“Gema
sholawat di penjuru negeri, Maulid Diba' maupun Al-Barzanji, ekspresi cinta
pada Nabi sejukkan sanubari, Getarkan, Hati yang sunyi, Basahi Nurani yang
kering dan tandus, Menyinari jiwa yang gelap gulita”.
(Eko Suryanto: Antologi Puisi Penyuluh
Agama Islam Way Kanan:
“
Sang Nabi” dalam “Harmoni Cinta Penyuluh”.
Hmm... Membaca Puisi Mas Eko Suryanto diatas,
aku sangat bahagia. Ya, puisi yang ditulis sebagai dedikasi dalam pembuatan
buku Antologi Puisi Penyuluh Agama Islam (PAI) Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten
Way Kanan. Buku yang sangat spektakuler dan mengagumkan sebagai sebuah karya “terdahsyat”.
Bahkan, “bersejarah”, karena untuk pertamakalinya PAI Kemenag Way Kanan
menerbitkan sebuah puisi. Bahkan –menurut pak Kasi Bimas Islam Kemenag Way Kanan- bisa jadi yang
pertama di Provinsi Lampung dan Indonesia.
Inilah moment bahagia yang gayung bersambut,
khususnya Mas Eko dan Mbak Iin. Moment yang bersejarah dan membahagiakan. Meskipun
berada diatas kendaraan, kebahagiaan itu tak dapat aku sembunyikan. Betapa
indahnya saat ini bagi keduanya. Selain menjadi “raja” dan “ratu”, untaian doa
senantiasa mengalir dari sanak famili dan undangan yang hadir. Demikian juga
kebahagian akan “sempurna tatkala kata "sah" dari para saksi akan
terdengar. Membayangkan ini, aku hanya bisa tersenyum bahagia.
Roda kendaraan terus berpacu menuju rumah bahagia. Lalu lintas tak seperti biasanya. Hari ini jalanan terlihat lebih ramai. Baik kendaraan pribadi, umum atau angkutan barang. Aku berfikir apakah roda kehidupan sudah mulai bergeliat kembali ditengah wabah virus korona yang belum berakhir. Jika ya maka, hal inilah yang aku harapkan. Kehidupan "dimulai" kembali setelah "tidur panjang" dalam "balutan" masker.
Tatapanku lurus kedepan memperhatikan sepeda
motor yang penuh dengan muatan. Barang yang dibawa cukup banyak dengan beraneka
ragam corak dan warnanya. Apa yang aku lihat adalah salah satu aktifitas
kehidupan yang hampir dua tahun tidak aku saksikan. Ini juga menandakan bahwa
semangat untuk menyambung hidup adalah bagian terpenting dari kehidupan itu
sendiri.
Tugu pertigaan Way Tuba masih berdiri kokoh.
Sebuah tanda bahwa tugu tersebut menunjukkan sebuah wilayah dan sekaligus
pilihan jalan. Jika kita memilih lurus maka akan sampai di Martapura Sumatera
Selatan. Tentu aku tidak memilih jalan itu. Belok ke kanan adalah jalan yang
tentu menjadi pilihan terbaik untuk menuju kediaman Pak H. Patani. Aku memahami
betul jalan yang akan aku lalui saat ini. Aku bersyukur bahwa masih bisa
melalui jalan ini, setelah lama tak bersua dengan pepohonan sawit, karet dan
padi di persawahan jalur Way Tuba- Bahuga ini. Hehehe.
Jalan ini masih sama, belum ada perubahan
fisik yang berarti. Perbedaan yang nampak adalah tidak adanya genangan air
sebagaimana pada musim hujan. Pada jalan ini juga kutemukan kenyataan bahwa
saat ini adalah awal musim kemarau. Dalam hati aku berharap, semoga nanti saat
tiba di acara resepsi tidak benar-benar "kemarau". Cukuplah air
mineral sebagai bukti bahwa musim boleh kemarau, namun air mineral tetap
tersaji. Hehhe
Meskipun awal musim kemarau, namun persawahan
tetap teraliri air dengan baik. Terkait ini aku tidak heran karena terdapat
irigasi yang cukup bagus. Ingin rasanya turun ke sawah membersamai menanam
padi. Tapi aku tak bisa untuk saat ini turun ke sawah itu. Selain tidak membawa
ganti, aku juga tidak membawa pancing. Maka aku putuskan untuk jalan terus
ingin segera melihat senyuman bahagia kedua mempelai.
Tak sabar aku ingin menyaksikan kebahagiaan
itu. Sebuah kebahagiaan sejati yang terlahir dari benih cinta antara dua insan.
Sebuah kebahagiaan yang saat ini sudah terikat dalam janji suci, pernikahan. Janji
untuk saling mengisi, membahagiakan, menerima kekurangan dan janji-janji mulia
lainya. Dengan akad nikah ini pula, keduanya sudah masuk dalam kriteria “menyempurnakan”
agama. Sungguh kejadian yang “sakaral” nan bersejarah.
Cukup meriah. Itulah kesan yang aku dapatkan saat tiba di lokasi pernikahan. Tamu-tamu sudah banyak berdatangan. Panitia juga terlihat cukup sibuk. Sebuah kewajaran dalam resepsi pernikahan. Begitulah kehidupan, banyak beraneka ragam bunga-bunga yang menyebar dalam lini masa peradaban manusia. Termasuk saling membantu dalam menyukseskan sebuah akad nikah dan sekaligus resepsi pernikahan.
