Oleh : Munawar, S.Fil.I, MA
PAI Fungsional Kemenag Way Kanan
Apa yang terbersit makna kemerdekaan ke-75
Republik Indonesia bagi kawan-kawan Penyuluh Agama ? Sebuah pertanyaan
sederhana sengaja penulis sampaikan diawal tulisan ini.
Dalam sebuah lirik lagu qosidah yang cukup
populer, “merdeka membangun” -Nasida Ria- “merdeka
berarti harus membangun, bukan untuk pribadi atau golongan”. Cuplikan bait
tersebut, tentu masih relevan untuk dijadikan sebuah renungan bersama. Merdeka
berari harus membangun.
Kata merdeka mempunyai definisi yang luas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online disebutkan bahwa merdeka
bermakna bebas; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak
terikat; tidak tergantung kepada orang atau pihak tertentu; dan leluasa.
Definisi merdeka mengandung makna sadar akan
keadaan dan sadar terhadap sesuatu. Kesadaran yang timbul dari sebuah keadaan
sekaligus sebuah kenyataan, pada hakekatnya akan mampu memberikan kontribusi
positif bagi manusia itu sendiri. Manusia yang sadar adalah manusia yang
memiliki potensi untuk melakukan perbuatan yang positif.
Manusia yang menyadari akan sebuah potensi
dalam dirinya, akan memberikan andil dalam setiap kesempatan. Bagi manusia
dengan tipe seperti ini, potensi yang dimiliki adalah anugerah yang harus
dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas. Karena, anugerah yang diberikan
mengandung konsekwensi moral, sehingga dengan kesadaran itu, asas kebermanfaatan
bagi orang lain sangat diutamakan.
Dalam konteks filosofis, bahwa manusia yang
menyadari akan potensi dirinya, adalah manusia yang tahu akan eksistensinya.
Kenyataan inilah yang kemudian menjadikan manusia itu bisa memaknai dan
sekaligus mengisi kehidupan dengan beragam kreatifitas
Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Indonesia
adalah sebuah fakta. Peringatan yang selalu diperingati setiap tanggal 17
Agustus oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sebuah peristiwa bersejarah dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta sejarah yang tidak bisa dihapus oleh
peristiwa manapun.
Sebagai masyarakat dan bangsa Indonesia,
bersyukur dalam memaknai kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan. Karena dengan
keniscayaan itu pada hakekatnya adalah kesadaran akan makna penting dari sebuah
anugerah. Dengan bersyukur, maka kesadaran akan adanya “campur tangan” Yang Maha Kuasa, senantiasa bersemayam dalam benak seluruh rakyat Indonesia.
Dalam fondasi beragama, bersyukur adalah
sifat yang wajib ada. Tanpa adanya syukur, maka sendi-sendi keberagamaan akan
runtuh. Tanpa adanya syukur, dipastikan penambahan nikmat tidak akan pernah
ada. Oleh sebab itu, rasa syukur harus dimaknai dengan kesadaran bahwa proses
dialektika manusia sedang berjalan. Dialektika antara manusia dengan keadaan
sedang berlangsung saat ini. Dialektika antara masyarakat Indonesia dengan
kemerdekaan.
Dengan mengusung tema “Indonesia Maju”,
merupakan sebuah representasi dari Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Kementerian
Sekretariat Negara, tema ini merupakan simbolisasi dari Indonesia yang mampu
memperkokoh kedaultan, persatuan, dan kesatuan. Makna Kemerdekaan saat ini
bukan hanya sebagai kata, kemerdekaan adalah kesempatan. Kesempatan untuk
bermimpi hingga jadi nyata dan kesempatan untuk berkarya tanpa batas.
"Sekarang saatnya kita fokus kepada hal yang benar-benar penting dalam
menyatukan keberagaman melalui kolaborasi untuk memperkenalkan jati diri bangsa
Indonesia," tulis Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). (Baca selengkapnya di artikel "Arti Logo
HUT Ke-75 RI: Indonesia Maju dan Bangga Buatan Indonesia", https://tirto.id/fWWn).
Kesadaran untuk mengisi kemerdekaan selalu
ada. Dengan beragam aktifitas positif dapat kita lakukan untuk mengisi
kemerdekaan. Kesempatan masih selalu terbuka untuk membangun peradaban bangsa.
Disinilah kesadaran itu dipertaruhkan dengan eksistensi manusia itu sendiri.
Bagi penyuluh agama, kesadaran itu sangat
penting. Kesadaran sebagai bagian dari warga negara dan sekaligus sebagai
bagian dari negara itu sendiri. Penyuluh tanpa adanya kesadaran yang tinggi,
mustahil akan berhasil untuk menyatukan keberagaman melalui kolaborasi
perkenalan jati diri bangsa Indonesia.
Indonesia Maju meniscayakan keterlibatan
seluruh masyarakat Indonesia. Pun demikian dengan andil para penyuluh agama.
Memaksimalkan peran dalam melaksanakan tugas adalah poin penting yang harus
dilakukan. Dengan menjalankan peran yang telah ditentukan secara maksimal, maka
Indonesia Maju bukan hanya sekedar mimpi.
Bagi penyuluh agama, berperan dalam mengisi
kemerdekaan adalah kewajiban. Dengan tugas dan fungsi yang melekat, penyuluh
agama dapat berkarya dalam mengisi kemerdekaan. Berkarya untuk sebuah rumah
besar yang bernama Indonesia. Disinilah kesadaran akan tugas dan fungsi
penyuluh diperuntukkan.
Sebagai gambaran sederhana, bahwa tugas
penyuluh bukan hanya menyampaikan pembinaan dalam ruang lingkup Majelis Taklim
saja, melainkan juga keseluruhan kegiatan penerangan baik berupa bimbingan
dan penerangan tentang berbagai program pembangunan. Dengan bahasa lain,
penyuluh agama mempunyai tugas untuk menyampaikan misi keagamaan ataupun misi
pembangunan bangsa.
Disisi lain, eksistensi penyuluh agama menjadikan
penyuluh sebagai individu yang mempunyai nilai lebih. Individu dengan kesadaran
penuh mengambil bagian untuk menjadi seoarang da’i, seorang konselor dan
sekaligus menjadi advokat.
Inilah mengapa penyuluh agama sering disebut sebagai “ujung tombak” Kementerian Agama. Disebut
demikian karena dalam melaksanakan tugas senantiasa membimbing masyarakat untuk
mencapai kehidupan yang bermutu dan sejahtera lahir batin. Hal ini pun tidak
terlepas dari fungsi yang melekat dalam diri penyuluh agama. Fungsi tersebut
adalah fungsi informatif dan edukatif, fungsi konsultatif dan fungsi advokatif.
Mengisi kemerdekaan adalah bagian dari tugas penyuluh
agama. Kesadaran ini penting untuk terus di tumbuhkan. Karena kesadaran akan
jati diri penyuluh agama akan sebanding lurus dengan nilai kemanusiaan yang
hakiki. Sebuah kesadaran untuk berbuat dalam bingkai bernegara dan sekaligus
bernilai kebajikan.
Penyuluh yang menyadari tentang eksistensinya, akan
mampu dengan sadar membimbing dirinya sendiri dan masyarakat. dengan demikian
kesadaran untuk berbuat dan bertindak telah melalui proses dialektika yang
panjang. Sehingga pemaknaan akan peran sebagai “juru penerang” bukan hanya sekedar slogan tanpa makna.
Wallahu a'lam
Mantabb pak,, hidup Jayalah penyuluh kita
BalasHapusterimakasih...
Hapus