Oleh: Munawar
PAIF Kemenag Way Kanan
Aha, coba kita bayangkan, jika kapal Ever
Given yang terdampar di terusan Seuz minggu lalu di gunakan untuk membawa
seluruh Penyuluh Agama Islam (PAI) se-Provinsi Lampung. Apa yang akan terjadi?
Dipastikan seluruhnya akan dapat tertampung, meskipun seluruh PAI juga membawa
keluarganya. Ah, sebuah bayangan yang mustahil terjadi, karena kapal tersebut
adalah kapal kargo. Bukan kapal penumpang.
Maka,
tak perlu (dalam cerita) ini membahas kapal Ever Given. Apalagi terusan Suez
yang ide pembangunanya sudah ada pada abad ke-15. Kemudian oleh Napoleon
Bonaperte pada abad ke-18 mulai di wacanakan proses pembangunanya. Terlebih
lagi untuk mengukur berapa panjang terusan Suez itu. Saranku, tak perlu Mr.
Boim bersusah ria untuk mengukurnya. Cukuplah materi monitoring dan evaluasi
(monev) hari ini dapat dijadikan pembelajaran penting. Itu lebih dari cukup.
Hehehe.
Ah,
mendengar kata monev, membuat dag dig dug seluruh persendian tubuh.
Membayangkan tentang hal-hal tentang pertanggungjawaban. Memastikan bahwa apa
yang dikerjakan sesuai dengan petunjuk tekhnis yang telah ada. Inilah mengapa,
“kode” 298 itu menjadi populer minggu-minggu terakhir ini. “kode” tersebut
memberikan beragam penafsiran; minimal lembur perbaikan dengan suguhan kopi
hitam pekat tanpa gula.
Padahal,
298 itu sudah jelas. Tidak perlu ada penafsiran. Apalagi penambahan struktur
pengurus, pengesahan ataupun penghilangan tandatangan. Karena pada dasarnya
seluruh aturan main, sudah ada di 298. Bukankah begitu wahai Bro Imam Muzaki?
Sederhanya
adalah monev adalah sebuah keniscayaan dari instansi pembina. Nah dalam hal ini
Kanwil kementerian Agama Provinsi Lampung yang melakukan monev dan sekaligus
pembinaan pada Selasa, 30 Maret 2021. Sekali lagi, monev diperlukan untuk
mengetahui sejauh mana pelaksanaan sebuah kegiatan tersebut sesuai dengan yang
telah di tentukan atau sebaliknya. Dengan
monev, minimal aku tahu bahwa untuk kegiatan itu diperlukan energi yang tidak
sedikit. Minimal proses komunikasi antar penyuluh terjadi. Dengan adanya monev
ini juga, aku tahu bahwa Ketua Din Hadi juga sangat sibuk untuk menyiapkan
segala sesuatunya. Mungkin juga sudah menghafal siapa nama Pak Babin di kampung
binaanya, sebagai persiapan jika ditanya. Hehehe.
Hujan
yang mengguyur wilayah Blambangan Umpu dengan petir dan gemuruh yang
menyertainya, ternyata tidak menyiutkan nyali kawan-kawan untuk fokus pada
pembenahan laporan. Justru menjadikan kuatir, jangan-jangan mati lampu.
Sebagaimana kuatirnya “ si nda” Ciwul yang hampir “stress” memikirkan puisi selanjutnya.
Ah, mungkin hanya tebakanku saja.
Justru
dengan monev inilah, pertanggungjawaban ada. Monev bukan mencari sebuah
kesalahan. Namun monev adalah untuk mengetahui sejauh mana tanggungjawab yang
diberikan dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Maka, Kang Dana tidak perlu
harus meninggalkan “sungai”, selama laporan yang diminta sudah ada dan sesuai
dengan 298.
Sebuah
jawaban dapat diberikan saat pertanyaan itu hadir disela-sela ngopi bareng.
“apa dan bagaimana monev itu?”. Nah ini sebuah pertanyaan yang bagus dari “sang
primadona”, saat menu sarapan tersaji. Mungkin, karena sudah “grogi” duluan
saat mendengar kata “monev”, sehingga sarapan menjadi tak “selera” meskipun
menu yang tersaji cukup lengkap, di sebuah warung makan tentunya. Hehehe. Sambil guyon aku sampaikan
juga ke “penguasa” Bahuga dan Buay Bahuga, bahwa monitoring itu merupakan sesuatu penilaian yang rutin
dilakukan oleh instansi yang
berwenang terkait aktivitas dan
proses perkembangan yang
sedang berlangsung di wilayah binaan penyuluh, sementara evaluasi
adalah penilaian yang bersifat rutin terkait semua pencapaian dari proses bimbingan dan
penyuluhan di wilayah binaan penyuluh.
Kemudian monitoring itu melihat pada apa yang sedang dilakukan
penyuluh, sedangkan
evaluasi memeriksa apa yang sudah dicapai dari
program kerja, baik operasional, bulanan
atau tahunan sekaligus melihat dampak
yang sudah terjadi di jamaah yang dibina.Begitulah kira-kira jawaban
untuk bu Lilis dan bu Sriwatin.
