lingkungan baru mengharuskan melepas semua kebiasaan di rumah. Bagiku “mental baja” harus dipersiapkan dengan baik. Beragam budaya, adat istiadat, karakter dari seluruh santri disatukan. Hidup dalam marwah pesantren.

Sebenarnya, fase terberat bagiku hidup awal di Pesantren adalah bangun pagi. Bagi santri baru, bangun pukul empat dini hari merupakan hal yang jarang dilakukan di rumah. Namun di Pesantren, jangan harap ada kata mbangkong. Dengan segera Qismul Amn akan berteriak, ”kuuuuuuuuuuuuum”. Dipastikan akan segera berlari menuju masjid. He.he.

Aku ingat, banyak kata dan kalimat yang asing. Khususnya bahasa Arab. Dimulai dari mufrodat, salathoh, idam, qonat sampai qittun. Semuanya masih benar-benar baru. Namun, lingkungan yang kondusif yang berjalan sesuai “nafas” pesantren, sangat memudahkan santri baru untuk beradabtasi. Meskipun iqob kadangkala harus diterima sebagai konsekwensi pelanggaran. Berbahasa daerah atau bahasa Indonesia.

Ya, inilah dunia pesantren. Dunia yang unik penuh dinamika kehidupan. Dunia yang akan menjadikan santri menjadi “manusia” seutuhnya. Dunia yang mengajarkan arti penting ilmu-ilmu keagamaan. Dunia yang “menggembleng” santri untuk memiliki disiplin. Dunia yang mengajarkan tentang adab. Semua dinamika pesantren itu, hanya bisa dinikmati oleh santri.

Di pesantren inilah aku belajar. Pesantren yang dipimpin oleh K.H. Raden Hisyam Syafi’i (almarhum). Di pesantren ini juga aku belajar ilmu Nahwu Sorof, Taklim Muta’alim, Bulughul Marram, Balaghoh dan kitab-kitab kebanggaan pesantren lainya. Kitab yang di tulis oleh para ulama. Diajarkan di pesantren dengan beragam metode. Mulai dari metode Sorogan, Wetonan atau Bandongan, sampai Bahtsul Masa’il. Semuanya diajarkan di pesantren. Yang pasti, semua metode itu aku alami di pesantren.

Aku juga ingat betapa susahnya mengahafal. Al-Qur’an, Hadist, Mutholaah, kata- kata mutiara, dan hafalan lainya. Ah, mengenang hafalan, jadi teringat berdiri di tengah lapangan. Berdiri sambil membaca Durusul Lughoh. Di tengah terik mentari. Berdiri bersejajar sampai hapal. He.he.

Disinilah keseriusan menimba ilmu di pertaruhkan. Sesulit apapun situasi yang di hadapi, pasti ada jalan keluarnya. Banyak motivasi yang diberikan. Baik secara langsung melalui bimbingan para asatidz atau pelajaran-pelajaran yang diambil dari “kalam” ulama. Aku teringat akan nasehat Imam Syafi’i. “Syakautu ila Waqi’in sua hifdzi, Fa arsyadani ila tarki al ma’ashi, Wa akhbaroni bi anna ‘ilmu nuurun, Wa Nuurullahi la yu’tha li aashi” .

Hmm...Ternyata mengasyikkan hidup di pesantren. Alangkah bahagianya jadi santri. Dipastikan banyak cerita yang tertera dalam lembar kehidupan pesantren. Dipastikan banyak ilmu yang di dapatkan. Ilmu yang sangat berguna untuk mengarungi kehidupan selanjutnya. Atau lembaran-lembaran kehidupan yang membuat tertawa saat di ceritakan. Mulai dari cerita matbah, gosob, jarban, sijar, hamam atau mengambil jambu mbah Kyai.he.he

Jika ada ungkapan hidup di pesantren menjadi “kuper”, maka langkah terbaik adalah mempersilahkan hidup lama di pesantren. Aku yakin, akan menemukan dunia yang sulit terlupakan. Aku juga yakin, dengan segera akan meralat ungkapan tersebut. Sebab, hidup di pesantren merupakan anugerah tersendiri. Tidak semua manusia bisa menikmati kehidupan pesantren. Sekali lagi, denyut nadi pesantren hanya bisa dinikmati oleh santri.

Di Ponpes Ibnul Qoyyim Yogyakarta ini juga, aku tahu betapa pentingnya sebuah adab. Penghormatan terbesar wajib di berikan kepada mbah Kyai. Sosok kharismatik. Sebab, dalam “sosok” mbah Kyai terdapat banyak hal yang santri tidak tahu. Namun wajib bagi seluruh santri untuk patuh. Bisa kualat kata kakak mudabbir. Dalam istilah umum tidak ‘barokah” ilmunya, jika “membangkang” pada mbah Kyai.

Itulah dunia pesantren yang aku alami. Tidak mungkin mampu diceritakan semua. Terlebih lagi sepuluh tahun aku hidup di dunia pesantren. Semua peristiwa di pesantren telah mendarah daging. Semuanya terekam dalam file terbaik. Begitu pula dengan “kebiasaan” santri yang terkadang masih “sempat” dilakukan. Ngopi segelas berlima. He.he.

Kini, kehidupan pesantren telah menjadi sejarah. Peristiwa yang tidak mungkin terulang kembali, meskipun rindu dengan suasana khas pesantren. Namun, semuanya sudah berlalu. Bagiku, semua perjalanan hidup di pesantren akan menjadi sejarah “terhebat”.

Kalau dulu, lagu Oh Pondokku merupakan lagu "wajib" di pesantreku. lagu yang menjadi penyemangat bagi santri. Lagu yang selalu di nyanyikan dalam beragam event pesantren. untuk sekedar mengingat saja, mengulang memori Khutbatul Arsy. sepenggal bait sengaja aku tuliskan. Tiap pagi dan petang, kita beramai sembahyang, mengabdi pada Allah Ta'ala, di dalam kalbu kita. Wahai pondok tempatku, laksana ibu kandungku, yang kasih serta sayang padaku, oh pondokku....i..bu..ku..Hmm...hampir saja aku tak kuasa menahan airmata.

Kini, setelah Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, santri memiliki hari yang di peringati secara nasional. Tanggal 22 Oktober merupakan hari Santri Nasional. Aku bersyukur pernah mondok dan nyantri. Aku juga bersyukur santri sudah memiliki lagu spesial. Aku pun sengaja menuliskan beberapa bait saja. Ayo santri, ayo santri, ayo santri, ayo ngaji dan patuh pada kyai, jayalah bangsa jayalah negara, jayalah pesantren kita.

Selamat hari Santri Tahun 2020. Santri Sehat Indonesia Kuat.

Blambangan Umpu, 22 Oktober 2020