PAI Fungsional Kemenag Way Kanan
Kopi NA yang aku minum belum habis. Semilir angin masih terasa dingin. Dedaunan terlihat basah, meskipun hujan belum turun. Semalam. Iringan musik terdengar perlahan. “Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku , meski kau tak cinta kepadaku”. Hmm...”Risalah Hati” milik Dewa 19 mengalun syahdu. Aku masih disini, menunggu kedatangan Muzaki, Dana dan Ciwul.
Aku telah bersiap menemuimu disana. Melihat senyummu. Memandang lentik bola matamu. Aku yakin, senyumanmu akan hadir menyambutku. Aku juga yakin bahwa dirimu akan sibuk dengan kegiatan “Penyuluh Agama Berbagi”. Sungguh senang jika hatimu mampu menemukan kebahagiaan dalam berbagi. Aku bahagia jika dirimu tidak banyak berdiam. Hmm, aku hanya ingin memastikan bahwa dirimu baik-baik saja. “Maa ajmala an tajida qolban yuhibbuka duna an yutholibuka bi ayyi syaiin siwaa an yarooka bikhoirin”. Demikian ungkapan itu mewakiliku untukmu. Ya untukmu seorang.
Aku tersenyum saat kawan “endut” ini bertanya. Duduk disampingku sebagai seorang ahli starategi. Navigator. Wajah yang sedikit pucat. Bukan karena hendak mabuk, melainkan melihat gaya aku menyupir. Maklumlah. Ini pengalaman pertama. Saat ini baru sampai jembatan Way Giham. Salah satu sungai yang cukup “menantang” untuk memancing. Tapi, bukan di bawah jembatan itu. Melainkan diatas. Disebuah lubuk yang cukup “keren”.
“Pak, apa artinya kalimat tadi?”, dia
nampaknya penasaran.
“Penasaran ya?”, ujarku sambil melirik dan
tersenyum.
“He,he.he, masalahnya ada kata Yuhibbuka”. Jawabnya sambil garuk-garuk
kepala.“Oo...cinta maksudmu ya”, aku juga tertawa.
“Itu kan artinya, mencintimu, kan pak”, si
“endut” masih penasaran
“Secara harfiah memang begitu, namun
peletakan dalam ungkapan diatas bukan itu maksudnya”, sengaja aku membuat
penasaran
“Lha terus opo?”, logat daerahnya yang kental akhirnya keluar.
“Wah, wah, pengen tahu, atau pengen nyuplik, kalau ingin tahu bisa tanya ke
Pak Malik nanti ya”, jawabku sambil tertawa.
Kendaraan terus melaju perlahan. Medan yang tidak cukup bagus harus dilalui. Membutuhkan waktu lima puluh lima menit untuk sampai di Pisang Indah. Jarak tempuh yang cukup jauh antara Blambangan Umpu ke Bumi Agung. Akan tetapi bukan Pisang Indah yang akan aku tuju. Melainkan Buay Bahuga. Sebuah kecamatan yang bersebelahan dengan Bumi Agung. Mungkin tiga puluh menit lagi baru akan sampai. Kondisi seperti ini, aku teringat kata-kata, If'al maa yus'iduka, fa al ayyaamu lan ta'uudu. Bahagia. Ya wajib bahagia, walaupun berbelok arah karena sebuah keyakinan yang emosional.
Aku membayangkan sebuah kebahagiaan. Bisa bertemu kembali dengan sahabat-sahabat yang hebat. Para pejuang tangguh di kecamatan Buay Bahuga. Betapa bahagianya melihat mereka ber-swafoto bersama. Mengabadikan moment yang sangat bersejarah. Bertegur sapa satu dengan yang lainya. Berbagi kebajikan untuk sesama. Aku pun akan bahagia juga. Melihat lentiknya bola matamu, juga senyumanmu.
Aku tersenyum saat melihat bangunan KUA Buay Bahuga. Ini menandakan tujuan akan segera sampai. Meskipun tanpa ada umbul-umbul dan tarian sigeh pangunten, namun sambutan hangat mewarnai pertemuan ini. Satu demi satu para sahabat itu bersua. Tertawa bersama. Begitu alami. Bagiku, cukuplah sebuah jemputan untuk membahagiakan semuanya. Ini berarti kendaraan tidak harus memutar kembali.
Aula KUA Buay Bahuga cukup “eksentrik”. Sebuah ruangan yang multi guna. Ruangan yang di gunakan untuk melaksanakan proses suscatin. Namun terkadang menjadi ruang pertemuan. Terkadang juga ruang tersebut digunakan untuk sekedar melepas lelah sembari menyeruput kopi sambil bercanda bersama. Ruangan yang cukup asri. Terlebih lagi sebuah rak buku berada sebelah disudut, meskipun jarang disentuh. He.he
Pada ruangan ini, sejarah penyuluh agama Islam tercipta. Bukan karena aku duduk di depan, melainkan melihat sosok yang berbeda. Jujur, aku gembira. Kehadiranya menjadi bukti bahwa, infaq produktif dari kawan-kawan penyuluh agama Islam se-Way Kanan akan segera tersalurkan. Dengan demikian, amanah dapat tersampaikan dengan sempurna. Tentu ini menjadi kebahagian tersendiri.
Bos “besar” telah menyampaikan sambutan yang luar biasa. Aku begitu khidmat mendengarkan setiap ucapan yang sistematis. Ungkapan kebahagiaan yang terlahir dari Pak Hendera. Kepala KUA Buay Bahuga. Bagiku, keindahan yang ditampilkan bukan karena kacamatanya, namun tutur bahasa yang sangat diplomatis. Aku sangat brsyukur, kehadiran kawan-kawan penyuluh agama Islam sangat membantu tugas-tugas KUA. Ini yang aku suka.
