Kamis, 01 April 2021

Membakar Kayu

 


Oleh: Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan

        Aha, coba kita bayangkan, jika kapal Ever Given yang terdampar di terusan Seuz minggu lalu di gunakan untuk membawa seluruh Penyuluh Agama Islam (PAI) se-Provinsi Lampung. Apa yang akan terjadi? Dipastikan seluruhnya akan dapat tertampung, meskipun seluruh PAI juga membawa keluarganya. Ah, sebuah bayangan yang mustahil terjadi, karena kapal tersebut adalah kapal kargo. Bukan kapal penumpang.
      Maka, tak perlu (dalam cerita) ini membahas kapal Ever Given. Apalagi terusan Suez yang ide pembangunanya sudah ada pada abad ke-15. Kemudian oleh Napoleon Bonaperte pada abad ke-18 mulai di wacanakan proses pembangunanya. Terlebih lagi untuk mengukur berapa panjang terusan Suez itu. Saranku, tak perlu Mr. Boim bersusah ria untuk mengukurnya. Cukuplah materi monitoring dan evaluasi (monev) hari ini dapat dijadikan pembelajaran penting. Itu lebih dari cukup. Hehehe.
  Ah, mendengar kata monev, membuat dag dig dug seluruh persendian tubuh. Membayangkan tentang hal-hal tentang pertanggungjawaban. Memastikan bahwa apa yang dikerjakan sesuai dengan petunjuk tekhnis yang telah ada. Inilah mengapa, “kode” 298 itu menjadi populer minggu-minggu terakhir ini. “kode” tersebut memberikan beragam penafsiran; minimal lembur perbaikan dengan suguhan kopi hitam pekat tanpa gula.
    Padahal, 298 itu sudah jelas. Tidak perlu ada penafsiran. Apalagi penambahan struktur pengurus, pengesahan ataupun penghilangan tandatangan. Karena pada dasarnya seluruh aturan main, sudah ada di 298. Bukankah begitu wahai Bro Imam Muzaki?
      Sederhanya adalah monev adalah sebuah keniscayaan dari instansi pembina. Nah dalam hal ini Kanwil kementerian Agama Provinsi Lampung yang melakukan monev dan sekaligus pembinaan pada Selasa, 30 Maret 2021. Sekali lagi, monev diperlukan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan sebuah kegiatan tersebut sesuai dengan yang telah di tentukan atau sebaliknya.
    Dengan monev, minimal aku tahu bahwa untuk kegiatan itu diperlukan energi yang tidak sedikit. Minimal proses komunikasi antar penyuluh terjadi. Dengan adanya monev ini juga, aku tahu bahwa Ketua Din Hadi juga sangat sibuk untuk menyiapkan segala sesuatunya. Mungkin juga sudah menghafal siapa nama Pak Babin di kampung binaanya, sebagai persiapan jika ditanya. Hehehe.
    Hujan yang mengguyur wilayah Blambangan Umpu dengan petir dan gemuruh yang menyertainya, ternyata tidak menyiutkan nyali kawan-kawan untuk fokus pada pembenahan laporan. Justru menjadikan kuatir, jangan-jangan mati lampu. Sebagaimana kuatirnya “ si nda” Ciwul yang hampir “stress” memikirkan puisi selanjutnya. Ah, mungkin hanya tebakanku saja.
     Justru dengan monev inilah, pertanggungjawaban ada. Monev bukan mencari sebuah kesalahan. Namun monev adalah untuk mengetahui sejauh mana tanggungjawab yang diberikan dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Maka, Kang Dana tidak perlu harus meninggalkan “sungai”, selama laporan yang diminta sudah ada dan sesuai dengan 298.
       Sebuah jawaban dapat diberikan saat pertanyaan itu hadir disela-sela ngopi bareng. “apa dan bagaimana monev itu?”. Nah ini sebuah pertanyaan yang bagus dari “sang primadona”, saat menu sarapan tersaji. Mungkin, karena sudah “grogi” duluan saat mendengar kata “monev”, sehingga sarapan menjadi tak “selera” meskipun menu yang tersaji cukup lengkap, di sebuah warung makan tentunya. Hehehe.  
   Sambil guyon aku sampaikan juga ke “penguasa” Bahuga dan Buay Bahuga, bahwa monitoring itu merupakan sesuatu penilaian yang rutin dilakukan oleh instansi yang berwenang terkait aktivitas dan proses perkembangan yang sedang berlangsung di wilayah binaan penyuluh, sementara evaluasi adalah penilaian yang bersifat  rutin terkait semua pencapaian dari proses bimbingan dan penyuluhan di wilayah binaan penyuluh. Kemudian monitoring itu melihat pada apa yang sedang dilakukan penyuluh, sedangkan evaluasi memeriksa apa yang sudah dicapai dari program kerja, baik  operasional, bulanan atau tahunan sekaligus melihat dampak yang sudah terjadi di jamaah yang dibina.Begitulah kira-kira jawaban untuk bu Lilis dan bu Sriwatin.
        Sementara, Kang Edi dan Bro Bahrul, terlihat tidak seperti biasanya. Entah karena belum sarapan, atau akibat “kuda besi” yang tiba-tiba  ngambek karena injakan gas yang terlalu kencang, demi sebuah monev. Sejujurnya, bagi keduanya hari ini adalah hari yang sangat di tunggu-tunggu. Bukan momen monev nya, melainkan dapat menikmati ruangan penyuluh yang memang sangat pantas untuk dirindukan. Terlebih lagi, April dan Mei ngopi bareng di Kemenag ditiadakan dahulu untuk sementara.