Sementara, Kang Edi dan Bro
Bahrul, terlihat tidak seperti biasanya. Entah karena belum sarapan, atau
akibat “kuda besi” yang tiba-tiba ngambek karena injakan gas yang terlalu
kencang, demi sebuah monev. Sejujurnya, bagi keduanya hari ini adalah hari yang
sangat di tunggu-tunggu. Bukan momen monev nya, melainkan dapat menikmati
ruangan penyuluh yang memang sangat pantas untuk dirindukan. Terlebih lagi,
April dan Mei ngopi bareng di Kemenag ditiadakan dahulu untuk sementara. Beruntung, monev
dilaksanakan di hari aktif kedua, Selasa. Hari dimana Pak Somad sudah menikmati
udara malam di sebuah “singgasana”. Dari sisi ini, aku begitu terinspirasi
bahwa, apa yang dilakukan oleh beliau cukup membuktikan sebuah komitmen dan
kesetiaan terhadap tugas. Sebuah strategi jitu pun dilakukan untuk menghindari
sebuah “uniknya” proses perjalanan Negeri Besar-Blambangan Umpu di musim
penghujan.
Ah, rasanya kopi hampir
habis saat rombongan Kanwil Kemenag provinsi Lampung tiba di Kemenag Way Kanan.
Beruntung konsep “yang muda yang membuat” masih berlaku. Sehingga, tidak
menunggu lama, kopi tersaji kembali di meja yang penuh dengan data. Inilah
saat-saat hilang “keberanianku” untuk menghabiskan kopi itu. Aku kuatir jika
habis lagi, maka Pak Ketua Pokjaluh yang membuatkan. Bisa kualat double saya nanti.
Bagi Bro Boim dan Bro Muzaki,
ruangan Aula Amal Bhakti itu terasa sempit dan panas. Padahal tidak. Justru
ruangan itu menjadi saksi terindah dari sebuah momen monev. Terlebih lagi yang
akan menyampaikan pembinaan adalah seorang Doktor yang sangat ceria dan
enerjik. Beliau adalah DR. Hj. Rita Linda, S.Ag., M.Ag. Sungguh luar biasa
bukan? Bu Doktor itulah yang akan menyampaikan hal-hal terkait dengan
pembinaan.
Lagi-lagi ruangan itu sunyi.
Cukup sunyi, saat Pak Kasi Bimas menyampaikan kata pembuka. Sebuah prolog
tentang gambaran keadaan para Penyuluh Agama Islam (PAI) di kabupaten Way
Kanan. Bagiku, apa yang disampaikan pak Ali Sholihin, cukup sensasional.
Mengapa? Gambaran utuh terkait para PAI terpotret jelas melalui penjabaran yang
disampaikan. Betapa tidak, memaknai bimbingan dan penyuluhan bagi PAI tidak
hanya sebatas pada ceramah saja, namun proses dakwah pun bisa dilaksanakan
dengan beragam cara, termasuk didalamnya berdakwah melalui tulisan. Itulah
salah satu poin yang dapat terekam dengan baik.
Sementara disisi lain,
disebuah ruangan yang berbeda, file laporan menunggu giliran untuk dibuka. Jika
mereka dapat berbicara, mungkin akan mengatakan “aku siap”. Entah siap untuk
apa. Mungkin siap menunggu untuk ditambah laporanya untuk periode triwulan
pertama ya. Biar terlihat tebal. Hehehe.
Angin kemudian menyapaku
melalui sebuah bisikan. “Bu Doktor akan menyampaikan materi monev”. Bersiaplah
dengan goresan tinta yang akan tertuang dalam kertas putih. Bersiaplah sambil
meneguk air mineral yang tersaji. Beruntung tidak ada kameramen “nakal” yang
biasa memotret momen “tak biasa”. Dengan kondisi inilah, bro “endut” nampaknya
sudah menguasai “dunia persilatan” dengan nada khasnya.
Bagi Penyuluh Agama Islam
Fungsional (PAIF), sosok bu Doktor ini
sudah tidak asing lagi. Begitu seringnya memberi materi dalam beragam pelatihan
dan pembinaan, menjadikan suasana yang ada terbilang “cair”. Terlebih lagi
pemilik Desertasi - “ Pengaruh Kepemimpinan, Komunikasi Organisasi, dan
Motivasi Kerja terhadap Kinerja Pegawai di Llingkungan Kantor Kementerian Agama
se-Provinsi Lampung” – ini menyampaikan materi dengan cukup enerjik. Begitulah, sebuah moment
yang beriramakan ritme siang sedang terjadi. Proses transformation of knowledge menjadi sebuah keniscayaan siang ini.
Pada momen ini pula, guratan sejarah pada relung waktu sedang tercipta. Moment
ini akan “mengabadi” membentuk siklus “peradaban” baru. Dengan siklus ini pula,
makna akan terangkai bersama nada yang inspiratif. Hmm.
Maka, tidaklah mengherankan
jika “membakar kayu” terlahir dari komunikasi yang terbangun saat santai.
Sempat aku berfikir, inilah judul yang tepat untuk sebuah coretan “peradaban”.
Pada momen inilah, narasi imajinatif muncul. Cukup rasional juga pemaknaan luas
terhadap “tafsir” PAI ini. Sungguh, rangkaian kata yang sama sekali tidak terduga
namun mampu mengusik imajinasiku.
Membakar kayu. Sebuah makna
dimensional. Makna personifikasi pada sebuah majas kehidupan PAI. Ya, tanpa
kesadaran itu, “makna” membakar akan mempunyai konotasi “jelek”. Terlebih lagi
membakar tembakau atau membakar kesempatan. Hehehe. Beruntung, pelurusan makna
hanya terkait pada konteks PAI. Begitulah, alur yang sudah
terjadi. Apapun yang terjadi pada hari ini bisa dimaknai sebagai sebuah
“pemberian” terindah dari Dzat segala Maha. Patut disyukuri bersama sehingga mampu
meniadakan rongga kesunyian dalam “frasa” 298.
Way Kanan, 30 Maret 2021