Sesekali aku memandang sekitar aula. Nampak beberapa kawan masih sibuk “bermain” benda kesayanganya. Entah apa yang mereka lihat. Aku berharap saat ini mereka tidak membuka Blog Penyuluh Agama Way Kanan, meskipun sinyal agak susah. Aku hanya membatin, “tunggu, setelah tulisan ini selesai ya”. Sebuah keniscayaan tentunya bagi Penyuluh agama mau membuka blog kebanggaan itu. Namun, jika penyuluh agama tidak mau membukanya, apa yang harus aku katakan untuk menjulukinya?”. Entahlah, I don’t know about it.
Fase selanjutnya adalah babak final. Sebuah babak
yang begitu penting. Babak dimana sebuah rangkaian akan “berakhir” sempurna. Tokoh
utamanya adalah ketua Pokjaluh Way
Kanan. Sudah tentu, ungkapan hikmah hadir. Aku
sangat maklum. Sudah seyogyanya begitu. Sebagai seorang penyuluh agama, maka
tugas penyuluhan senantiasa melekat. Bukan karena faktor angka kredit,
melainkan sebuah tugas yang di embanya.
Lihatlah, bagaimana sang ketua menguraikan tentang bab fikih. Pembahasan ini terinspirasi dari kisah seorang anak yang “bermain” dihadapan orang tuanya. Pada sisi inilah, peran fiqih diperlukan untuk “mengembangkan” sebuah teori tabula rasa. Teori yang menyatakan bahwa alam pikiran manusia ketika lahir berupa kertas putih yang kosong. Hmm, meski tidak menyebut namanya, aku ingat pada filosof itu. John Locke. Tokoh “istimewa” abad ke-17.
Pun demikian tentang uraian sebuah cita-cita. Aku baru tahu, jika sebuah cita-cita tertuang dalam Al-Qur’an. Cita-cita yang dimiliki oleh Hannah binti Faquda. Aku penasaran, apa yang dimaksud dengan hal tersebut. Marbot masjid. Aku kaget mendengarnya. Sebelum rasa penasaranku memuncak, sebuah lantunan surat Ali Imran ayat 35. “(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Rabbku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Kopi yang tersaji hampir habis. Terasa enggan untuk meminta lagi. Saat tegukan terakhir, prosesi penyerahan akan dimulai. Proses yang harus diabadikan oleh fotografer. Bagiku, ini adalah situasi yang mengharukan. Betapa tidak, keikhlasan kawan-kawan penyuluh agama Islam se-Way Kanan begitu berharga. Membantu sesama. Moment yang juga membahagiakan. Nah disinilah biasanya aku menghindar untuk menahan agar air mata tidak terurai.
Namanya adalah Muhammad Nur Ali. Seorang bapak
yang juga merupakan guru ngaji. Sebuah pengabdian yang luar biasa. Karena tidak
semua bisa mengikuti jejak dalam
kehidupan ini. Disamping itu, Pak M. Nur Ali
ini mempunyai sebuah usaha pembuatan atau pengolahan makanan ringan. Aku bangga atas pilihan kawan-kawan PAI Kec. Buay Bahuga, mampu memilih sosok yang produktif dalam berusaha. Pembuatan Opak. Nama
makanan ini sempat membuatku bertanya. Namun aku urungkan. Biarlah opak itu
menjadi saksi bahwa bantuan produktif itu sampai pada sasaran yang tepat.
Dengan sangat “terpaksa” aku nambah kopi, sesaat sebelum sesi foto bersama. Ini berarti rangkaian acara sudah usai. Aku senang dan bahagia. Senang bisa melihat senyumanmu. Bahagia melihatmu baik-baik saja, meskipun aku lupa ada foto bersama. Aku cukup bahagia. Karena bahagia itu sederhana, tersenyum bersama atau berbagi duka bersama. Meskipun kita tidak bertegur sapa hari ini. Namun dirimu mungkin satu orang biasa, tetapi bagiku kamu adalah dunia yang istimewa.
Ada rasa gelisah yang terpancar. Rasa yang tidak biasa. Bisikan lirih masuk di telinga kiriku. Aku tersenyum. Namun, “perpisahan” hari ini bukanlah akhir dari segalanya. Bisa jadi, setelah air dirumah terpenuhi, setelah mesin air di perbaiki, atau jemputan malam datang, kita bisa bertemu lagi. Yang pasti, kata mutiara ini berlaku. alhayaatu tu’ngalimuka al hubba wa at tajarubu tu’ngalimuka man tuhibbu wal mawa qifu tu’ngalimuka man yuhibbuka.
Hmm...aku berharap jangan ada yang meminta untuk menterjemahkan. Sama halnya, lagu sonia tidak aku putarkan kembali. Biarlah semuanya mengalir, sebagaimana kebajikan yang didapat. Membantu sesama, berbagi kebajikan. Ya inilah, penyuluh agama Islam berbagi.
Bagiku, cukuplah lima cangkir kopi ini. Jangan
ditambah lagi. Biarpun aku “penikmat” kopi, namun aku tak sanggup untuk
menyeruput kopi ke enam. Bukan karena tidak mau. Ya bukan karena itu. Hanya satu
hal. Sudah sampai rumah.
Buay Bahuga, 29 September 2020.