Ah...ternyata sudah ada kawan-kawan yang
hadir. Terlihat di pojok belakang si lutfi dengan baju pinknya,cukup ilegan dan
gagah. Juga ada Ust. Taswin dan Ust.Oktarius yang sedang nunggu kopi. Keduanya masih
dengan style yang tidak berubah. Sementara pak Rosidin dan Abah
Solihin berada di sebelah kiri sedang asyik bercengkrama. Sementara Ust. Din
Hadi nampak sibuk menyiapkan sesuatu. Sementara di barisan tengah, aku juga
melihat Mbak Nafisah sedang asyik makan hidangan yang sudah tersedia. Juga
banyak beberapa rekan yang juga telah hadir. Termasuk Bapak Kepala Kemenag, Pak
kasi Bimas, Pak Kasi PAPKI, kepala KUA, penghulu dan penyuluh serta rekan rekan
lainnya. Inilah salah satu kebahagiaan yang nampak.
Aku bersejajar duduk di barisan belakang
pojok kanan. Mendampingi dua sahabat dari Banjit agar kebagian kopi juga. Tentu
kopi bukanlah sebuah menu utama yang disajikan dalam resepsi ini. Akan tetapi
sebuah permintaan khusus kepada “penguasa” Buay Bahuga, Bu Sriwatin dalam perjalanan tadi telah
diutarakan. Alhamdulillah, sajian "si hitam" Akhirnya berlabuh juga
melalui panitia yang pengertian Pak Mujianto, sesaat sebelum Ketua FKPAI Way
Kanan –Ust. M. Din Hadi-memberikan tausyiah. Hehehe.
Sang “raja” dan “ratu” belum duduk pada “singgasana”
agungnya. Acara formal dalam sebuah pernikahan sedang berlangsung. Beberapa sambutan
juga disampaikan. Demikian juga Pak Kepala Kemenag Way Kanan – Bapak H. Helmi-
menyampaikan sambutan dan sekaligus mendoakan agar keduanya menjadi keluarga
yang sakinah mawadah wa rahmah. Ini adalah
bagian dari sebuah tradisi yang sering berlaku dalam peradaban dunia timur.
Sesekali aku menyeruput “air hitam” yang
masih hangat, saat Ust. Din Hadi menyampaikan tausyiah untuk kedua mempelai. Cukup lengkap jika dilihat dalam sebuah
keluarga besar Kemenag Way Kanan. Betapa tidak, kedua mempelai adalah Penyuluh
Agama Islam; yang mempunyai hajat –Pak H.Patani- merupakan pengulu; di hadiri
para pejabat Kemenag; Kepala KUA; para pengawas dan guru; para penghulu dan
penyuluh; dan panitia pun adalah keluarga besar Kemenag Way Kanan. Sungguh luar
biasa.
Aku tertawa kecil saat kata tempoyak menjadi awal dari tausyiah yang diberikan. Bahkan tamu undangan juga berekspresi sama. Mungkin tidak pernah mengira kalimat itu “masuk” sebagai pengantar. Bagiku kata tersebut tidak asing lagi bagiku. Namun aku belum mampu menikmati “kelezatan” olahan makanan tradisional itu. Entah mengapa. Secara fakta, aku lebih menyukai bahan dasarnya saja sebelum diolah. Durian.
Kopi yang tersaji belum habis. Jika bisa
disebut sebagai istimbat, maka yang
bisa diberikan adalah sebuah ungkapan dan pengharapan. Tentu, secara logis
adalah pengharapan untuk kedua mempelai. Pengharapan dalam doa-doa para
keluarga dan tamu undangan. Harapan ini bukanlah sebatas seremonial saja, akan
tetapi jauh melampau aliran air irigasi dan sungai, bahkan melebihi kepakan
sayap para “bidadari”. Inilah adalah sebuah ekpetasi yang mengelana sampai
sebuah batas yang menjadi misteri dalam kehidupan manusia.
Secara pribadi, doa dan harapanku juga adalah
sama, sebagaimana yang menjadi harapan sebuah komunitas keluarga dan
masyarakat. Hanya sedikit saja yang bisa aku tuliskan, tentu dalam rangkaian
menebar semangat di dunia penyuluh.”menikah
bukanlah akhir dari sebuah produktifitas. Dengan menikah, dua kekuatan menyatu
dalam cinta. Maka, cinta akan mampu melahirkan banyak ragam dan pola, jika kita
mampu memaknainya dengan bijaksana. Aku tunggu produktifitas itu dalam buku
kedua PAI; Antologi cerpen penyuluh”.
Akhirnya sajian “air hitam” sudah habis. Sebelum
beranjak pamit, masih ada “agenda” yang tidak boleh dilewatkan. Sebuah hidangan
telah tersaji sebagai penutup keberadaanku di rumah bahagia ini. Maka, tanpa
menunggu lama aku pun menikmati dengan dengan rasa syukur.
Bersama tamu lainya, tentu aku juga menyampaikan
ucapan selamat secara langsung. Aku melihat wajah kedua orang tua mempelai
bahagia. Terlebih lagi kedua mempelai. Senyum bahagia nampak dalam wajah Mas
Eko dan Mbak Iin. Aku tahu bahwa senyuman tersebut hadir pada saat yang tepat. Senyuman
yang terlahir dari anugerah terindah dari Yang Maha Pencipta.
Bagiku hari ini adalah hari yang bersejarah
juga. Bagaimana tidak, untuk pertama kalinya aku menikmati perjalanan bukan
pada jalur yang sering aku lalui. Justru perjalanan pulang ini juga menjadi
pemecah “rekor” nan bersejarah. Menikmati indahnya hamparan sawah di Provinsi
Tetangga. Sungguh jalur ini adalah yang pertama aku lalui sampai saat ini.
Belitang-Sumatera Selatan.
Sritunggal, 29 Mei 2021