   Beruntung, monev dilaksanakan di hari aktif kedua, Selasa. Hari dimana Pak Somad sudah menikmati udara malam di sebuah “singgasana”. Dari sisi ini, aku begitu terinspirasi bahwa, apa yang dilakukan oleh beliau cukup membuktikan sebuah komitmen dan kesetiaan terhadap tugas. Sebuah strategi jitu pun dilakukan untuk menghindari sebuah “uniknya” proses perjalanan Negeri Besar-Blambangan Umpu di musim penghujan.
     Ah, rasanya kopi hampir habis saat rombongan Kanwil Kemenag provinsi Lampung tiba di Kemenag Way Kanan. Beruntung konsep “yang muda yang membuat” masih berlaku. Sehingga, tidak menunggu lama, kopi tersaji kembali di meja yang penuh dengan data. Inilah saat-saat hilang “keberanianku” untuk menghabiskan kopi itu. Aku kuatir jika habis lagi, maka Pak Ketua Pokjaluh yang membuatkan. Bisa kualat double saya nanti.
     Bagi Bro Boim dan Bro Muzaki, ruangan Aula Amal Bhakti itu terasa sempit dan panas. Padahal tidak. Justru ruangan itu menjadi saksi terindah dari sebuah momen monev. Terlebih lagi yang akan menyampaikan pembinaan adalah seorang Doktor yang sangat ceria dan enerjik. Beliau adalah DR. Hj. Rita Linda, S.Ag., M.Ag. Sungguh luar biasa bukan? Bu Doktor itulah yang akan menyampaikan hal-hal terkait dengan pembinaan.
    Lagi-lagi ruangan itu sunyi. Cukup sunyi, saat Pak Kasi Bimas menyampaikan kata pembuka. Sebuah prolog tentang gambaran keadaan para Penyuluh Agama Islam (PAI) di kabupaten Way Kanan. Bagiku, apa yang disampaikan pak Ali Sholihin, cukup sensasional. Mengapa? Gambaran utuh terkait para PAI terpotret jelas melalui penjabaran yang disampaikan. Betapa tidak, memaknai bimbingan dan penyuluhan bagi PAI tidak hanya sebatas pada ceramah saja, namun proses dakwah pun bisa dilaksanakan dengan beragam cara, termasuk didalamnya berdakwah melalui tulisan. Itulah salah satu poin yang dapat terekam dengan baik.
     Sementara disisi lain, disebuah ruangan yang berbeda, file laporan menunggu giliran untuk dibuka. Jika mereka dapat berbicara, mungkin akan mengatakan “aku siap”. Entah siap untuk apa. Mungkin siap menunggu untuk ditambah laporanya untuk periode triwulan pertama ya. Biar terlihat tebal. Hehehe.
     Angin kemudian menyapaku melalui sebuah bisikan. “Bu Doktor akan menyampaikan materi monev”. Bersiaplah dengan goresan tinta yang akan tertuang dalam kertas putih. Bersiaplah sambil meneguk air mineral yang tersaji. Beruntung tidak ada kameramen “nakal” yang biasa memotret momen “tak biasa”. Dengan kondisi inilah, bro “endut” nampaknya sudah menguasai “dunia persilatan” dengan nada khasnya.
     Bagi Penyuluh Agama Islam Fungsional (PAIF),  sosok bu Doktor ini sudah tidak asing lagi. Begitu seringnya memberi materi dalam beragam pelatihan dan pembinaan, menjadikan suasana yang ada terbilang “cair”. Terlebih lagi pemilik Desertasi - “ Pengaruh Kepemimpinan, Komunikasi Organisasi, dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Pegawai di Llingkungan Kantor Kementerian Agama se-Provinsi Lampung” – ini menyampaikan materi dengan cukup enerjik.
 Begitulah, sebuah moment yang beriramakan ritme siang sedang terjadi. Proses transformation of knowledge menjadi sebuah keniscayaan siang ini. Pada momen ini pula, guratan sejarah pada relung waktu sedang tercipta. Moment ini akan “mengabadi” membentuk siklus “peradaban” baru. Dengan siklus ini pula, makna akan terangkai bersama nada yang inspiratif. Hmm.
   Maka, tidaklah mengherankan jika “membakar kayu” terlahir dari komunikasi yang terbangun saat santai. Sempat aku berfikir, inilah judul yang tepat untuk sebuah coretan “peradaban”. Pada momen inilah, narasi imajinatif muncul. Cukup rasional juga pemaknaan luas terhadap “tafsir” PAI ini. Sungguh, rangkaian kata yang sama sekali tidak terduga namun mampu mengusik imajinasiku.
   Membakar kayu. Sebuah makna dimensional. Makna personifikasi pada sebuah majas kehidupan PAI. Ya, tanpa kesadaran itu, “makna” membakar akan mempunyai konotasi “jelek”. Terlebih lagi membakar tembakau atau membakar kesempatan. Hehehe. Beruntung, pelurusan makna hanya terkait pada konteks PAI.
     Begitulah, alur yang sudah terjadi. Apapun yang terjadi pada hari ini bisa dimaknai sebagai sebuah “pemberian” terindah dari Dzat segala Maha. Patut disyukuri bersama sehingga mampu meniadakan rongga kesunyian dalam “frasa” 298.


Way Kanan, 30 Maret 2021

1 komentar: